RIDHMEDIA - Aktivis sekaligus politisi, Yenny Wahid menyebut jika Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto tergiur panggung kekuasaan.
Dilansir dari Tribunnews.com, Jumat (20/12/2019), hal itu diungkapkan Yenny Wahid saat menjadi narasumber dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV.
Mulanya, Yenny Wahid mengatakan bahwa negara saat ini kebingungan dengan sejumlah kritik dari kelompok non negara.
"Nah kita melihat ini di masyarakat kita dan di satu sisi negara juga tampaknya bingung kelompok non states ini," ungkap Yenny Wahid dikutip dari Kompas TV.
Negara akan semakin kewalahan jika pihak-pihak non negara itu menyerang dengan menggunakan isu-isu agama.
"Apalagi masyarakat kemudian menggunakan politik identitas sebagai platform mereka dalam melakukan tindakan-tindakan represi."
"Misalnya menggunakan isu-isu agama," jelas Yenny Wahid.
Lantas, Yenny Wahid secara khusus menyebut bahwa yang ketakutan itu adalah politisi yang kini memegang kekuasaan, baik dari lembaga legislatif hingga pemerintah.
"Sebetulnya bukan negara yang bingung, politisi yang sedang memimpin negara baik dari eksekutif maupun legislatif."
"Yang bingung adalah para politisinya karena mereka tidak ingin. Pemerintahnya masuk dalam bagian itu," jelasnya.
Mereka takut akan kehilangan kekuasaan.
Anak dari Presiden ke 4, Abdurrahman Wahid ini mengatakan bahwa semua orang memang ingin mencari panggung kekuasaan.
"Karena kehilangan kekuasaan kan tidak enak, panggung kekuasaan enak maka semuanya pengen masuk," ujarnya.
Sebagai contoh, Yenny Wahid menyebut Prabowo Subianto yang kini masuk menjadi Menteri Jokowi.
Sedangkan diketahui, Prabowo Subianto merupakan rival Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019.
"Termasuk Pak Prabowo yang tadinya berhadap-hadapan dengan Pak Jokowi," ungkapnya.
Akibat itu, Yenny Wahid justru menilai membahayakan.
Pasalnya, tidak ada lagi pihak yang memiliki pengaruh besar untuk mengkritisi negara.
"Nah jadi apa namanya hegemoni inilah yang kemudian menjadi ancaman terbesar."
"Karena tidak ada orang yang punya cukup komitmen untuk mau menghadapinya, tetapi cukup punya resources," kata dia.
Yenny Wahid mengaku memang masih ada masyarakat yang kritis dari pemerintah, namun mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup besar.
"Dalam artian begini memang ada suara-suara dari masyarakat sipil yang berusaha untuk bersikap kritis tetapi tidak cukup punya power untuk menghadapi represi dari kelompok-kelompok ini," jelasnya.
Dengan kondisi ini, kekuasaan akan menjadi lemah namun sekaligus kuat.
Lemahnya adalah ketika negara harus menghadapi kelompok-kelompok yang beroposisi dengan pemerintah menggunakan isu agama.
"Di satu sisi oligarki menguat negara di satu juga melemah menghadapi kelompok-kelompok yang menggunakan isu-isu sektarian," kata perempuan 45 tahun ini.[ljc]
Dilansir dari Tribunnews.com, Jumat (20/12/2019), hal itu diungkapkan Yenny Wahid saat menjadi narasumber dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV.
Mulanya, Yenny Wahid mengatakan bahwa negara saat ini kebingungan dengan sejumlah kritik dari kelompok non negara.
"Nah kita melihat ini di masyarakat kita dan di satu sisi negara juga tampaknya bingung kelompok non states ini," ungkap Yenny Wahid dikutip dari Kompas TV.
Negara akan semakin kewalahan jika pihak-pihak non negara itu menyerang dengan menggunakan isu-isu agama.
"Apalagi masyarakat kemudian menggunakan politik identitas sebagai platform mereka dalam melakukan tindakan-tindakan represi."
"Misalnya menggunakan isu-isu agama," jelas Yenny Wahid.
Lantas, Yenny Wahid secara khusus menyebut bahwa yang ketakutan itu adalah politisi yang kini memegang kekuasaan, baik dari lembaga legislatif hingga pemerintah.
"Sebetulnya bukan negara yang bingung, politisi yang sedang memimpin negara baik dari eksekutif maupun legislatif."
"Yang bingung adalah para politisinya karena mereka tidak ingin. Pemerintahnya masuk dalam bagian itu," jelasnya.
Mereka takut akan kehilangan kekuasaan.
Anak dari Presiden ke 4, Abdurrahman Wahid ini mengatakan bahwa semua orang memang ingin mencari panggung kekuasaan.
"Karena kehilangan kekuasaan kan tidak enak, panggung kekuasaan enak maka semuanya pengen masuk," ujarnya.
Sebagai contoh, Yenny Wahid menyebut Prabowo Subianto yang kini masuk menjadi Menteri Jokowi.
Sedangkan diketahui, Prabowo Subianto merupakan rival Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019.
"Termasuk Pak Prabowo yang tadinya berhadap-hadapan dengan Pak Jokowi," ungkapnya.
Akibat itu, Yenny Wahid justru menilai membahayakan.
Pasalnya, tidak ada lagi pihak yang memiliki pengaruh besar untuk mengkritisi negara.
"Nah jadi apa namanya hegemoni inilah yang kemudian menjadi ancaman terbesar."
"Karena tidak ada orang yang punya cukup komitmen untuk mau menghadapinya, tetapi cukup punya resources," kata dia.
Yenny Wahid mengaku memang masih ada masyarakat yang kritis dari pemerintah, namun mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup besar.
"Dalam artian begini memang ada suara-suara dari masyarakat sipil yang berusaha untuk bersikap kritis tetapi tidak cukup punya power untuk menghadapi represi dari kelompok-kelompok ini," jelasnya.
Dengan kondisi ini, kekuasaan akan menjadi lemah namun sekaligus kuat.
Lemahnya adalah ketika negara harus menghadapi kelompok-kelompok yang beroposisi dengan pemerintah menggunakan isu agama.
"Di satu sisi oligarki menguat negara di satu juga melemah menghadapi kelompok-kelompok yang menggunakan isu-isu sektarian," kata perempuan 45 tahun ini.[ljc]