MQ-9 Reaper, Drone Pembunuh Soleimani & Miliuner di Baliknya

Ridhmedia
10/01/20, 09:55 WIB

Ridhmedia - Jumat pekan lalu, seluruh rakyat Iran berkabung. Petinggi militer Iran Jenderal Qassem Soleimani terbunuh dalam sebuah serangan militer yang dilakukan tentara Amerika Serikat (AS).

Serangan tersebut atas perintah Presiden AS Donald Trump dan menggunakan pesawat tanpa awak (drone) MQ-9 Reaper. Drone ini diterbangkan dari markas US Central Command yang berlokasi di Qatar.

Lalu seperti apa kecanggihan drone MQ-9 Reaper? Drone ini terbang nyaris tanpa suara dan meluncurkan misil Hellfire yang menghancurkan konvoi mobil Jenderal Iran tersebut.

Pesawat tanpa awak ini memiliki daya jelajah 1.150 mil dengan kemampuan terbang di ketinggian 50.000 kaki.

MQ-9 Reaper disebut sebagai drone "bersenjata, multi misi, daya terbang menengah dan tahan lama", seperti dikutip dari New York Post, Rabu (8/1/2020).

Selain itu Drone ini juga disebut sebagai alat pengintai terhadap target berprofil tinggi, sensitif terhadap waktu, bisa membantu mencari target dan digunakan untuk operasi perang yang tidak teratur.

Drone berharga US$64,2 juta per unit (Rp 898,9 miliar) ini dapat membawa 4 misil Hellfire berdaya ledak cukup dasyat dan mampu menghancurkan tank.

Menurut laporan media setempat, penyerangan ini menggunakan misil Hellfire R9X 'Ninja' yang dimodifikasi. Moncongnya terdiri dari semacam bilah-bilah pisau tajam dan mematikan.

Drone mematikan ini mulai dioperasikan sebagai senjata oleh AS pada 2007 lalu. Pada September 2015, angkatan udara AS memiliki 93 drone MQ-9 Reaper di gudang senjatanya.

"(Penerbangan drone ini) hampir hening," ujar perusahaan pembuat drone ini dalam situsnya. "Drone ini merupakan pengakuan signifikan terhadap peran dalam perang jarak jauh di Angkatan Udara AS."

Miliuner di Balik Drone MQ-9 Reaper

Informasi tambahan, Di belakang perusahaan pembuat drone militer canggih ini adalah Neal Blue yang kini menjadi Chairman dan menguasai 80%. Sisanya 20% dimiliki adiknya Linden Blue.

Pada 1986 kedua bersaudara ini mendapatkan peluang unik. Chevron yang mengakuisisi Gulf Oil ingin menjual anak usahanya termasuk General Atomics.

Setelah negosiasi, General Atomics resmi dijual seharga US$60 juta. Namun Neal Blue dengan cepat ingin merubah bisnis perusahaan ke bidang penerbangan. Ia memikirkan cara untuk menata uang citra perusahaan.

"Neal Blue berbicara tentang drone dan teknologi lainnya paling tidak dua atau tiga kali seminggu," ujar Tom Dillon yang menjadi senior vice president program pertahanan tahun 1984-1988, seperti dilansir dari Forbes, Kamis (9/1/2020).

Dari hal inilah kemudian lahir Project Birdie sebuah drone unik dengan berbiaya rendah dan tanpa awal karena menggunakan sistem GPS bawaan.

Pada awalnya perusahaan kesulitan mendapatkan pelanggan hingga kemudian CIA membeli drone perusahaan untuk dipakai dalam perang Balkan tahun 1993. Setahun kemudian General Atomics mendapatkan kontrak senilai US$31,7 juta dari angkatan laut AS untuk membuat drone yang lebih canggih yang kemudian menjadi MQ-1 Predator, drone perang pertama buatan perusahaan.

Berkat bisnis inilah Neal Blue akhirnya menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Forbes mencatat awal tahun ini kekayaan mencapai US$4,1 miliar atau setara Rp 57,4 triliun.

Namun bisnis perusahaan mendapat saingan dengan semakin banyak pemain di pasar. Saat ini pasar drone militer dikuasai Northrop Grumman dengan drone andalannya RQ-4 Global Hawk yang mampu menjelajah 60.000 kaki. Drone inilah yang ditembak jatuh Iran pada Juni 2019.[cnbc]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+