Oleh:Mehrdad Rakhshandeh Yazdi
Mayor Jenderal Qassem Soleimani (11 Maret 1957 - 3 Januari 2020) merupakan perwira militer senior Iran dalam Pasukan Pengawal Revolusi Islam (IRGC) dan sejak 1998 menjadi komandan dari Pasukan Quds. Ia dalam peristiwa sebelum Revolusi Islam Iran mengenal seorang alim agama bernama Reza Kamyab dan menurut penuturan Sohrab Soleimani (saudara Qasem Soleimani), saudaranya yaitu Qassem Soleimani adalah salah seorang penggerak demo-demo menentang pemerintahan Shah Iran di Kerman.
Karakter menonjol Qassem Soleimani adalah jiwa keikhlasan (ketulusan), tawakal, dan ketaatan terhadap wali faqih. Ia juga memiliki kejeniusan dalam mengenal musuh dan operasi-operasi strategis melawan musuh. Keberanian dan kesiapan selalu menerjang bahaya juga menjadi kekhususannya. Pada saat yang sama, Soleimani adalah sosok kharismatik di hadapan kawan dan bahkan lawan. Ucapan dan perilaku dibarengi dengan kerendahan hati menjadi faktor daya tariknya.
Qassem Soleimani menjadi salah satu komandan operasi Wal Fajr 8, Karbala 4 dan Karbala 5. Operasi Karbala 5 disebut sebagai operasi Iran terpenting semasa perang yang dinilai berhasil melemahkan posisi politik tentara Ba'ts Irak dan menstabilkan posisi yang menguntungkan kekuatan militer Iran
Qassem Soleimani saat memegang komando Pasukan Quds memiliki peran penting dalam memperkuat Hizbullah Lebanon dan kelompok-kelompok pejuang Palestina yang bukti konkritnya dapat disaksikan dalam berbagai peperangan, di antaranya perang 33 hari Hizbullah dan kemenangan para pejuang Palestina dalam perang 22 hari melawan Rezim Zionis.
Soleimani berhasil membentuk Al-Hashad Al-Shabi di Irak dan Pasukan Pertahanan Nasional di Suriah. Karena perannya dalam mengatur strategi kawasan dan menghadapi musuh, media-media dalam dan luar negeri memberikan banyak julukan kepadanya, seperti The Shadow Commander, Jenderal Internasional, Komandan Hantu, Komandan Misterius, Mimpi Buruk Musuh, Malik Asytar masa kini, Jenderal Haj Qassem.
Dengan munculnya ISIS di Suriah, beberapa kota dan desa di negeri itu, selain Damaskus sebagai ibu kota dan beberapa kawasan Latakiah dan Tartus, satu per satu jatuh di bawah kontrol ISIS. Dalam masa yang singkat, lebih dari separuh tanah Suriah dikuasai ISIS. Dalam kondisi tersebut ISIS telah melintasi perbatasan Suriah untuk memperluas cakupan wilayahnya dan telah memasuki Irak.
Tidak berselang lama Mosul juga jatuh dan ISIS bahkan sampai ke kedalaman Irak hingga ke Fallujah, Tikrit, Samarra dan ke perbatasan Iran. Selain Damaskus, Erbil dan Baghdad juga terancam dikuasai ISIS yang telah melakukan pembunuhan sadis tiada henti. Di sinilah pasukan Quds pimpinan Soleimani dan beberapa pasukan muqawamah di kawasan melalui langkah-langkah konseling dan aksi medan tempur mencegah jatuhnya Suriah dan Irak sepenuhnya oleh kelompok teroris terjahat ini.
Pejabat-pejabat Irak dan wilayah Kurdistan serta Suriah berulang kali mengakui peran Iran dan Jenderal Soleimani dalam mencegah jatuhnya Erbil, Baghdad dan Damaskus. Dalam pembentukan dan pengaturan front muqawamah yang terdiri dari Pasdaran Revolusi Islam, Hizbullah Lebanon, Pejuang Fatimiyun Afghanistan, Zainabiyun Pakistan, Haidariyun dan Hashad Sha'bi Irak, peran Jenderal Syahid ini tidak tertandingi.
Foto-foto kehadiran sosok lelaki paruh baya di medan perang dengan pakaian berdebu dan bersahaja, tanpa atribut pangkat militer di tengah pasukan muqawamah dari berbagai negara hari ini menjadi kenangan abadi. Gambar tersebut merupakan simbol dan kehadiran Komandan Soleimani di barisan terdepan melawan ISIS. Pengulangan foto-foto tersebut berhasil melemahkan dan bahkan mengakhiri eksistensi ISIS. Dengan improvisasi oleh kelompok muqawamah, keadaan menjadi berbalik dan ISIS mengalami kekalahan demi kekalahan di berbagai medan perang.
Pada 30 November 2017, Mayjend Qassem Soleimani selaku komandan pasukan Quds mengumumkan berakhirnya pemerintahan kelompok teroris ISIS dalam sebuah surat kepada Pimpinan Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Peristiwa penting ini secara final diumumkan ke khalayak dengan diturunkannya bendera ISIS di kota Al Bukamal, Suriah. Pada hakikatnya ini adalah bayar janji yang pernah disampaikan Soleimani dalam acara peringatan 40 hari kesyahidan Imam Husein.
