Militanisme Islam dan Laut China Selatan

Ridhmedia
05/01/20, 14:08 WIB


Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan*

ABUBAKAR Ba'asyir sekarat di usia tuanya di penjara Gunung Sindur, Bogor. Kalau dia wafat, maka stempel teroris melekat pada dirinya. Teroris adalah gelar penjahat kemanusian besar yang dipercaya masyarakat kita.

Aktifitas teror yang dikaitkan dilakukan Abubakar (ABB), sebagai pemberi pengaruh, adalah membom beberapa kafe di Bali, 2002, yang menyebabkan ratusan warga Australia meninggal dunia, dan beberapa warga lainnya.

Pada tahun 2002 yang berkuasa di Indonesia adalah rezim "NKRI Harga Mati" dan pada kurun waktu itu Australia disinyalir  terlibat untuk membantu pemisahan Papua dari "NKRI Harga Mati" tersebut. Sebelumnya kita ketahui bahwa Australia dan barat terlibat dalam pemisahan Timor Timur. Mungkin kurun waktu bersamaan hanya membantu kita menganalisa, bukan sebuah sebab akibat alias hanya "Coincidence".
Fakta berikutnya, dalam masa itu, adalah Australia dan barat berhenti membantu gerakan Papua Merdeka. Malah Australia mulai mensponsori unit anti terorisme di pemerintahan dan mendorong kelompok2 Islam moderat berbicara deradikalisasi.

Sebagian orang percaya, Abu Bakar Ba'asyir telah menyelamatkan Indonesia dari intervensi Australia untuk memisahkan Papua. Sebagian lagi tentu mengutuknya sebagai teroris.

Tunggang menunggangi dalam politik adalah hal lumrah. ISIS adalah kelempok perlawanan di Syiria yang beroposisi terhadap Bashar Al Assad, presiden Syiria. Amerika mensponsori ISIS menjadi sebuah kelompok berskala besar, khususnya merujuk Trump, selama kepemimpinan presiden Obama. Trump kemudian berjanji dalam kampanyenya untuk jadi Presiden 2016, akan menghancurkan ISIS. Selama kepemimpinan Trump, ISIS dihancurkan di mana-mana.

Namun, menariknya saat ini Trump membunuh Solaemani, jenderal terkemuka Iran, ketika dia ada di Iraq. Trump mengatakan bahwa Solaemani adalah sosok berbahaya yang akan menjadikan Iraq dan Timur Tengah menjadi tidak stabil. Tindakan Trump ini mendapat kecaman dari PBB, Partai Demokrat USA dan tentunya Iran, Bashar Al Assad (Syiria) dan sekutu mereka. Apakah nantinya Trump akan merangkul kembali ISIS? ini pertanyaan penting ke depan.

Berbeda dengan di Timur Tengah, di Asia Tenggara, Amerika mencari sekutu untuk menghancurkan kekuatan China di Laut China Selatan (LCS). Beberapa tahun lalu, sekutu Amerika, Jepang, menawarkan seluruh pembiayaan perang terhadap China kepada Presiden Philipina, Rotrigo Duterte. Saat ini Amerika juga bekerja keras mencari sekutu di Indonesia untuk menghadapi China, khususnya dalam khasus Uighur, sebagai pintu masuk.

Dalam peta lama, Indonesia adalah sekutu Amerika bersama antara lain Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, serta tentunya Jepang, Taiwan, Hongkong dan Korea Selatan. Namun, pergeseran sekutu berubah di Indonesia, sejak Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan, membangun hubungan lebih intensif pada RRC, ketimbang USA.

Namun, persekutuan dengan RRC saat ini terbentur dengan dua isu besar yang Indonesia akan mengalami tarik menarik yang kuat. Isu pertama adalah Uighurs. Setengah dunia, sedikitnya, menyatakan bahwa China telah melakukan genocide atau pembantaian etnis kepada bangsa Uighurs di China. Isu kedua, adalah agresi China menguasai perairan Indonesia di Laut China Selatan. Yang terakhir ini secara resmi sudah dinyatakan kementerian luar negeri RRC bahwa perairan Natuna adalah milik mereka.

Pada kedua isu ini, Islam dan militansinya dapat mempunyai kesamaan dengan kepentingan Amerika dan sekutunya. Pada tahun 2002,  kelompok2 pro Abu Bakar Ba'asyir mempunyai kesamaan cinta NKRI dengan rezim berkuasa saat itu. Namun, rezim sekarang yang cenderung terikat dengan "kebaikan" China akan sulit melawan klaim RRC atas tanah air Indonesia tersebut.

