GENCARNYA tuntutan publik agar pemerintah mengusut skandal Jiwasraya dan ASABRI secara jujur dan transparan membuat Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi ‘gebuk’.
Perintah yang beliau sampaikan kepada jajaran penegak hukum jelas: agar semua yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi terbesar dalam sepanjang sejarah republik itu digebuk.
Bahkan, kata Menkopolhukam Mahfud MD, jika ada orang Istana yang terlibat, Presiden tetap minta mereka diproses ke pengadilan.
“Siapapun yang terlibat, gebuk saja,” begitu kata Mahfud dalam sebuah acara talkshow televisi, dua pekan lalu.
Sekilas, pernyataan ‘gebuk’ tersebut menunjukkan keseriusan Istana dalam mengungkapkan megaskandal itu. Ironisnya, dalam sama waktu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru pimpinan Firli Bahuri justru memilih ‘cuci tangan’.
Saat bertemu dengan pimpinan BPK pada 7 Januari lalu, KPK menyatakan ‘melepaskan’ kasus yang dinilai kompleks tersebut.
Dengan demikian, pernyataan ‘gebuk’ yang dilontarkan Presiden tersebut terasa hampa maknanya, karena alat terkuat untuk menggebuk para pencuri uang negara itu itu telah berubah jadi lembek.
KPK sebagai lembaga yang sebelumnya paling dipercaya publik untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, memilih tidak ikut cawe-cawe dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Tentu ironis. Sebab, logika publik menganggap bahwa kejahatan terhebat sepantasnya dihadapi oleh pemberantas kejahatan terhebat.
Jika banyak politisi partai penguasa mengkritik OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK yang hanya melibatkan uang senilai ratusan juta sehingga dinilai sebagai korupsi skala kecil, maka KPK seharusnya menjawab kritik itu dengan membongkar habis kasus Jiwasraya dan ASABRI yang melibatkan uang puluhan triliun rupiah. Apadaya, KPK memilih tenggelam dalam arus tuntutan pengungkapan kasus Jiwasraya.
Memang, publik seakan mendapatkan harapan baru ketika dalam dua pekan terakhir, Kejaksaan Agung yang mengambil inisiatif dalam kasus skandal Jiwasraya menetapkan lima orang tersangka.
Mereka adalah aktor-aktor yang dianggap kunci dalam dugaan penyelewengan investasi perusahaan asuransi pelat merah itu, yaitu Harry Prasetyo (Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya), Benny Tjokrosaputro (Komisaris PT Hanson International Tbk), Heru Hidayat (Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk), Hendrisman Rahim (mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya) dan Syahmirwan (mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya). Kelimanya ditahan sejak Selasa (14/1) untuk jangka waktu 20 hari, yang berakhir minggu depan.
Pihak Kejaksaan juga menggeledah 15 lokasi yang sebagian merupakan kantor perusahaan manajemen investasi. Seperti PT Hanson Internasional Tbk, PT Trimegah Securities Tbk, PT Pool Advista Finance Tbk, PT Millenium Capital Management, PT Jasa Capital Asset Management, dan PT Corfina Capital Asset Management.
Di rumah Harry Prasetyo, Kejagung menyita berbagai barang mewah dan perhiasaan. ‘Pertunjukan kemewahan’ tersebut sudah pasti memancing keingintahuan lebih besar dari publik terhadap kasus ini.
Karena, belum lama berselang, publik tanah air juga disuguhi berita mengenai penyelewengan yang terjadi pada BUMN Penerbangan, di mana Direktur Utamanya juga digambarkan bermewah-mewahan dengan koleksi moge yang bejibun.
Meski demikian, munculnya harapan publik kepada Kejagung agar mengungkap kasus Jiwasraya secara tuntas mulai terganggu oleh pernyataan-pernyataan reaktif dari Istana, manakala terdapat suara-suara kritis yang menyinggung ‘sejarah’ Harry Prasetyo di Medan Merdeka.
Selepas berhenti dari Jiwasraya dengan masalah keuangan yang akut, Harry diangkat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP). Wajar jika publik ingin mengetahui riwayat rekrutmen dan sepakterjang Harry di Istana.
Sayangnya, alih-alih memberikan penjelasan detail mengenai asal muasal Harry dan siapa yang 'membawanya' ke posisi penting di istana, Moeldoko justru ‘menyerang’ pihak yang menuntut penjelasan dengan istilah ‘halu(sinasi)’.
