Banjir Jakarta Dan Solidaritas

Ridhmedia
02/01/20, 14:04 WIB

Oleh:Himawan Sutanto
BERAWAL dari pernyataan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, pada Senin 24 Maret 2014, permasalahan kemacetan dan banjir di Jakarta akan mudah teratasi jika dia menjadi presiden. Itu adalah pernyataan Jokowi menjelang Pilpres 2014. Seorang presiden akan mudah mengatur dan memerintahkan kepala daerah di kawasan Jabodetabek untuk bekerja sama.

Lebih jauh Jokowi menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan bisa menanggulangi kemacetan dan banjir tanpa bantuan daerah lain. Karena salah satu sumber penyebab terjadinya dua masalah klasik Jakarta tersebut juga berasal dari daerah-daerah penyangganya.

Hal di atas menjadi sebuah janji jika Jokowi menjadi Presiden. Tapi setelah jadi Presiden, sampai sekarang juga belum terwujud dan justru lain idenya, yaitu pemindahan ibukota.

Janji tinggal janji, sementara masyarakat jadi gaduh dan saling menyalahkan. Terutama menjadi ramai di medsos. Seolah-olah Anies Baswedan tidak mampu mengatasi banjir. Hingga sebagai Gubernur, dia harus bertanggung jawab.

Padahal hujan 13 jam menjelang tahun baru sampai tahun baru, memiliki intesitas yang cukup tinggi. Bahkan banjir di Bekasi, Depok, dan Banten juga tetap menyalahkan Anies. Padahal Jawa Barat dan Banten bukanlah wewenangnya.

Saling ledek dan saling serang para netizen menjadi lebih tidak masuk akal dan brutal setelah Pilgug DKI Jakarta 2007. Di mana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dikalahkan oleh Anies Baswedan. Dari sinilah awal dari polarisasi politik menjadi kuat dan terbuka.

Sejarah Banjir
Dimulai dengan realitas, di mana di atas puing-puing Jakarta didirikan kota yang diberi nama menurut nama benteng tertua, yakni "Batavia". Kota itu dibangun menurut pola perencanaan sebuah kota di Belanda.

Terusan-terusan digali berhubungan dengan Sungai Besar (Ciliwung). Terusan yang memotong-motong kota dimaksudkan untuk drainase dan lalulintas air, sedangkan yang dibuat melingkungi kota tujuannya ialah pertahanan.

Karena sungai membawa lumpur dari pegunungan, maka kemudian terusan-terusan itu mengalami pendangkalan. Untuk mengatasi itu diadakan pengerukan-pengerukan.

Pengembangan kota mula-mula ke arah Selatan dan Timur. Kemudian juga ke arah Barat, jadi ke tepi kiri Ciliwung memerlukan perluasan sistem terusan ini. Di dalam kota Batavia terdapat 16 terusan yang masing-masing diberi nama seperti Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht, dan sebagainya.

Dari sejarah, setelah ditelusuri banjir di Jakarta sudah terjadi sejak zaman Tarumanegara, demikian catatan dari Nationaleographic.co.id

Pada pertengahan abad ke-17 sistem terusan itu diperluas sampai sungai-sungai di luar kota. Perluasan ini sangat penting, sebab dengan demikian persawahan dan ladang tebu di luar kota dapat diairi, di samping menjamin pengaliran air ke dalam kota. Karena di musim kemarau air Ciliwung sering tidak memadai.

Pada 1647 digali terusan Amanus (sekarang masih mengalir sepanjang Bandengan Utara) di sebelah Barat dari Kali Angke dan terusan Ancol di sebelah Timur dari Kali Sunter ke arah kota. Selanjutnya antara 1653 dan 1659 digali terusan Bageracht (Kali Jelakeng sepanjang Jalan Pekojan) yang menghubungkan Kali Angke dengan Kali Krukut, anak sungai Ciliwung.

Antara 1678 dan 1686 juga digali terusan Mookervaart (yang sampai sekarang masih terlihat di sebelah kiri jalan raya Jakarta ke Tangerang), dari Cisadane di Tangerang ke Kali Angke.

Sementara itu pada pertengahan abad ke-17 di sebelah selatan Ciliwung, antara benteng Jacatra (di ujung Jalan Jakarta sekarang) dan benteng Noordwijk (di seberang Hotel Sriwijaya sekarang) dibelokkan alirannya yang sekarang merupakan terusan yang ada di sepanjang jalan Gunungsahari dan membelok ke Pasar Baru-Jalan Juanda dan dihubungkan dengan terusan Molenvliet (di bundaran Harmoni sekarang).

