Edhy Prabowo Siap Revisi Kebijakan Susi Meski Kena Bully

Ridhmedia
13/01/20, 20:16 WIB

 bulan menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan periode  Edhy Prabowo Siap Revisi Kebijakan Susi Meski Kena Bully

Ridhmedia - Sudah lebih dari 2 bulan menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2024, Edhy Prabowo cukup membuat banyak kebijakan yang menyita perhatian masyarakat.
Sejak awal menjabat, Edhy memiliki banyak rencana untuk mengkaji ulang berbagai regulasi yang diteken pejabat sebelumnya, yakni Susi Pudjiastuti. Mulai dari aturan mengenai penangkan dan budi daya benih lobster, penggunaan alat tangkap cantrang, izin kapal, pengenggelaman kapal pencuri ikan, dan sebagainya.

Meski begitu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini kerap mengatakan bahwa ia hanya menjalankan dua perintah yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika melantik dirinya menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Tugas pertama yakni membangun komunikasi antara pemerintah dengan nelayan, dan meningkatkan budidaya perikanan dan sumber daya lainnya.

Nah, apa saja kebijakan yang akan diberlakukan Edhy ke depannya?

Berikut cuplikan wawancara detikcom dengan Menteri KKP Edhy Prabowo di kediamannya, Komplek Widya Chandra, Jakarta, Jumat (10/1/2020). 


Menteri sebelumnya membuat aturan khusus di Natuna ada beberapa jenis ikan yang tak oleh ditangkap, dan hanya segelintir ikan yang boleh ditangkap, apakah itu akan dievaluasi?

Kalau berdasarkan CITES itu ikan napoleon. Itu dikuotakan, dibatasi. Dan itu pun izinnya tak hanya di KKP, juga di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dan kita masih bersama-sama dengan KLHK. 

Ya kita tidak akan juga. Kalau alasan sudah CITES (Convertion On International Trade In Endangered Spesies Of Wild Fauna and Flora) ya kita akan ikuti aturannya. Tapi kan yang masuk dalam CITES ini ada juga yang bisa dibudidaya. Ini juga yang akan saya lakukan evaluasi. Kalau bisa dibudidaya kan bisa diperbanyak. Kayak kerapu yang tadinya di alam bisa dibudidaya sampai dia beranak. Kalau napoleon belum. Napoleon masih anakan alam lalu dibesarkan. Sama halnya dengan lobster. Lobster belum mudah dilakukan. Walaupun di Tazmania saya dengar sudah ada yang melakukan penelitian 20 tahun. 

Tapi intinya sebenarnya kita ini kan sebagai manusia diajarkan untuk berpikir dan melakukan pengembangan sesuai norma-norma. Kalau ada alam memberikan anugerah, ya kita harus optimalkan itu.

Sebagaimana itu lobster. Kalau dia bisa beranak banyak, ratusan bahkan jutaan di lapangan. Sementara kita tahu lobster ini hidupnya di alam hanya 1%. Peluang hidupnya bahkan nggak sampai 1%, hanya 0,25%. Nah apakah kita akan biarkan ke alam, seperti yang sebelumnya. Ada yang bilang biarkan alam membesarkan.

Saya bilang, kalau manusia bisa melakukan dia hidup menjadi 70%, saya akan mengambil yang 70%. Tapi di saat yang bersamaan, ketika kita mengeksploitasi alam untuk mengambil dan membesarkan, ya saya akan kembalikan mungkin 2-5%.

Saya sudah lakukan, keliling ke pembudidaya lobster yang ada secara diam-diam. Di Lombok, di mana saja. Mereka jangankan 2%, 5-10% saja mereka siap untuk mengembalikan ke alam. Jadi ini hanya masalah di pelaksanaan. Itu contoh.


Hasil rakor Polhukam akan mengirim para nelayan dari Pantura ke Natuna. Itu kira-kira argumentasinya seperti apa? Tidakkah terlalu jauh bagi nelayan Pulau Jawa?

