Oleh Chusnatul Jannah - Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Uyghur kembali menggugah nurani. Kabar muslim uyghur mencuat setelah laporan Wall Street Journal yang mengatakan ormas Islam di Indonesia 'disuap' agar tak lagi mengkiritik kebijakan Cina atas muslim Uyghur. Tagar #WeStandWithUyghur pun menggema di jagat media. Cuitan Mesut Ozil, pemain Arsenal keturunan Turki tentang Uyghur membuka kembali perbincangan dunia tentang muslim di Xinjiang. Muslim yang hampir terlupakan dari sorotan internasional.
Uyghur hampir saja tergusur. Tergusur dari isu dunia. Tergusur karena diskriminasi dan persekusi pemerintah Cina. Tergusur dan termarginalkan dari mayoritas rakyat komunis. Tak perlu menjadi muslim untuk menyentuh sanubari hati melihat penderitaan Uyghur. Cukup menjadi manusia saja untuk membuka mata bahwa di Xinjiang telah terjadi pelanggaran HAM. Namun, dunia bungkam dan membisu. Hanya melempar berita telah terjadi pelanggaran HAM. Namun tak melakukan apa-apa untuk selamatkan muslim Uyghur dari kekejian negeri komunis itu.
Yang lebih menyayat hati, negeri-negeri muslim seakan tutup mata terhadap penderitaan dan penyiksaan yang dialami muslim Uyghur. Tak terkecuali negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia. Hingga saat ini belum ada satu pernyataan pun dari Presiden Jokowi tentang Uyghur. Meski Kemenlu telah mendorong Cina untuk menghormati hak dan kebebasan muslim Uyghur, tetap saja Uyghur tersungkur di bawah rezim komunis tersebut.
Melihat itu, Cina membela diri. Mereka berkata Kamp Konsentrasi itu untuk pendidikan ulang muslim di Xinjiang. Mereka anggap Uyghur terpapar radikal sehingga harus dideradikalisasi dengan menempatkan mereka di Kamp tersebut. Jika demikian, mari pakai logika yang sama. Tak adakah proyek deradikalisasi untuk mereka yang telah melanggar HAM? Betapa banyak kaum muslim yang dilanggar hak asasi, hak beragama, dan kebebasannya. Sebut saja Uyghur, Rohingnya, Kashmir, Palestina, dan lainnya adalah korban pelanggaran HAM oleh negara.
Posisi Indonesia yang semestinya bisa berbuat lebih, nampaknya menjadi pasif dan mandul. Menjadi anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB faktanya tak cukup mampu bersuara lantang menentang penindasan terhadap muslim Uyghur. Setidaknya, Indonesia bisa mendorong negeri muslim lainnya untuk mendukung perlindungan hak-hak muslim Uyghur yang terampas karena sikap represif Cina. Sayangnya, untuk sekedar mengecam saja, Indonesia menciut. Mungkin karena ketergantungannya terhadap investasi Cina membuatnya kelu dan berdiam diri. Andaikata seluruh dunia muslim satu suara memberi tekanan politik dan ekonomi kepada Cina, mungkin Uyghur tak dirundung duka dan kezaliman sebanyak sekarang. Mirisnya, mereka lebih memilih diam untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing.
Dari Uyghur kita ditegur. Ukhuwah pun terkubur. Seberapa besar kepedulian kita terhadap saudara sesama muslim? Dari Uyghur kita harus jujur. Korban terbanyak pelanggaran HAM adalah kaum muslim. Namun terhadap mereka, dunia tak bersuara. Hal ini membuktikan bahwa radikal bukanlah Islam. Justru kaum muslimlah korban radikal para pembenci Islam. Sampai kapan nasib Uyghur terus digantung? Masalah Uyghur semestinya menggugah iman dan kesadaran kita. Bahwa yang dibutuhkan mereka adalah persatuan untuk melawan kekejian dan ketidakadilan yang menimpa umat Islam. Perisai dan pelindung yang mampu menjaga marwah umat tanpa ada lagi persekusi, diskriminasi, dan fobia tingkat tinggi terhadap Islam dan pemeluknya.
