Kemenpar Segera Evaluasi Direksi BOP LBJ-Flores

Ridhmedia
15/01/20, 15:09 WIB

Oleh:Yosef Sampurna Nggarang
BADAN Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOP LBJ-Flores) sudah memasuki usia satu tahun. Dalam usia satu tahun ini, BOP LBJ-Flores kalau diibaratkan dengan manusia, dia adalah 'bayi' yang merangkak dan sekarang mulai bisa berdiri dan berjalan.

Apalagi asupan 'bayi' ini sejak pelantikan jajaran direksi per 15 Januari 2019, Kemenpar sudah menganggarkan 10 miliar rupiah untuk tahun 2019 dan 115 miliar untuk anggaran 2020.

Meliputi anggaran bidang pemasaran, industri /kelembagaan (UMKM), destinasi, anggaran gaji lima direksi yaitu Direktur Utama, Direktur Pemasaran, Direktur Industri/Lembaga, Direktur Keuangan, Direktur Destinasi, juga beberapa kepala divisi, staf, dan operasional.


Angka di atas memang masih kecil nilainya untuk sebuah badan yang dilahirkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Namun kita lihat niat dari seorang presiden, BOP LBJ-Flores langsung dibuat Perpres pada April 2018 dengan nomor 32/2018. Berdasarkan Perpres ini, Labuan Bajo-Flores (11 Kabupaten di Flores) sah untuk menjadi sebuah badan.

BOP LBJ-Flores ini mengelola sektor yang kelak menjadi industri pariwisata. Mengapa industri pariwisata? Karena industri inilah yang sangat menjajikan ke depannya.

Industri ini menghasilkan kurang lebih 7 lapangan kerja: bisnis penerbangan (tiket), porter di Bandara, bisnis rental mobil/ojek motor, bisnis rumah makan mulai dari kelas Warteg sampai kelas restoran, bisnis penginapan mulai dari kelas homestay sampai hotel berbintang lima, Resort, sektor jasa keuangan/perbankan (orang bangun rumah, hotel hampir pasti kredit di bank), transportasi laut (bisnis kapal, ABK, Koki dan guide), sektor yang besar adalah UMKM. Jadi inilah komponen lapangan kerja dari industri pariwisata.

Kita ketahui semua, selama ini Indonesia bergantung kepada komoditi:
1. Oil (harga jatuh)
2. Palm Oil (harga jatuh)
3. Batu bara (harga jatuh)
4. Gas?

Kini saatnya kita bergantung kepada industri pariwisata. Tidak hanya kita, negara-negara Timur Tengah yang raja minyak juga Brunei Darusalam, desain investasinya beralih ke sektor pariwisata. Negara Qatar yang raja gas melirik investasi di sektor pariwisata (real estate/hotel).

Sektor pariwisata memang sangat menjanjikan dan sedikit risiko bila terjadi krisis. Nilai investasi di sektor ini juga tidak terlalu besar. Boleh dibilang terjangkau dibandingkan investasi dalam sektor lain.

Lalu apa yang menjamin bahwa ke depannya industri pariwisata ini banyak menghasilkan pundi-pundi pendapatan?

Singkatnya, pariwisata bisa berjalan kalau tidak ada masalah. Di sini menitikberatkan ke faktor kepemimpinan sebagai pembuat kebijakan. Kalau kepemimpinannya tidak punya visi atau katakanlah punya visi namun tidak punya strategi dan salah menentukan personel untuk menjalankan visi-strategi yang diletakkan tadi, maka industri pariwisata itu akan berjalan di tempat.

Pariwisata sebagai industri nomor satu adalah visi Presiden Jokowi. Dalam konteks pariwisata Labuan Bajo-Flores, presiden juga sudah dua kali kunjungan kerja ke Labuan Bajo dan mungkin akan datang lagi dalam agenda peletakan batu pertama dermaga peti kemas pada Januari 2020 ini. Sungguh ini perhatian yang sangat luar biasa demi mewujudkan visi tadi.

Kembali ke BOP LBJ -Flores.