Ini logika sederhana. Bukan hanya nelayan di Pantura, tapi nelayan di Pulau Jawa. Tidak hanya di Pantura, yang juga punya kapal besar tapi tidak mendapatkan izin karena alat tangkapnya dan besarnya kapal. Ini yang sedang kita data.

Rakor ini kami ikuti terus. Walaupun saya belum sempat hadir, sama Menko Maritim juga sudah disampaikan. Sebelum rakor Polhukam juga kami sudah diberi tahu.

Pertama kita data. Berapa nelayan yang punya kapal di atas 150,200, sampai 300 GT. Untuk mengimbangi kapal asing itu. Lagipula kalau kita kirim kapal 100 GT, dia akan tampias oleh ombak itu. KRI saja setengah mati, berat untuk menghadapi itu. Jadi kita hitung. Belum tentu juga mereka mau. Mungkin perlu pemanis.

Tapi yang paling penting dari ini semua, menggeserkan nelayan itu bukan hal yang sulit. Nah yang penting daerah penerima. Kabupaten Natuna, Provinsi Kalimantan Barat karena berbatasan. Ini dulu yang harus kita bicarakan. Dan saya sudah bicara dengan Kepala Dinasnya untuk mendata nelayannya dulu. 

Kalau sudah selesai, sudah tahu, dan ternyata tidak ada mereka pun siap menerima. Tapi dengan catatan yang mereka bawa itu jangan langsung bawa ke Jawa. Biarkan dulu di sini (Natuna), masukkan. Ya didata dulu. Sehingga pajak daerahnya masuk. Karena ini kan alam di Kabupaten dan Provinsi sana. Kan nggak besar, itu biasa. Dan secara prinsip semua nelayan welcome. Dan apa salahnya juga mereka ada di situ, mereka bisa mengajak nelayan lokal untuk bekerja sama. Bersamaan juga nelayan lokal belajar tentang bagaimana mengelola kapal modern, kapal besar.

Mereka ini sebenarnya bisa, tapi tidak berani. Karena untuk mengoperasikan kapal besar cost-nya juga besar. Sama dengan memiliki tanah 1 hektare (Ha), dengan tanah 1.000 Ha. Tanah yang 1 Ha saja butuh biaya Rp 30 juta. Bagaimana mereka bisa memiliki uang Rp 30 juta, lalu dikali 1.000 Ha, Rp 30 miliar kan? Itu yang harus sama-sama kita hitung. Dan itu kita sudah ada KUR, tapi yang paling penting adalah keahlian. Ini mudah kok sebenarnya. Tinggal hanya butuh ketelatenan kita sebagai komandan, pemimpin untuk melatih mereka. Kalau saya punya kemampuan untuk mengarahkan.

Jadi ke Jawa ini jangan sampai ada kekeliruan. Bukannya semua akan menyerbu ya. Tapi yang jelas, saya setuju dengan ide itu, tapi harus diajak dulu yang di daerah.



Nelayan Natuna tak hanya disebut akan diserbu oleh para nelayan dari Pulau Jawa, tapi disebut akan dijadikan tumbal?

Enggak, nggak benar itu. Nanti pada saat fishing kita libatkan PSDKP, dari KKP sendiri pengawalan. Bakamla siap mengawal, Angkatan Laut, cost guard kita. Jadi nggak ada masalah. Jangan istilah tumbal, nggak. Kita isi, di laut-laut ini dengan ramainya nelayan kita. Kapal kita banyak, tapi tak diberi izin karena melebihi kapasitas. Selama ini kapasitas 150 GT. 

Kami sedang membuat kajian lagi kenapa dibuat 150 GT? Ya logika saya dibuat 150 GT-250 GT nggak masalah, kan dia menangkapnya jauh di luar. Jauh dari nelayan kecil. Yang tak diperbolehkan adalah sudah diberi izin besar, merebut yang kecil. Ini yang kita atur. Akankah tabrakan? Ya nggak mungkin. Kalau nelayan asing dari jauh saja mereka bisa lapor, apalagi nelayan biasa? Mereka akan mudah teriak-teriak, dan kita akan hadir.