Reaksi keras Moeldoko itu mencerminkan keinginan agar pembicaraan publik mengenai Jiwasraya dibatasi di luar pagar Istana. Hal itu tidak sejalan dengan pernyataan Presiden agar siapapun yang terlibat ‘digebuk’, sekalipun ia atau mereka berada di dalam Istana.
Moeldoko sempat mengakui bahwa ada keteledoran sumberdaya manusia dalam perekrutan Harry ke Istana. Walau aneh bagi publik untuk percaya bahwa lembaga seberwibawa KSP tidak memiliki alat untuk menyelidiki latar belakang seseorang yang masuk lingkaran dalam kekuasaan.
Seharusnya Moeldoko bersedia memberikan penjelasan rinci dan transparan tentang siapa yang teledor dalam rekrutmen, siapa yang merekomendasikan Harry masuk istana, serta bagaimana sepakterjang Harry di istana. Hal itu demi memperkuat komitmen ‘gebuk’ dari Presiden serta menambah informasi kepada aparat penegak hukum mengenai kemungkinan keterlibatan aktor-aktor penting di dalam kekuasaan.
Jika KSP ‘reluctant’ untuk memberikan penjelasan publik seterang-terangnya ihwal keberadaan Harry di sana, spekulasi bahwa Harry berupaya mendapatkan suaka politik dan hukum saat ia mendapatkan jabatan sebagai staf istana, tak bakal mudah dihentikan.
Ketertutupan Istana akan informasi perihal Harry juga akan menurunkan harapan yang sudah sedemikian tinggi diarahkan publik kepada Kejagung. Apalagi, Kejagung terkesan menggunakan standar ganda dalam menyelesaikan dua kasus mega korupsi asuransi plat merah: bertindak cekatan pada kasus Jiwasraya tetapi memilih tidak menangani kasus ASABRI.
Pilihan untuk ‘cuci tangan’ pada kasus ASABRI itu menafikan dugaan bahwa sebagian aktor penyelewengan investasi kedua BUMN asuransi itu diduga orang-orang yang sama. Tentu, hal itu mengecewakan publik.
Harapan publik yang membuncah terhadap pengungkapan kasus Jiwasraya dan ASABRI akan kian gembos ketika dukungan politik untuk pengungkapan skandal-skandal ini tak juga bertambah.
Hingga saat ini, hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS saja yang mendukung pembentukan Pansus penyelidikan skandal megakorupsi tersebut di DPR. Parpol-parpol penguasa ngotot agar kasus Jiwasraya diselesaikan di level Panja yang fokusnya pada hal-hal teknis.
Seolah-olah, ada bau kekhawatiran yang menyengat tatkala mereka dihadapkan pada usulan pembentukan Pansus. Padahal, keberadaan Pansus justru mempertajam proses investigasi sedetail-detailnya hingga merambah perihal aliran dana ke semua pihak yang terlibat.
Sesungguhnya, hanya lewat pembentukan Pansus lah harapan publik untuk membongkar kasus-kasus super itu dapat ditambatkan.
Sampai di sini kita dapat menilai bahwa retorika ‘gebuk’ dari Presiden itu selain dimentahkan secara prematur oleh respons reaktif KSP, juga digagalkan secara signifikan oleh keengganan parpol koalisi pemerintah mendukung pembentukan Pansus.
Mungkin, Presiden masih punya peluang untuk menjaga harapan publik itu dengan mengeluarkan pernyataan lain yang meminta paprol-parpol pendukungnya di DPR mendorong pembentukan Pansus. Hal serupa pernah dilakukan Presiden SBY saat merespons kasus Century yang nilainya jauh lebih kecil dibandingkan skandal Jiwasraya dan ASABRI.
Tetapi, banyak kalangan menyangsikan Presiden berani mengambil opsi ‘buka-bukaan’ tersebut. Jika Presiden merasa bahwa instruksi ‘gebuk’ sudah cukup dan tak perlu ditambah dengan pernyataan dukungan terhadap pembentukan Pansus di DPR, kita akhirnya mafhum bahwa ‘gebuk’ dalam pernyataan beliau hanyalah sejenis ‘gebuk bantal’ yang akan membuat oleng aktor-aktor yang lemah, tapi tak cukup kuat untuk merubuhkan orang-orang besar di balik skandal korupsi BUMN terbesar sejak Indonesia diproklamasikan. (*)