Usia yang sudah memasuki satu tahun (Pelantikan per 15 januari 2019), muncul pertanyaan, apa yang sudah dilakukan oleh Direksi BOP-LBJ Flores? Apa rencana kerja? Apa target dari perencanaan dan apa saja pencapaiannya?

Sejauh ini publik hanya mendengar BOP LBJ-Flores berbicara terkait wisata halal yang kemudian mendapat penolakan di masyarakat, sosialisasi analisis dampak lingkungan (AMDAL) terkait lahan 400 ha.

Dalam wacana wisata halal, yang kemudian menjadi gaduh dan kontroversi, sang Dirut BOP LBJ-Flores Shana Fatima di nonaktifkan beberapa bulan atau ditarik ke Kemenpar. Hal ini hanya untuk menjaga suasana yang sudah gaduh di LBJ. Karena Shana sebenarnya tetap beraktivitas di pusat sambil memperhatikan 'suasana' di Labuan Bajo.

Yang terbaru sosialisasi Amdal terkait lahan 400 ha. Kok begitu cepat sosialisasi Amdalnya tanpa diterangkan terlebih dahulu apa master plan dari Direksi BOP khususnya Direktur Destinasi BOP LBJ-Flores dan dari Kementerian atau lembaga, terkait pembangunan di lahan 400 ha?

Sosialisasi tanpa menjelaskan apa master plan nya, adalah sebuah lompatan yang tidak saja keliru tapi juga ceroboh. Publik memahami, yang namanya sosialisasi Amdal berarti ada objek pembangunan, juga hal-hal yang mau dibangun, serta lokasi yang mau dibangun. Tentu itu semua harus matang dalam kajian baru disosialisasikan untuk mendengar masukan dari para stakeholder.

Terkait pertanyaan soal master plan di atas, Direktur Destinasi Hery Nabit menjelaskan, "Belum memiliki master plan terpadu. Bahwa saat ini master plan itu sedang disusun di bawah koordinasi Bappenas." Sebagaimana pemberitaan Pos Kupang Selasa (12/11).

Mudah-mudahan penjelasan dari Herry Nabit di atas jujur, bahwa "belum memiliki master plan pariwisata terpadu dan sedang disusun di bawah koordinasi Bappenas". Hanya publik juga punya pertanyaan, kok lama dan belum memiliki master plan terpadu? Mudah-mudahan bukan karena ada "hitungan kepentingan" dari para direksi dan orang di pusat dalam soal lahan 400 ha ini? Semoga tidak!
Padahal publik berharap, Paling tidak satu tahun ini, BOP LBJ menghasilkan satu kajian terkait pembangunan pariwisata di LBJ-Flores. Atau satu dari sekian direksi BOP itu menghasilkan suatu kinerja, misal bagian Industri /UMKM.

UMKM apa di LBJ-Flores yang selama ini pendampingan atau pelatihan oleh BOP? Lalu mau ditempatkan atau dipasarkan di mana UMKM yang sudah dilatih itu?

Juga publik berharap persoalan sampah yang 'mengganggu' dan mencoreng LBJ sebagai daerah pariwisata dan sudah menjadi masalah bertahun-tahun, BOP dan Pemda bisa mengatasinya?

Pertanyaan di atas sangat berkaitan erat dengan megahnya bangunan Marina dan hotel di puncak Waringin dan disusul bangunan megah lainnya nanti. Bangunan yang megah itu tentu nanti juga menghasilkan sampah.

BOP juga mestinya sudah punya plan atau rencana, UMKM lokal apa yang mau dipasarkan di bangunan itu? Jangan sampai bangunan megah itu diisi oleh pemodal-pemodal besar.

Kalau demikian jadinya, publik pesimistis dengan para direksi BOP ini. Jadi suara protes meminta Presiden agar copot Direktur Utama BOP LBJ Shana Fatima tahun lalu oleh kelompok masyarakat di LBJ maupun warga diaspora harus dilihat kembali. Perlu dipertimbangkan dan mendengar suara publik untuk menjamin bahwa BOP LBJ-Flores bukan sekadar hanya nama tapi nyata membawa perubahan.

Apa capaian BOP LBJ-Flores satu tahun ini?

