Analisis Lembaga Riset Australia soal Sikap Jokowi Terkait Natuna

Ridhmedia
06/01/20, 18:23 WIB

Ridhmedia -  China tetap mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna ke dalam Laut China Selatan. Nelayan-nelayan China bahkan bermanuver mencari ikan di kawasan itu sembari dikawal oleh kapal penjaga pantai (Coast Guard) China. Perseteruan China dan Indonesia ini sudah lama terjadi.

Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016, pengadilan internasional tentang Laut China Selatan menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis.

Indonesia sudah menutup pintu negoisasi dengan China. Indonesia telah mengirimkan pasukan TNI untuk mengusir kapal-kapal China yang bertahan di perairan laut Natuna.

Berdasarkan laporan analisis lembaga riset asal Australia, Lowy Institute Foreign Policy bertajuk 'Indonesia di Laut Cina Selatan: Berjalan sendiri' yang dirilis pada Maret 2017, menyebut di bawah Presiden Jokowi, pendekatan Indonesia terhadap persengketaan persengketaan Laut Cina Selatan telah beralih dari pendekatan pemain aktif yang berusaha mencari penyelesaian damai atas persengketaan yang lebih luas menjadi pendekatan yang berfokus pada melindungi kepentingannya sendiri di sekitar Kepulauan Natuna.

Laporan itu menyebut pergantian posisi Indonesia telah ini didorong oleh peningkatan pelanggaran-pelanggaran batas oleh Tiongkok di sekitar Kepulauan Natuna, kurangnya minat Jokowi pada diplomasi regional saat itu, dan tujuan Jokowi untuk menarik investasi Tiongkok untuk proyek-proyek infrastruktur pentingnya.

"Pendekatan Indonesia yang lebih unilateral (sepihak) menyebabkan negara-negara lain di Asia Tenggara menjadi lebih terisolasi dan rentan terhadap tekanan diplomasi Cina daripada sebelumnya, saat berada di bawah pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono," tulis laporan Lowy Institute.

Laporan itu juga menulis, Jokowi menyatakan retorikanya yang tegas tentang hak-hak kelautan, Indonesia berusaha agar dalam kampanyenya melawan penangkapan ikan liar, mereka tidak membidik kapal-kapal Tiongkok; dan dalam diplomasi regionalnya, pemerintahan Jokowi berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan agar mereka tidak menyinggung perasaan pihak Beijing.

Gaya Susi dan Kehati-hatian Luhut

Laporan Lowy Institute ini juga mencatat beberapa peristiwa penangkapan kapal-kapal nelayan China yang masuk ke wilayah Laut Natuna. Ada tiga peristiwa pada 2010 dan 2013. Namun laporan ini menyoroti penangkapan kapal pemukat China di ZEE Natuna oleh kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia pada 19 Maret 2016.

Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia saat itu, Susi Pudjiastuti, langsung menggelar konferensi pers untuk membeberkan rincian insiden tersebut. Ini merupakan peningkatan dari insiden-insiden sebelumnya pada 2010 dan 2013, saat Indonesia memutuskan tidak mempublikasikan penangkapan seperti ini.

Walaupun begitu, pejabat lain lebih berhati-hati soal insiden penangkapan ini. Jokowi mengingatkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) saat itu, Luhut Panjaitan, bahwa China adalah 'sahabat Indonesia', dan mengirimnya ke Beijing enam minggu sesudahnya untuk menghadiri rapat-rapat mengenai persengketaan tersebut dan investasi China.

Saat kembali, catat laporan itu, Luhut berupaya dinilai melemahkan gagasan adanya pelanggaran oleh China, dengan memberi tahu para wartawan bahwa Indonesia akan berupaya bekerja sama dengan China di bidang perikanan di sekitar Natuna.

Kesimpulan Lowy Institute tentang Diplomasi Jokowi soal Natuna

Berdasarkan analisis beberapa tersebut, Lowy Institute membuat tiga kesimpulan terkait sikap diplomasi Jokowi ketika itu.

Pertama, sikap Indonesia yang tidak memihak telah lama membuat Indonesia pada dasarnya bersikap skeptis mengenai keberpihakan pada satu sisi atau sebaliknya dalam ketegangan di antara negara-negara adikuasa.

Kedua, ketika itu Jokowi dinilai skeptis akan manfaat konsep-konsep abstrak yang diperjuangkan dan summit diplomacy (diplomasi melalui pertemuan tingkat tinggi) yang diperlukan untuk melindungi konsep-konsep itu.

Ketiga, Jokowi disebut ingin mempertahankan hubungan yang baik dengan China untuk memastikan bahwa upaya-upaya untuk memikat investasi China yang lebih besar untuk proyek-proyek infrastrukturnya terlindungi. Namun, jika sikap-sikap terhadap investasi China berubah seiring berjalannya waktu akibat kinerja buruk, atau jika konfrontasi di sekitar Kepulauan Natuna meningkat, situasi itu disebut melemahkan minat Jokowi untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan China. [dt]
Komentar

Tampilkan

Terkini