Apakah akan ada insentif bagi nelayan Pulau Jawa ke Natuna?

Jangan bicara insentif dululah. Kita bicara tawarkan yang mau. Dan saya sangat yakin.


Sejauh ini bagaimana yang ditawarkan kepada nelayan Pulau Jawa yang mau ke Natuna?

Banyak, kan banyak yang minta izin. 

Kalau kita hanya mengacu dengan luas wilayah tangkap kita di situ, kapasitas ikan yang ada di WPP itu, ada sekitar 700.000-an per tahun. Sementara ini sudah terangkat, tereksploitasi 500.000-600.000 lebih. Nah kalau kita tingkatkan, kan kita harus memikirkan itu juga. Ini lagi kita hitung. Tidak masalah berapa pun kapal yang ada di situ supaya tidak over fishing. Nah, over fishing, kalau laporan pendapatannya sama ya nggak ada masalah. Ini over fishing tapi pendataannya under, nah ini yang masalah. Ini harus bertahap. Dan saya sangat yakin, yang paling penting kita optimalisasi nelayan tradisional yang ada di situ (Natuna) terlebih dahulu. Setelah mereka, ini sudah 20.000-an lebih.

Nelayan di situ, mereka dengan 2 GT di musim-musim selatan nggak masalah. Dia masuk sebentar melaut, 5 jam sudah balik. Ongkos rendah, tapi ikan sudah banyak. Nah, ini yang menjadi kebiasaan mereka. Kalau lagi musim besar mereka meladang. Nggak masalah. 

Kalau di situ kan daerah gurita, menangkap gurita. Dulu harga gurita di situ Rp 10.000, sekarang sudah Rp 50.000, dengan adanya aktivitas yang kita buat. Saya pikir hal-hal positif ini yang harus kita buat. Memang soal pelabuhan ini kemarin banyak yang menyatakan belum terasa manfaatnya. Tapi dengan pelabuhan itu sudah bisa ekspor gurita, dan luar biasa. Setiap bulan itu ada. Nah masyarakat yang bicara itu tadi, karena dia nggak langsung melihatnya. Dia ada pengepul, pengepulnya lari ke sini. Kan yang mengelola cold storage kita itu Perindo, dan jalan terus. Memang masih banyak yang harus kita isi. Jadi saya pikir itu. Kalau insentif, saya kira nggak masalah kalau perlu kita kasih. 

Saya akan mulai yang tanpa insentif dulu. Sebenarnya banyak, tanpa insentif mereka (nelayan di Pulau Jawa) sebenarnya sudah mau. Tinggal kita hitung.


Pengamanan laut sudah baik dengan adanya AL dan Bakamla. Nah soal insiden kapal nelayan China dengan cost guard-nya, ada yang menyebutkan bahwa itu terjadi setelah masa depan Satgas 115 tidak jelas. Kemudian kebijakan penenggelaman kapal yang akan disetop sampai Plt Gubernur Kepulauan Riau menyebutkan itu penyebabnya. Sehingga nelayan China ini berani masuk. Karena sudah tak ada yang takut ditenggelamkan?

Kita itu kan bicara penenggelaman kapal, siapa yang menenggelamkan? Dengan cara apa? Orang berpikir kan kapal itu ditembak. Bukan cerita yang sebenarnya. Menenggelamkan itu kan ditangkap, baru diperintahkan kapal itu untuk dimusnahkan. Baru itu namanya penenggelaman. Dulu penenggelaman itu dibakar dengan bahan peledak, sekarang sudah dilarang, baru dibolongin kan bawahnya? Apakah cara seperti itu ada efek jera? Tidak kan. 