Tantangan Kaum Islam Militan

Membela tanah air dan membela Islam di seluruh dunia adalah doktrin kelompok-kelompok Islam militan. Terkait dengan isu Uighurs dan LCS kelompok-kelompok ini tidak punya pilihan lain kecuali mencari sekutu yang sama kepentingannya. Dalam konteks NKRI, TNI sudah menunjukkan gerakan mempertahankan kedaulatan, meskipun Prabowo, Menteri Pertahanan, Luhut Panjaitan, Menko Maritim dan Presiden masih perlu berdiskusi dan berdebat apakah diplomasi atau melawan?

TNI, sebagai organ negara, tentu saja pada akhirnya dibatasi oleh politik diplomasi pemerintah. Sehingga gerakan TNI yang awalnya keras merespon, dapat melunak nantinya.

Kelompok dunia internasional yang mempunyai kesamaan melawan RRC dalam kasus LCS adalah Amerika, Jepang, Korea, Singapura, Malaysia, Philippines, Brunei dll. Persengketaan ini sudah dibawa ke PBB (UNclos), dan klaim RRC dinyatakan tidak benar. Khususnya, klaim sejarah "Nine Dash Line" LCS milik mereka. Tentu saja Amerika dan negara  lainnya akan ikut mempengaruhi situasi Indonesia ini.

Sejarah keterlibatan kelompok Islam militan dalam perang berskala internasional telah terjadi di masa lalu, ketika pemuda-pemuda dan pelajar Indonesia direkrut berperang di Afganistan. Kala itu Suharto yang pro Amerika dan Mahathir/Anwar Ibrahim, menjadi bagian penting mengirim mereka sebagai milisi.

Dalam skala lokal, kelompok-kelompok milisi Islam ini sering juga diajak melawan gerakan separatisme.

Tentu saja jika rezim Jokowi bersandar pada politik diplomasi pada kasus LCS, kelompok-kelompok Islam militan akan muncul subur. Kenapa? Karena pada akhirnya sikap lembek rezim Jokowi terhadap intervensi asing akan menggerus kepercayaan masyarakat pada rezim ini dan sebaliknya akan melihat pada kelompok-kelompok Islam militan sebagai penyelamat tanah air.

Penutup

Kasus Laut China Selatan, di mana pemerintah resmi RRC mengklaim wilayah Natuna sebagai wilayah mereka telah memanaskan situasi dalam negeri. Rezim Jokowi kelihatannya berupaya dengan cara cara bersahabat dan diplomasi untuk merespon soal ini. Rakyat Indonesia terlihat tidak begitu senang dengan cara "soft" tersebut, karena biasanya Indonesia sangat sensitif atas isu kedaulatan.

Bupati Natuna sudah menyatakan siap membangun milisi rakyat dalam mempertahankan setiap jengkal tanah dan perairan kita di sana.

Ummat Islam Indonesia, khususnya kelompok-kelompok militan, tentu sejak awal siap berjihad mempertahankan NKRI, apalagi menghadapi RRC yang dianggap melakukan pembasmian etnis Uighurs yang beragama Islam di sana.

Dalam konstalasi politik global, di mana pertarungan RRC vs. Amerika dan Barat, khususnya USA dan sekutu-sekutunya di wilayah sekitar LCS, akan membuat kompleksitas dan komplikasi persoalan intervensi RRC ke Indonesia membesar.

Karena sejarah membuktikan bahwa kepentingan yang terbelah pada masyarakat kita dapat dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional untuk bekerjasama. Dan sekali lagi, politik adalah peristiwa tunggang menunggangi.

Untuk membuat koridor politik nasionalisme dan patriotisme yang benar dan terukur, pemerintah dan kekuatan-kekuatan Islam harus duduk bersama agar kepentingan nasional diatas kepentingan kelompok. Kecurigaan kelompok-kelompok Islam atas pesanan RRC tentang isu radikalisme, misalnya, harus dikaji ulang untuk membuat suasana polarisasi diantara sesama anak bangsa berkurang.

Jika persekutuan Amerika dan kelompok-kelompok Islam militan, yang akan terjadi, di satu sisi, serta persekutuan Jokowi  Luhut, Prabowo dll dengan RRC di sisi lain, akan menjadi besar dalam merespon isu Laut China Selatan, maka Indonesia kemungkinan akan mengalami keterbelahan besar nantinya.

Kita harus berpikir keras dan berikhtiar menyelamatkan bangsa kita, tanpa perlu "berterima kasih" pada bangsa lain tentunya. 

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Komentar

Tampilkan

Terkini