Ridhmedia - Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar tidak mempermasalahkan penggunaan cadar, dan celana cingkrang di kalangan umat muslim. Sepanjang dilakukan dengan penuh kesadaran hal tersebut merupakan hak asasi seseorang untuk menggunakan simbol-simbol tertentu.
"Yang salah kalau orang yang pakai cadar dan celana cingkrang itu mengharamkan, menajiskan kelompok yang tidak pakai cadar dan celana cingkrang. Sepanjang tidak saling menyalahkan, monggo," kata dia kepada Tim Blak-blakan detik.com di masjid Baitut Tholibin Kemendikbud, Selasa (31/12/2019).
Hanya saja bila dikaitkan dengan kearifan lokal serta memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam dalam memahami substansi Al-Quran dan Hadits, akan memahami bahwa hal semacam itu adalah cuma atribut Arab. Nasaruddin yang pernah menetap di Timur Tengah berpendapat penggunaan cadar bagi wanita maupun sorban untuk pria merupakan bagian dari hak kultural (culture right) masyarakat di Timur Tengah. Sebab di sana memiliki cuaca lebih panas daripada di tanah air.
Sebaliknya saat tinggal di Kanada pada 1993-1994, Nasaruddin melihat banyak perempuan di negara itu juga mengenakan pakaian serba tertutup di saat musim dingin yang ekstrem padahal mereka bukan muslimah.
"Kalau pakai cadar itu wajib, mengapa Rasulullah mengatakan tidak sah haji-nya orang yang pakai cadar. Maka tidak ada satupun orang di Padang Arafah pakai cadar. Harus buka cadar semuanya, karena kalau tidak itu batal haji-nya," ujar Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah itu.
Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran itu juga menegaskan Islam merupakan agama yang terbuka dan memandang kearifan lokal juga bisa menjadi sumber hukum. Tiap orang, kata dia, akan semakin memiliki diri sendiri jika memahami substansi agama dan mengakui adanya hak kultural dari tiap individu. "Tidak perlu menjadi orang Arab untuk menjadi the best moslem," tegas Nasaruddin.
Dalam berdakwah, ia melanjutkan, Nabi Muhammad SAW pun tidak melakukan semuanya dari awal. Sebab Nabi diutus untuk menyempurnakan, bukan memulai dari nol. "Jadi apa yang sudah eksis di masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran islam, go ahead," ujarnya.
Karena itu tidak perlu mengidentifikasikan diri dengan negeri tertentu untuk menjadi seorang muslim. Ia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad menggunakan tiga jari untuk makan karena makanan pokoknya adalah roti, sementara masyarakat Indonesia yang mengonsumsi nasi menggunakan lima jari.
"Kalau kita makan tiga jari kapan kenyangnya kan. Jadi tidak semua perkataan, perbuatan nabi harus diikuti. Jadi kapasitas nabi sebagai makhluk pribadi yang makannya tiga jari juga tidak harus ditiru oleh orang Jepang yang menggunakan sumpit,"ujarnya.
Pada bagian lain, Nasaruddin bicara soal optimismenya terhadap umat muslim Indonesia yang semakin cerdas dan tidak mudah terprovokasi oleh ujaran kebencian dan tindakan intoleransi. Ia berharap para cerdik-pandai dari masyarakat muslim mainstream aktif dalam melakukan kontra narasi terhadap ujaran kebencian di berbagai media.(*)