Kita akan tetap melakukan penenggelaman. Kalau ada kapal lari tetap kita tembak kalau ada alat untuk menembak. Kemarin kita nggak ada menembak saja ketangkap 3 kapal. Kalau menurut saya ini masih bagus, kalau menurut logika saya. Nggak perlu ditenggelamkan. Yang penting begitu mereka mencuri harus kita tangkap. Penenggelaman kalau perlu ya tetap kita lakukan. Karena penenggelaman kan tidak serta-merta. Harus ditembak peringatan, baru ditembak kapalnya. 

Kalau dalam kejadian kemarin. Dia lari melawan, kita ada peluru, ada mortir, ya kita tenggelamkan. Selama ini kan nggak ada yang melawan.

Baru kemarin yang melawan. Paling ya dia bikin manuver. Turun jangkar lalu memutarkan kapal supaya tidak didatangi. Karena kalau kita datang kan terjerat kapal kita, atau cidera. Atau dibakar kapalnya, modus supaya kita takut, banyak. Terus kapalnya dikasih nama Indonesia. Macam-macam namanya, Abdi, Bima Sakti, sampai Bima Sakit salah menulis itu karena dia nggak mengerti Bahasa Indonesia. Banyak itu, dan sangat jelas. 

Jadi itu silakan mau dibikin cerita apa. Tapi semangat awak saya jauh lebih termotivasi sekarang. Buktinya kalau melihat 3 kapal kemarin itu, mereka mungkin sudah mau menyerah sajalah. Kan kencang. Tapi tidak, mereka lawan, mereka hajar, mereka hanya modal senjata. Ditembaki kapal mereka itu tidak tembus. Senjata kecil, ringan. Kalau ada SMB lain ceritanya, tapi kan kita belum dapat. Kalau ada mortir pasti sudah dimortir. Tapi kan tidak ada. Di situ mungkin akan terjadi penenggelaman 3 kapal, tapi kan tidak ada (senjatanya). Makanya bersyukurlah si Vietnam itu masih hidup semua.

Soal Satgas 115 ini kan sudah Keppres (Keputusan Presiden), nggak mungkin kita langgar. Jadi kita tetap jalan. Ini periodenya sudah selesai di 2019, kita harus ganti personel dong, penyegaran. 

Terus saya juga dapat laporan gaji Satgas 115 ini tak seimbang. Ada yang dapat gaji besar, ada yang kecil. Ini yang mau kita perbaiki, tapi tetap gerak. Satgas 115 kan juga Angkatan Laut, Bakamla, Polisi, termasuk KKP sendiri. Tanya saja siapa yang menangkap kapal-kapal itu? Memangnya Satgas 115 punya senjata? Kan tidak. Makanya koordinasi. Nah fungsi koordinasi ini yang tidak bisa dihilangkan, tidak boleh.

Dulu dibikin Satgas 115 ini karena ketidakyakinan dengan aparat yang ada. Sehingga harus bikin Satgas. Oke sudah ada, kita akan tindak lanjuti. Tapi penjagaan kita tetap jalan. Tapi saya tak mau perintah, tenggelamkan! Untuk apa? Itu bagi saya hanya sekadar cerita. Orang silakan saja kalau menganggap saya lihat. Yang penting lihat kinerja anak-anak saya, PSDKP. Lihat koordinasi saya dengan Angkatan Laut, saya sangat diterima. Lihat sama polisi, saya sangat diterima. Kita sama kok, sama-sama jaga. Dan saya sangat yakin teman-teman polisi itu bangga untuk menjaga tanah airnya. Angkatan Laut juga bangga.

Masalah ada nelayan asing di Natuna ini bukan cerita pertama kali. Sudah dari tahun ke tahun terjadi dan di musim-musim panas. Ini kan hanya seolah Menteri yang sekarang nggak mampu. Dan saya sendiri biar saja dibilang nggak mampu, tapi saya kerja. 

Per hari ini saya sudah 7 kapal ketangkap. Tanpa saya banyak omong, tanpa ilustrasi ke publik, nggak usah. Yang penting saya tidak tidur, anak buah saya makanya semangat. 

