RIDHMEDIA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengajak masyarakat menandatangani petisi mendukung Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelematkan KPK. Menurutnya, petisi tersebut dibutuhkan untuk menganulir Undang-undang (UU) KPK yang baru lantaran melemahkan lembaga antirasuah tersebut dalam memberantas korupsi.
"Sahabat, bantu saya dengan menandatangani petisi ini. Kami membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung Mahkamah Kontitusi menyelamatkan KPK dengan menganulir UU KPK baru yang melemahkan KPK," tulis dia dalam akunnya di Twitter pada Rabu, 15 Januari 2020.
Dia mengajak meneken petisi tersebut di situs change.org. Petisi tersebut dibuat oleh mahasiswa Business Law Binus University, Diky Anandya Kharystya Putra. Petisi untuk mendukung MK Selamatkan KPK itu sudah ditandatangani lebih dari 14 ribu orang sampai pukul 10.50 WIB pada Kamis, 16 Januari 2020.
Menurut dia, nasib pemberantasan korupsi sudah di ujung tanduk karena kewenangan KPK telah dilucuti melalui pengesahan revisi UU KPK. Bukannya menolak akan sebuah perubahan, tapi perubahan tersebut justru memperlemah KPK, sehingga niat dari DPR dan pemerintah patut dipertanyakan, mulai dari pembentukan Dewan Pengawas, perubahan status kelembagaan KPK yang tidak lagi independen, dan ke depan kasus-kasus besar akan berpotensi dihentikan dengan instrumen Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Ini menandakan mimpi Indonesia terbebas dari korupsi akan lebih sulit dicapai," kata Dicky.
Setidaknya, ada tiga alasan sehingga tiba pada kesimpulan bahwa UU KPK baru dibahas dan disahkan tidak sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan.
Pertama, UU KPK tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2019 DPR. Sehingga menjadi pertanyaan bagi publik, apa urgensinya membahas dan mengesahkan suatu UU yang tidak masuk dalam perencanaan?
Kedua, pada saat pengesahan UU KPK di DPR diduga tidak memenuhi kuorum. Dalam banyak pemberitaan menyebutkan pada saat paripurna anggota DPR, yang hadir hanya 80-90 orang dari total 560 orang. Tentu ini merupakan pelanggaran serius, bagaimana mungkin keputusan sebuah lembaga tidak diikuti oleh seluruh anggotanya.
Ketiga, KPK secara institusi yang akan menjalankan UU tersebut tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam pembahasan, baik di tingkat DPR maupun pemerintah. Bagaimana mungkin DPR bersama pemerintah satu pendapat bahwa UU KPK baru akan memperkuat lembaga anti korupsi tersebut, sedangkan KPK tidak pernah diikutsertakan.
"Untuk itu, narasi penguatan yang selalu didengungkan oleh DPR dan pemerintah terkesan sebatas ilusi semata," ujarnya.
Melihat kisruhnya proses pembentukan UU KPK, maka Dicky mengambil sikap. Tidak hanya pimpinan KPK yang resah akan masa depan KPK, tetapi juga banyak masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya ia memulai petisi ini, mengajak semua kalangan untuk mulai melek politik.
Kini, masa depan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia ada di tangan MK. Masyarakat Indonesia kini menggantungkan harapan terakhir pada sembilan Hakim di Mahkamah Konstitusi. Ini menjadi langkah terakhir setelah segala upaya yang sudah dilakukan teman-teman aktivis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat umum. Melalui dunia maya, permohonan ke DPR secara langsung, aksi turun ke jalan, sampai permohonan Perppu dari presiden.
Sementara dalam unggahannya, Dicky mengaku bahwa petisi ini didukung oleh Abraham Samad, Busyro Muqoddas (mantan Pimpinan KPK), Erry Riyana Hardjapamekas (mantan Pimpinan KPK), Betti Alisjahbana (mantan Panitia Seleksi Pimpinan KPK). Selain itu, Clara Joewono (Wakil Ketua Dewan Direktur Yayasan CSIS), Natalia Soebagjo (Transparency International Indonesia), Muhammad Atiatul Muqtadir (Presiden Mahasiswa Universitas Gajah Mada), dan Manik Marganamahendra (Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia 2019). [viva]