Ridhmedia - Kementerian Luar Negeri RI kembali menegaskan penolakan atas klaim historis Cina terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Dalam keterangannya, Rabu, 1 Januari 2020, Kementerian Luar Negeri Cina menyebut klaim historis Cina atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.
Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah ‘relevant waters’ yang diklaim oleh Cina karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.
Berdasarkan hal itu, Indonesia mendesak Cina untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim Cina di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Menurut UNCLOS 1982, Indonesia tidak memiliki overlapping klaim dengan Cina sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim.
Sebelumnya dalam sebuah sesi tanya jawab dengan wartawan pada 31 Desember 2019, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, mengatakan Cina memiliki kedaulatan terhadap Pulau Natuna dan memiliki hak-hak kedaulatan serta yudiksi atas perairan dekat Pulau Natuna.
Dikutip dari fmprc.gov.cn, Cina memiliki hak-hak sejarah di Laut Cina Selatan. Nelayan-nelayan Cina sudah lama melakukan aktivitas mencari ikan di perairan sekitar Pulau Natuna, dimana hal ini bagi Cina legal dan sah.
Geng mengatakan pasukan penjaga pantai Cina telah melakukan tugas-tugas mereka dengan melakukan patrol rutin untuk menjaga perairan dan melindungi hak-hak masyarakat Cina serta kepentingan negara di perairan sekitar.
“Duta Besar kami di Indonesia telah menegaskan kepada pemerintah Indonesia terkait posisi Cina yang konsisiten,” kata Geng.
Geng menegaskan pula Beijing akan bekerja sama dengan Indonesia untuk terus mengatasi sengketa wilayah Natuna ini dengan sepatutnya melalui dialog bilateral dan tetap menjaga kerjasama, perdamaian serta stabilitas di Laut Cina Selatan. (tempo.co)