PENANGKAPAN Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, ternyata berbuntut panjang. Ada nama Hasto Kristiyanto yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Hal itu muncul karena dua staf Hasto ikut tertangkap dalam OTT KPK.
Alih-alih, security di DPP PDI Perjuangan malah menolak kantornya diperiksa dan menurut berita yang tersebar, sempat ada pemindahan berkas-berkas malamnya.
Sungguh tidak elok, jika kemudian partai terbesar itu melakukan langkah yang tertutup. Hal itu juga diasumsikan oleh masyarakat umum, bahwa ketidakhadiran Hasto di hari pertama Rakernas menjadi teka-teki. Bahkan sakit diare adalah hal yang tidak lumrah. Ilmu gothak gathuk akhirnya menyebar di kalangan rakyat dengan cepat.
PDIP Melawan
Sebagai partai pemenang pemilu 2019, PDI Perjuangan menjadi sorotan tajam atas tertangkapnya Komisioner KPU Wahyu Setiawan terhadap kasus PAW Harun Masiku. Karena dari suara yang didapat Harun Masiku ada di bawah Riezky Aprilia.
Untuk itu KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE) sebagai tersangka suap pengurusan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR. Meski kalah jumlah suara di Pemilu 2019, eks Caleg PDIP Harun Masiku ingin dilantik menjadi anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Harun lantas menyuap Wahyu Setiawan. Sebagai Komisioner KPU, Wahyu diduga meminta Rp 900 juta kepada Harun. Padahal perlu diketahui, yang harusnya menggantikan Nazarudin Kiemas adalah Riezky Aprilia. Karena perolehan suaranya terbanyak kedua di bawah Nazarudin. Sementara, Harun menempati perolehan suara terbanyak kelima.
Bahkan KPK mau menangkap Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDI Perjuangan sangat sulit. Sementara rumor yang berkembang bahwa Hasto sembunyi di PTIK dan pegawai KPK sampai harus tes urin yang tidak ada hubungannya.
Pertanyaannya, kenapa Hasto tidak berani melakukan jumpa pers sendiri di DPP, kalau dirinya tidak terlibat? Pertanyaan tersebut memang sulit dijawab oleh Hasto.
Tapi sehari kemudian Hasto memberikan klarifikasi sambil ditemani penasihat hukumnya dan Menkumham. Lalu mengatakan bahwa PDI Perjuangan mengklaim menjadi korban pemerasan oknum-oknum berkuasa, lalu siapa yang PDIP tuduh? Bukankah Jokowi adalah petugas partai yang berkuasa? Jadi jawabannya sangatlah multitafsir dan tendesius.
Kemudian di beberapa media banyak komentar dengan narasi berubah jika Harun adalah seorang korban Wahyu yang tidak jelas bagaimana ceritanya. Bahkan para pengacara Hasto datang dan melapor ke Dewas KPK dengan melaporkan yang terjadi sebenarnya.
Sampai sebuah CCTV beredar di Bandara Soekarno-Hatta bahwa tanggal 7 Januari 2020 Harun kelihatan ada di sana. Sementara sebelumnya dikatakan Harun berada di Singapura dan itu mempertegas pernyataan kalau Harun ada di Indonesia. Dengan dalih apapun, tampaknya perlawanan PDI Perjuangan sangat jauh dari logika masyarakat umumnya.
Siapa Harun?
Sebagai politikus, Harun Masiku adalah seorang ahli hukum Ekonomi lulusan Ingris. Berarti posisi Harun sangat spesial. Karena begitu sulitnya KPK menangkap seorang Harun yang notabene ada di Indonesia.
Sangat tidak mungkin seorang Harun menyamar sebagai seorang gembel untuk menghilangkan jati dirinya. Apalagi Ketua KPK adalah seorang jenderal aktif di kepolisian.
Sebagai politikus, Harun Masiku pada 2009 juga pernah menjadi Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres Partai Demokrat Sulawesi Tengah untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Harun juga pernah menjadi caleg Partai Demokrat pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi III DPR pada 2011.
Pada Pileg 2019, Harun Masiku pindah dari Partai Demokrat ke PDIP. Setelah Nazaruddin Kiemas meninggal dunia, terjadi kekosongan kursi PDIP di DPR sehingga harus ada penggantinya sesuai dengan ketentuan Pergantian Antar-Waktu (PAW) Anggota DPR.
Rapat Pleno KPU pun memutuskan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang wafat. Namun, PDIP tetap mengusung Harun untuk duduk sebagai anggota DPR.
Dari sepak terjangnya sebagai politikus, sosok Harun adalah bukan sembarang orang. Tetapi memiliki kecakapan dalam hal profesinya. Dilihat dari kondisi negara yang mengalami berbagai kasus seperti Jiwasraya, ASABRI, Pertamina dan lain-lain. Patut diduka peran Harun sangat dibutuhkan melawan gempuran-gempuran kasus yang menimpa pemerintah dewasa ini.
Wibawa KPK Dipertaruhkan
Melihat kasus di atas, kita bisa memaklumi aksi mahasiswa yang menolak RUU KPK memang menjadi kenyataan. Di mana KPK sudah mulai tumpul dengan RUU tersebut, yang mulai menjadi cicak beneran. Buaya tidak ada gigi tajamnya lagi. Hal ini seperti memberi pistol kosong menghadapi para perampok.
Pemerintah sudah berhasil dengan DPR memperlemah KPK dengan RUU-nya. Salinan hasil Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) kini telah keluar ke Lembaran Negara sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019. Peraturan tersebut merupakan Perubahan dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Meski telah disahkan sebagai UU, KPK sebelumnya mengkritisi 26 hal yang berisiko melemahkan mereka dalam revisi UU KPK tersebut.
Hal itu dikatakan Laode M Syarif yang mengkritik Undang-Undang KPK hasil revisi. Dia menunjukkan terdapat dua pasal yang dianggap saling bertentangan. Menurutnya, akibat proses pembahasan revisi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan minim masukan masyarakat, maka hasilnya kekacauan.
Sudah saatnya KPK menunjukkan taringnya kembali. Seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, bahwa RUU KPK adalah untuk memperkuat KPK.
Himawan Sutanto
Senator Jaringan Aktivis ProDEM.