Ungkap Sikap Pemerintah Soal Muslim Uighur, Ngabalin Bicara Hoax

Ridhmedia
22/12/19, 19:59 WIB


RIDHMEDIA - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengungkapkan bahwa pemerintah belum menentukan sikap terkait muslim etnis Uighur di Xinjiang, Tiongkok.

Menurutnya, pemerintah memilih berhati-hati menyikapi persoalan etnis Uighur.

“Bagi pemerintah, saya kira tidak gegabah untuk mengeluarkan pikiran dan sikap,” kata Ngabalin di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (22/12).

Politikus Partai Golkar itu menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri tengah mencari informasi detail terkait persoalan yang dialami etnis Uighur.

Ngabalin menjelaskan, pemerintah tidak mau termakan informasi sesat soal Uighur.

“Sikap pemerintah tentu perlu mendapatkan informasi yang komplet dan lengkap. Kami tahu penyebaran berita hoaks dan bohong itu luar biasa dahsyatnya,” lanjut dia.

Meski demikian, lanjutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki perhatian besar terhadap isu kemanusiaan.

Presiden Ketujuh RI iru berupaya agar kemanusiaan berdiri tegak di belahan dunia mana pun.

“Kalau hal urusan begini (kemanusiaan), presiden jelas, punya sikap dan kepentingan terkait dengan yang kemanusiaan,” tuturnya.

“Berkali-kali Ibu Kemenlu Retno Marsudi menyampaikan sikap pemerintah dan presiden terkait masalah kemanusiaan,” ujarnya.

Sebelumnya, peneliti ilmu hubungan internasional dari Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin menyebut, terjadi tarik menarik antara kepentingan nasional dengan identitas Indonesia sebagai negara muslim terbesar dan pencipta perdamaian.

“Pasifnya Indonesia bisa dipahami dalam perspektif kepentingan nasional. Indonesia punya hubungan erat dalam hal ekonomi dengan China, khususnya dalam bingkai OBOR (one belt one road). Tapi tentu Indonesia merasa terpanggil karena identitasnya tadi,” kata Rosyidin, Minggu (22/12).

Lebih lanjut, Rosyidin menjelaskan, meski pemerintah Indonesia telah melakukan soft approach kepada pemerintah China, tidak jelas seperti apa hal tersebut dilakukan.

“Menurut saya, Indonesia jangan pakai pendekatan asertif dalam kasus ini. Jangan bawa isu ini ke ranah internasional. Jangan pakai strategi ‘naming & shaming’. Yang bisa dilakukan Indonesia hanya memastikan tidak ada aksi-aksi di luar batas saja,” ujarnya.

Langkah tersebut dinilai tepat dilakukan karena persoalan Uighur adalah masalah pelik yang menyangkut kedaulatan negara.

Indonesia perlu mengarahkan diplomasi pada penyamaan persepsi bahwa Islam bukan agama teroris.

Dengan demikian, tidak menimbulkan ekses seperti penahan secara masal, penyiksaan, dan lain sebagainya.

Cara-cara silent diplomacy yang diterapkan Indonesia untuk isu Rohingya di Myanmar juga tidak relevan untuk kasus Uighur.

“Beda konteks. Myanmar percaya sama Indonesia, makanya kita bisa masuk. Kalau China kan dia superpower, saya kira Indonesia kalah dalam bargaining position-nya,” pungkas Rosyidin.[psid]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+