Sejauh ini publik belum mendengar, bahwa ada produk dari BOP untuk menjadi role model pariwisata di LBJ-Flores. Yang kedengaran di publik justru narasi dari sang Direktur Utama, soal wisata halal, terkait lahan 400 ha dan mendatangkan artis Hollywood Leonardo Dicaprio.

Narasi itu untuk mewujudkan agenda pariwisata LBJ-Flores sebagai kelas wisata Super Premium. Meskipun para direksi belum menjelaskan secara singkat dan sederhana ke publik terkait "pembaptisan" pariwisata LBJ sebagai kelas Super Premium.

Para direksi harus respons atas banyak pertanyaan terkait lahan 400 ha itu, mau diapakan. Dan dalam label LBJ sebagai pariwisata Super Premium, apakah lahan seluas itu mau dijadikan pariwisata Super Premium semua? Sejauh ini belum ada penjelasan dan publik masih terus menunggu.

Dalam menunggu jawaban itu, baru-baru ini publik dikejutkan dengan mundurnya dua direksi BOP, Jarot Trisunu (Direktur Industri Pariwisata/kelembagaan) dan Sutanto Werry (Direktur pemasaran pariwisata). Soal mundur dua direksi ini juga belum jelas apa alasannya.

Saya pun berusaha mencari tahu, dari sumber yang saya dapat yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, sudah lama mereka mau mundur dengan beberapa alasan.

Bahwa belum ada master plan terpadu padahal sudah satu tahun, soal lain karena manajemen BOP 'terkesan' sporadis. Penjelasannya, kalau manajemen bagus, yang pasti master plan sudah selesai, tentu para direksi sudah bekerja dengan master plan yang sudah ada.

Dengan penjelasan di atas, apakah BOP LBJ-Flores ke depannya berjalan sesuai dengan harapan publik, bahwa Badan ini menjadi role model pembangunan pariwisata? Tentu harapan itu sulit terwujud, kalau manajemen atau direksi BOP seperti sekarang ini.

Kementerian pariwisata jangan sampai tidak melihat ada masalah dalam manajemen BOP LBJ-Flores. Mundurnya dua direksi BOP adalah sebuah masalah, yang berkaitan dengan manajemen BOP.

Juga keluhan dari awak media lokal yang terkesan sang Dirut BOP menjaga jarak dengan para wartawan. Begitu pula dengan kelompok LSM dan masyarakat yang kritis, bagaimana hubungan, apakah ada jarak juga?

Sekarang waktunya yang tepat bagi Menteri Pariwisata dan Menko Maritim untuk mengevaluasi manajemen direksi BOP-LBJ. Evaluasi itu titik awalnya adalah memanggil semua para direksi baik yang aktif maupun yang nonaktif.

Duduk bersama terkait apa yang sebenarnya yang terjadi di BOP LBJ-Flores ini. Duduk bersama ini penting untuk menemukan masalah dan sekaligus jalan keluarnya.

Sekali lagi, sekarang saatnya direksi BOP LBJ-Flores dievaluasi. Kemenpar harus memanggil semua para direksi yang sudah menjabat satu tahun. Evaluasi untuk melihat, apakah personel direksi BOP LBJ-Flores ini bisa mewujudkan visi presiden Jokowi pariwisata sebagai indutri nomor satu?

Dengan banyak soal di atas, rasanya Kementerian pariwisata segera menemukan nakhoda (personel) baru untuk mewujudkan visi presiden. Nakhoda baru itu bukan berlatar belakang pengusaha seperti Shana Fatima yang tentu saja bisa terjadi conflict of interest. Sehingga tidak ada lagi pertanyaan BOP ini hadir untuk publik atau untuk siapa?

Dengan begitu BOP LBJ-Flores sebagai 'bayi' dia baru merangkak. Sekarang berumur satu tahun tentu sudah bisa jalan. Kelak dia terus tumbuh dan bisa lari mengejar sudara tuanya Bali.

(Ketua Himpunan Pemuda Mahasiswa Manggarai Barat-Jakarta (HIPMMABAR-JAKARTA)
Sekjen Pergerakan Kedalautan Rakyat (PKR)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+