Anda coba wawancara sama teman-teman yang menangkap. Saya bekali apa ke mereka selain semangat? Mereka berangkat.

Kalau ada kapal China di Natuna ya ditangkap sama mereka. Nyatanya kan nggak ada. Kalau ada sudah pasti ditangkap, for sure, sangat yakin saya. Nyatanya kan nggak ada. Mereka sudah sisir, dan kita akan terus sisir. Di mana? Sebut. 

Ya itulah. Memang ada di peta kita 3 cost guard-nya melanggar di situ. Tapi ini biarlah urusan diplomasi. Kita juga nggak perlu terpancing. Sudahlah, ini kan bukan di zona teritory, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kan. Bukan di teritorial, bukan di 12 mil. Ini di zona ekonomi, yang pemanfaatan laut. Ya kita nggak usah merasa gimana. Kita tetap jaga. Yang penting agar ini tak terjadi lagi, kita perbanyak saja nelayan kita. Biar tambah orang, banyak isi.

Nelayan-nelayan di situ (Natuna) kan ketakutan karena kapal mereka hanya 5 GT, bahkan 2 GT ada masuk ke situ, diusir. Tanya mereka, bukan hanya China, Vietnam pun ada cost guard-nya yang datang ke situ. Thailand, Malaysia, Filipina juga ada. Mereka baik kadang-kadang. Memberi ikan, memberi bahan bakar. Biasa itu kalau sudah di tengah laut. Itulah.

Nah sekarang jadi gosip kan karena ada pertukaran kepemimpinan di dalam KKP. Ya mungkin menurut saya karena itu saja. Karena ketika saya menemukan ini semua, ini hal yang lumrah yang menurut saya terlalu dibesar-besarkan. Tapi sekali lagi ini bagus untuk meningkatkan kewaspadaan kita. Bagi saya, jangan terlalu fokus di sini saja. Karena ZEE kita luas, Morotai, di laut Arafuru, di Sulawesi, Bitung ke atas itu, kan itu juga perbatasan. Di laut Banda, di Samudera Hindia. Kan itu yang perbatasan. Coba itu saja, saya sudah hitung.

Saya terus terang saya akan lakukan ini, dan saya menambah armada-armada tangkap kita dan akan dioptimalkan. Ya silakan nanti yang mau memberi masukan, menyampaikan ide atau gagasan, kalau mau kritik silakan. Dari pada kritik di media, di publik kami kasih (akses). Kita sudah punya Komisi Pemangku Kepentingan saya sudah lantik. Silakan ini jadi tempat berdiskusi. Penasihat Menteri saya sudah angkat. SK-nya sudah saya keluarkan, tinggal dilantik saja. Silakan ini, ada masukan, kami terima. Mau caci, mau maki silakan. Tapi bertanggung jawab. Jangan hanya bicara di media, di publik, tapi saya minta pertanggung jawaban. Nggak usah kita ngomong lain. Dan apa yang saya sampaikan di media ini saya ingin menyampaikan bahwa saya sangat menerima semua jenis masukan untuk mempertahankan kedaulatan negara kita. Menghidupkan sektor kelautan dan perikanan. Tidak hanya perikanan tangkap, tapi juga perikanan budi daya sesuai dengan perintah Presiden. 


Pak Edhy sebelumnya di DPR, Komisi IV yang mitra kerjanya KKP. Dan Pak Edhy posisinya di partai oposisi. Apakah yang disampaikan sekarang sudah disampaikan sebelumnya kritik-kritik itu?

Sudah semua. Itu bahkan jadi kesimpulan rapat. Kalau saya mau tangan bersih, saya tinggal jalankan kesimpulan rapat 5 tahun lalu. Semua saya jalankan. Dari alat tangkap, dari ukuran kapal, ada semua. Termasuk koral. Tapi kan tidak. Kita harus bangun komunikasi yang cerdas, jangan emosional. 