Tujuan dan program makro sistem yang berkuasa, tepatnya Amerika Serikat untuk wilayah Barat Asia (Timur Tengah menurut ungkapan mereka) adalah desain Timur Tengah baru. Rencananya, Suriah, Lebanon dan Irak akan menjadi poros utama peta ini. Maksud mereka adalah menaikkan beberapa negara di wilayah tersebut yang tunduk kepada AS supaya tidak muncul ancaman terhadap AS dan Israel dari wilayah ini.
Pengaruh ini direncanakan bahkan tidak hanya terlihat secara lahiriah, namun secara hegemoni spiritual dan nyata. AS ingin merealisasikan tujuan makro ini dengan menciptakan ketidakstabilan di kawasan. Demi kepentingan AS, dilakukan beberapa langkah seperti menciptakan ketidakamanan, melemahkan negara-negara merdeka, ketidakstabilan, dukungan terhadap terorisme takfiri dan ekstremis di kawasan. Namun rencana ini mengalami kegagalan karena strategi Qassem Soleimani.
Peran Mayjen Qassem Soleimani dalam membasmi ISIS tidak dapat diingkari oleh musuh. Sosok dan kepribadian Soleimani menjadi objek analisis media-media AS dan Barat sebelum munculnya ISIS; namun peran kuncinya dalam menghancurkan ISIS lebih kental di media-media internasional dan petinggi-petinggi Barat dan AS. Jenderal Iran ini pernah menjadi sampul majalah Amerika Newsweek dengan berita utama Musuh Abadi. Dalam penjelasannya disebutkan, "Pertama ia berperang melawan AS, kini sedang membasmi ISIS".
McChrystal, mantan komandan operasi khusus AS di Irak terkait peran Komandan Soleimani berkata, "Dengan munculnya fenomena jahat dan kejam bernama ISIS, kini Soleimani mengambil peran Ksatria Putih di hadapan mereka."
"Menurut saya, Soleimani memiliki peran vital dalam menyelamatkan Rezim Bashar Assad. Hampir tidak mungkin Assad memiliki kepercayaan diri dan dalam sebagian kasus, kemampuan bertahan menghadapi topan tersebut hingga 2-3 tahun karena realitanya pemerintahannya hampir runtuh," tambahnya.
Ryan Crocker, mantan duta besar Amerika di Irak dan Timur Tengah juga menyinggung peran Soleimani dalam menghadapi ISIS, "Pemerintah Bashar Assad dalam sebagian kondisi menemui sandungan dan hampir jatuh. Pasukan Quds dan sebagian tentara Iran datang menolongnya."
Scott Bennett, analis AS dan mantan pejabat perang psikologis tentara AS dalam sebuah wawancara menyebut peran Komandan pasukan Quds Iran dalam menghadapi terosisme, "Soleimani dalam operasi khusus militer melawan terorisme ISIS sangat tenang dan menunjukkan kepada dunia bahwa Iran menentang ISIS secara moral di semua bidang. Dunia akhirnya memahami bahwa Iran bukan saja tidak menjadi pendukung ISIS, namun menjadi solusi utama dan nyata untuk menghentikan ISIS."
John Maguire, mantan perwira CIA tentang perang Al-Qusair di Suriah yang menyebabkan direbutnya kembali kota strategis tersebut oleh tentara Suriah, berkata, "Soleimani inilah yang secara langsung mengomandoi operasi yang berhasil meraih kemenangan besar."
Kerendahan hati Soleimani di tengah sahabat-sahabat seperjuangan dan pasukan muqawamah yang bertempur adalah topik lain yang menarik perhatian para pejabat dan pakar AS. Maguire dalam pernyataan lain menyampaikan, "Tentara biasa yang masih berusia 25 tahun dan sedang berperang tanpa rompi anti peluru di tengah pasukan paramiliter, bagaimana mungkin tidak termotivasi dan melakukan tugasnya dengan baik ketika ia melihat komandannya yang seusia kakeknya sedang berjalan dengan satu baju biasa di medan perang dan di tengah tembakan peluru? Hal tersebut menjadi sebuah pesan inspiratif bagi seorang tentara bahwa orang seperti itu tidak memiliki rasa takut dan kitapun harus demikian."
"Saya benar-benar meyakini bahwa orang-orang seperti Qassem Soleimani merasa sedang menentukan takdirnya sendiri dan bila terbunuh, akan terbunuh dengan baik dan terhormat. Pandangan mereka dalam hal ini berbeda dengan misalnya kita orang AS. Mereka meyakini sedang melaksanakan sebuah perintah Ilahi," tambahnya.
Mantan Presiden AS Barack Obama dalam salah satu pertemuannya dengan Haedar Al Ebadi, PM Irak pada 2014 menyebutkan tentang Mayjend Soleimani, "Meskipun ia musuhku, tapi aku memberikan penghormatan khusus kepadanya."
Presiden Donald Trump yang memasukkan Jenderal Soleimani dan pasukannya dalam list kelompok teroris dan yang memerintahkan pembunuhannya tidak mampu untuk tidak mengakui Soleimani sebagai sosok anti-terorisme. Ia berkata, "Orang-orang Iran bahkan lebih memusuhi ISIS dibandingkan kita."
Dengan diterornya Qassem pada Jumat (3/1) dini hari oleh tentara AS di Irak, Republik Islam Iran berubah gelap karena duka. Peristiwa itu memicu rakyat di berbagai kota dan provinsi di Iran turun ke jalan-jalan sebagai reaksi atas teror Soleimani. Mereka mengecam aksi teror tersebut dan menginginkan penuntutan balas yang berat terhadap aktor-aktor kejahatan ini.
(Konselor Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Indonesia)