RIDHMEDIA - Pemerintah China berupaya memerangi wabah virus corona dengan menempatkan jutaan warga dalam karantina massal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para pakar mengkhawatirkan langkah semacam itu tidak mampu menghentikan penyebaran virus yang bisa menular antarmanusia ini.
Seperti dilansir AFP, Jumat (24/1/2020), virus corona baru, atau yang disebut 2019-nCoV, yang awalnya berasal dari kota Wuhan di Provinsi Hubei, telah menyebar di sejumlah wilayah lainnya di China dan bahkan ke beberapa negara. Para pakar menyebut negara otoriter seperti China hanya memiliki sedikit waktu untuk membuat warganya tunduk pada karantina massal dan besar-besaran.
"Saya pikir kita sudah melewati periode emas untuk pengendalian dan pencegahan," sebut pakar virus dari Hong Kong University, Guan Yi, dalam analisisnya.
Pemerintah China mulai mengupayakan karantina sejak Kamis (23/1) waktu setempat, dengan memutus seluruh jaringan transportasi dari Wuhan, sebuah kota berpenduduk 11 juta orang yang menjadi asal muasal virus corona sejak akhir tahun lalu. Sejak saat itu, sejumlah kota di sekitar Wuhan masuk ke daftar hitam perjalanan. Langkah itu mengisolasi lebih dari 40 juta orang untuk mencegah mereka yang terinfeksi virus corona bepergian dan menulari orang lain di wilayah lain.
Namun dengan korban tewas yang kini mencapai 26 orang dan infeksi telah menyebar hingga ke Amerika Serikat (AS), ada kekhawatiran bahwa langkah karantina itu sudah sangat terlambat.
Guan Yi yang baru kembali dari Wuhan sebelum karantina diberlakukan, menyoroti banyaknya orang yang telah pergi dari kota itu sebelum liburan Tahun Baru Imlek dimulai pada Jumat (24/1) waktu setempat. Menurut Guan Yi, orang-orang itu bisa saja menginkubasi virus corona 'dalam perjalanan keluar dari Wuhan'.
Gejala infeksi virus corona diketahui memakan waktu beberapa hari untuk muncul, yang disebut juga secara efektif menyemai bom waktu kesehatan di seluruh wilayah China dan di luar negeri.
Associate Professor Adam Kamradt-Scott dari University of Sydney, seorang pakar dalam keamanan kesehatan global, mengatakan hanya 'sedikit' negara yang berhasil melakukan karantina massal. Dia menyebut Amerika Serikat menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu melakukan karantina massal, dengan menggunakan Garda Nasional, meskipun langkah ini menghadapi perlawanan dari populasi yang terbiasa dengan kebebasan sipil.
Rezim komunis yang menguasai China dinilai mampu menundukkan publik, sebagian karena memiliki kendali atas internet, tidak ada kebebasan pers dan adanya aparat keamanan yang sangat efisien. "Saya tidak bisa membayangkan ada banyak negara yang bisa melakukan sesuatu dalam skala ini secepat yang telah dilakukan China," sebut Kamradt-Scott.
Meskipun demikian, Kamradt-Scott memperingatkan bahwa karantina massal yang diperpanjang hingga satu pekan atau lebih, bisa memicu 'rasa ketidakpuasan dan frustrasi yang meningkat'. "Otoritas China akan menyadari itu, saya yakin, dan mereka akan memantaunya dengan sangat saksama untuk menghindari risiko dari segala bentuk kerusuhan sosial," ucapnya.
Disebutkan Kamradt-Scott bahwa meski penyebaran virus corona tak terhindarkan, karantina tampaknya dirancang untuk memberikan waktu kepada pemerintah China untuk menerapkan langkah-langkah lainnya. Dia menyinggung soal rencana China membangun rumah sakit dengan 1.000 ranjang di Wuhan dalam 10 hari saja.
Analis senior pada S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, Zi Yang, menuturkan kepada AFP bahwa masih ada harapan bahwa karantina massal yang kini dilakukan otoritas China akan berhasil dalam mengendalikan penyebaran virus corona.
"Saya yakin masih mungkin terjadi, merujuk pada keahlian China dalam mengendalikan populasi, atau urban control," ujar Zi.
Namun dalam pernyataan terpisah, sejarawan medis dari University of Paris IV, Bruno Halioua menyebut karantina adalah 'murni ilusi'. "Karantina tidak pernah berhasil. Setiap waktu, selalu ada masalah," sebutnya.
Sementara itu, setelah melihat langsung situasi di Wuhan -- asal muasal virus corona baru -- Guan Yi menyatakan pandangan pesimistis. "Saya tidak pernah merasa takut. Kali ini saya takut," tandasnya.
Diketahui bahwa laporan terbaru menyebut otoritas China kini menempatkan 13 kota dengan total 41 juta penduduk dalam karantina massal demi mengendalikan penyebaran virus corona baru yang belum ada vaksinnya ini.(dtk)