Wong saya tanya tentang lobster, 'sudah itu alam saja. Biarkan alam, dari pada kita kasih makan, menghabiskan energi, bla bla bla'. Loh itu saksinya banyak kok. Ada rekamannya bila perlu. Ada kok. Kan saya yang memimpin rapat. Saya ketua komisi. Dan saya nggak pernah menutupi ini. 

Saya nggak bermaksud menyerang, saya hanya bicara faktanya. Nyatanya kan saya yang diserang, saya yang dibully. Tapi saya nggak masalah. Belum tentu yang bully itu orang, bisa saja mesin. Maaf ya, kalau dia orang, datang dong ke sini. Kasih tahu ke kantor saya, saya terbuka. Datang ke rumah saya. Kasih tahu kenapa keberatan dengan kebijakan yang saya ambil? Wong kebijakannya belum dirilis. 

Apa saya salah melakukan inisiatif? Kalau saya salah kasih tahu dong. Kantor saya ada, tim ada. Dan saya nggak pernah menutup diri. Jadi apa? Masalah penenggelaman kapal? Mau kita blak-blakan soal penenggelaman kapal? Apa? Satgas? Satgas ada kok. Saya tinggal pilih orang untuk memperbaiki Satgas. 

Penyempurnaan organisasi? Saya nggak maksud menceritakan kejelekkan orang. Memang faktanya ada 151 jabatan kosong. Baru saya selesaikan, belum lama. 151 jabatan kosong saya isi semua. Banyak juga yang menyalahkan. Sudah yang penting isi dulu. Karena organisasi itu kalau kosong timpang, nggak bisa kerja optimal. Jangan harap lari kencang.

Ibaratkan jari kaki kita cantengan, larinya juga pincang. Apalagi organisasi dengan 150 orang kosong. Ini rasional saya. Saya bukan orang pintar, makanya saya masih terus sekolah, masih terus belajar. Kalau orang pintar kan nggak perlu sekolah lagi. Kalau saya kan begitu.


Soal China menjadi ironi, China mencuri ikan di perairan kita, tapi kita mengimpor ikan dari China. Sampai 40% ikan beku?

Sampai 40% saya nggak tahu ya. Tapi kita mengimpor ikan ada. Tak hanya dari China. Salmon itu kan kita nggak punya salmon. Dari mana saja itu. Makarel kan kita nggak punya. Beberapa ikan yang dipakai untuk bahan industri, tapi produksi kita hanya sedikit, terpaksa kita harus memenuhi kebutuhan industri.

Kita nggak boleh juga tutup mata dengan pertumbuhan industri yang ada. Jadi saya pikir bukan itu masalahnya. Yang jelas kalau pun kita mengimpor dari China, China juga siap kok menerima ekspor dari kita. Itu komitmen. Dan komitmen itu kan juga harus ditunjukkan seperti apa. 

Mereka sudah berapa kali mengirim pengusaha-pengusahanya ketemu, dan mereka sangat siap. Mereka tak akan terjun di penangkapan, mereka minta peluang. Semua industri hasil tangkap siap mereka terima, dan mereka siap membangun industri turunannya di Indonesia. Dan mereka siap membantu banyak. Ini kan harus kita buktikan.

Dan kemarin juga saya dengar Dubes China sudah bicara di media, mereka mengakui hubungan dengan kita baik. Tapi sebagai sahabat ada salah persepsi biasa kan. Ya mereka yakin bisa laksanakan. Kita juga sebaliknya yakin. 

Saya kok menilai kita nggak usah terpancing jauh. Kalau dihitung, ya hitung rapi saja berapa kerugian. Kan kita nggak melihat juga. Kayak kemarin kapal-kapal Vietnam yang kita tangkap saja kan dia nggak ada ikan yang luar biasa banyak di situ.

Dan saya yakin akan terus banyak, walaupun ditangkap mereka akan lakukan lagi. 


Investasi China akan ditempatkan di mana?

Di industri. Termasuk industri kapal, karena industri kapal kita kan nggak terlalu banyak, masih belum banyak mungkin ya. Tapi industri pengolahan, industri turunan lainnya akan kita buka.