Uyghur kembali menggugah nurani. Kabar muslim uyghur mencuat setelah laporan Wall Street Journal yang mengatakan ormas Islam di Indonesia 'disuap' agar tak lagi mengkiritik kebijakan Cina atas muslim Uyghur. Tagar #WeStandWithUyghur pun menggema di jagat media. Cuitan Mesut Ozil, pemain Arsenal keturunan Turki tentang Uyghur membuka kembali perbincangan dunia tentang muslim di Xinjiang. Muslim yang hampir terlupakan dari sorotan internasional.
Uyghur hampir saja tergusur. Tergusur dari isu dunia. Tergusur karena diskriminasi dan persekusi pemerintah Cina. Tergusur dan termarginalkan dari mayoritas rakyat komunis. Tak perlu menjadi muslim untuk menyentuh sanubari hati melihat penderitaan Uyghur. Cukup menjadi manusia saja untuk membuka mata bahwa di Xinjiang telah terjadi pelanggaran HAM. Namun, dunia bungkam dan membisu. Hanya melempar berita telah terjadi pelanggaran HAM. Namun tak melakukan apa-apa untuk selamatkan muslim Uyghur dari kekejian negeri komunis itu.
Yang lebih menyayat hati, negeri-negeri muslim seakan tutup mata terhadap penderitaan dan penyiksaan yang dialami muslim Uyghur. Tak terkecuali negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia. Hingga saat ini belum ada satu pernyataan pun dari Presiden Jokowi tentang Uyghur. Meski Kemenlu telah mendorong Cina untuk menghormati hak dan kebebasan muslim Uyghur, tetap saja Uyghur tersungkur di bawah rezim komunis tersebut.
Melihat itu, Cina membela diri. Mereka berkata Kamp Konsentrasi itu untuk pendidikan ulang muslim di Xinjiang. Mereka anggap Uyghur terpapar radikal sehingga harus dideradikalisasi dengan menempatkan mereka di Kamp tersebut. Jika demikian, mari pakai logika yang sama. Tak adakah proyek deradikalisasi untuk mereka yang telah melanggar HAM? Betapa banyak kaum muslim yang dilanggar hak asasi, hak beragama, dan kebebasannya. Sebut saja Uyghur, Rohingnya, Kashmir, Palestina, dan lainnya adalah korban pelanggaran HAM oleh negara.
Posisi Indonesia yang semestinya bisa berbuat lebih, nampaknya menjadi pasif dan mandul. Menjadi anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB faktanya tak cukup mampu bersuara lantang menentang penindasan terhadap muslim Uyghur. Setidaknya, Indonesia bisa mendorong negeri muslim lainnya untuk mendukung perlindungan hak-hak muslim Uyghur yang terampas karena sikap represif Cina. Sayangnya, untuk sekedar mengecam saja, Indonesia menciut. Mungkin karena ketergantungannya terhadap investasi Cina membuatnya kelu dan berdiam diri. Andaikata seluruh dunia muslim satu suara memberi tekanan politik dan ekonomi kepada Cina, mungkin Uyghur tak dirundung duka dan kezaliman sebanyak sekarang. Mirisnya, mereka lebih memilih diam untuk mengamankan kepentingan nasional masing-masing.
Dari Uyghur kita ditegur. Ukhuwah pun terkubur. Seberapa besar kepedulian kita terhadap saudara sesama muslim? Dari Uyghur kita harus jujur. Korban terbanyak pelanggaran HAM adalah kaum muslim. Namun terhadap mereka, dunia tak bersuara. Hal ini membuktikan bahwa radikal bukanlah Islam. Justru kaum muslimlah korban radikal para pembenci Islam. Sampai kapan nasib Uyghur terus digantung? Masalah Uyghur semestinya menggugah iman dan kesadaran kita. Bahwa yang dibutuhkan mereka adalah persatuan untuk melawan kekejian dan ketidakadilan yang menimpa umat Islam. Perisai dan pelindung yang mampu menjaga marwah umat tanpa ada lagi persekusi, diskriminasi, dan fobia tingkat tinggi terhadap Islam dan pemeluknya.