Dalam keadaan tata air demikianlah pada 1699 Betawi ditimpa musibah meletusnya Gunung Salak yang mendatangkan banjir lumpur dari pegunungan disertai dengan hujan abu yang lebat. Semua jalan air tersumbat lumpur. Penambahan tanah di wilayah pantai juga makin memperburuk drainase yang sudah dalam keadaan tak baik.

Garis pantai berpindah sekitar 75 meter ke arah laut dalam waktu sebulan, yang setengahnya terjadi pada 4 dan 5 Januari sesudah letusan Gunung Salak itu. Setiap banjir, lumpur menyumbat jalan air kembali, padahal pada musim kemarau sebelumnya dikeruk dengan susah payah.

Cara melancarkan jalan air dengan pengerukan itu hanya bisa bertahan beberapa tahun, sehingga orang berdaya untuk mengatasi masalah banjir yang datang setiap musim hujan.

Kepentingan Politik dan Solidaritas
Dari sejarahnya memang Jakarta tidak akan lepas dari banjir. Sebab Jakarta memang banyak rawanya dan sekarang sudah menjadi tempat hunian warga.

Untuk itu banjir adalah sarana yang efektif untuk dijadikan sebagai bahan politik, belum juga kemacetan. Apalagi Jakarta sebagai ibukota yang memiliki nuansa politik kekuasaan yang menggiurkan bagi para politisi.

Lihat saja dari tahun ke tahun, politisasi banjir selalu mengemuka baik itu menjelang pilkada, pileg, ataupun pilpres. Daya tarik politik menjadi terbuka setelah masuk di era demokrasi liberal ini.

Yang menarik, bukan saja warga Jakarta, tetapi warga di luar Jakarta juga terlibat secara aktif untuk menyalurkan ambisi politik pribadinya. Baik itu paham mengenai permasalahan banjir atau tidak. Seperti soal banjir di Jawa Barat, Banten pun yang disalahkan Gubernur Jakarta.

Itulah Jakarta, setiap detik selalu menjadi gadis manis yang selalu diperebutkan oleh siapa saja. Baik itu layak menjadi pendamping maupun tidak. Yang penting Jakarta bisa membawa seseorang menjadi hebat dan kaya.

Jakarta semua ada. Kekuasaan, uang, dan wanita. Demikian pameo yang selalu muncul dan menjadi semangat bagi orang datang ke Jakarta. Hal ini terjadi baik dari warga elite sampai menengah bawah.

Tinggal di manapun yang penting bisa hidup dan mengais rezeki di Jakarta. Setiap tahun pulang dan ingin menunjukkan kesuksesannya. Hal itu yang membuat orang berdatangan, walaupun tidak memiliki keahlian sedikit pun. Jakarta telah menjanjikan segalanya.

Melihat fakta di atas kita menjadi pesimis, jika Jakarta masih memiliki rasa solidaritas. Sebab permasalahan banjir sudah menjadi lahan yang empuk bagi orang yang memiliki kepentingan politik sesaat. Sangat disayangkan jika rasa kemanusiaan menjadi hilang karena bencana bagian dari politik sesaat. Sementara kewarasan kita akan dipertanyakan kembali.

Kalau kita belajar dari pendidikan berbasis 'Fear Based', bukan berbasis pemberdayaan diri sendiri. Yang terjadi adalah kemunduran pada sifat kemanusiaan. Bahkan sekarang cenderung meluntur dan lama-lama hilanglah rasa kemanusiaan. Jika sudah hilang rasa kemanusiaannya, seseorang akan melakukan hal-hal yang di luar kendalinya.

Dari hal di atas kita mencoba melihat realitas kini dengan hadirnya informasi dan komunikasi yang serba cepat, tidak melulu menghasilkan hal yang positif. Karena kita sudah dikendalikan oleh emosi dan jalan pintas.

Sebagai orang yang tinggal di Jakarta, saya masih optimistis, bahwa kesadaran nilai kemanusiaan dan solidaritas masih ada. Lalu jalan menuju perbaikan masih terbuka lebar.

Saatnya Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta menghadirkan keadilan sosial secara tepat dan jauh dari kekuasaan semata. Banjir adalah berkah yang harus diselesaikan dengan kepala dingin dengan melibatkan instasi terkait, baik pusat atau daerah penyangga ibukota.

Marilah kita akhiri politik banjir di Jakarta. Lupakan segala urusan politik saat banjir. Mulailah dengan sanubari kemanusiaan.

(Rumah Budaya Ciliwung)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+