Dan sebetulnya sebelumnya sudah banyak juga. China, Jepang, Korea, India juga sudah masuk. Termasuk di budi daya, ini akan kita buka juga. Sekarang China sudah masuk di budi daya Lingga di Kepulauan Riau. Sudah masuk, sudah melakukan. Dan banyak tempat di Indonesia yang saya sangat yakin pertumbuhan di sektor budi daya, termasuk udang yang Pak Jokowi, Pak Presiden memerintahkan saya fokus, nggak usah banyak-banyak. Satu yang penting benar. 

Karena beliau kan saya laporkan budi daya udang kita belum efisien. Karena masyarakat kita 1 hektare (Ha) itu hanya menghasilkan 1 ton per tahun. Padahal kalau intensif itu bisa sampai 50 ton per tahun. Jadi kalau masyarakat kita tingkatkan 5 ton saja kan sudah 400% peningkatan. 

Sementara tambak di Indonesia sudah sampai 600.000. Itu 300.000-nya udah. Ini kan kalau optimal penuh, kalau sampai 1 ton peningkatan jadi 5 ton itu kan 400%. Kalau 100.000 Ha, jadi 500.000 Ha, sudah meningkat berapa dari yang ada saat ini.

Jadi saya pikir banyak sekali peluang. Tentunya tidak mudah. Kemarin saya ke daerah Mempawah, Kalimantan Barat. Sebelahnya juga tempat budi daya ikan arwana. Mereka juga punya lahan yang luas sekali. 70 kali dari luas kota Pontianak yang luasnya 10.000 Ha. Jadi 700.000 Ha. 

Arwana itu ekspor. Tapi tak hanya arwana, bisa juga tambaknya. Tadi pagi juga saya menemui Bupati Pidi, garam di sana mereka minta industri garam karena lumayan tinggi harganya. Bahkan mereka minta dibuat pelabuhan pendaratan ikan. 

Jadi setiap daerah, setiap kesempatan mereka datang saya selalu terima. Saya ingin dibangun. Meski anggaran kita terbatas, kita dulukan yang mana. Yang rajin, itu kita dahulukan. Dan saya yakin akan bergilir. 

Begitu ini jadi, terbentuk, feed back-nya itu yang ke luar. Seperti SKPT yang ada hanya belum optimal. Pelabuhan-pelabuhan yang dibangun belum sempurna, tapi ini kan harus terus dibina. Kan nggak bisa langsung tumbuh. 

Seperti di Untia, sudah dibangun belasan tahun tapi masih saja ada kekurangan. Nah pada saat kekurangan itulah kita isi. Ada perumahan yang dibangun PU, tapi airnya nggak ada. Ada penampung airnya, tapi menarik airnya susah. Ini kan harus dikomunikasikan semua pihak. Ada perumahan anak sekolah nggak ada bus, alhamdulillah Wali Kota mau ngasih. Ini nanti kita cari dari perhubungan bus. Ini nggak masalah, hal-hal kecil ini bisa kita cari. Ini yang jadi permasalahan utama. Kalau kita pemimpin semua mau mendengar keluhan dengan telaten, dengan teliti, saya pikir hal-hal itu bisa terjawab.

Dan saya tak ada masalah dengan itu. Saya 3 periode menjadi Anggota DPR dengan suara yang tidak sedikit, naik terus. Akhirnya apa? Saya sudah terbiasa menghadapi ini. Bagi saya menjadi Menteri adalah kebanggaan. Kalau ditanya lebih santai di mana, ya lebih santai di DPR. Tapi di sini kan punya kebanggaan, punya kekuatan dan bisa melakukan. Kalau di DPR itu kan legislasi, mengawasi, membuat peraturan, Undang-undang (UU). Tapi kan pelaksanaannya ada di kita. Makanya komunikasi harus jalan dengan baik. Saya merasa dengan DPR komunikasi baik, dengan DPD juga, dan dengan Pemda tak ada masalah.[dtk]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+