Ridhmedia - Dalam beberapa pekan belakangan ini publik dihebohkan dengan klaim Cina atas wilayah NKRI di kepulauan Natuna sebagai miliknya.
Padahal, berdasarkan peraturan Internasional UNCLOS 1982, wilayah tersebut masuk perairan Indonesia. Klaim Cina tersebut dipastikan menggangu prinsip kedaulatan negara.
Seperti diketahui, Armada Patroli Cina mengawal kapal ilegal fishing berani memasuki wilayah Zona Ekonomi Eklusisf ( ZEE ) Indonesia menimbulkan ancaman perang antara Indonesia dan Cina.
“Peristiwa tersebut seolah menguji jargon NKRI harga mati. Pasalnya menjadi paradoks ketika silang pendapat para petinggi negeri dalam menyikapi kasus Natuna,” ujar Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies (CPPS) Dr Bambang Istianto, Senin (6/1/2020).
Bambang juga menyayangkan sikap lunak pemerintah terhadap persoalan tersebut. Meski reaksi negatif para ahli dan politisi cukup keras menghiasi berbagai media. Namun pemerintah sepertinya menganggap enteng dengan sengketa Natuna.
Padahal harapan publik seharusnya pemerintah lebih tegas dan keras. Kurang gregetnya responsifitas pemerintah tidak sesuai dengan jargon NKRI harga mati diatas.
“Pada akhirnya timbul spekulasi berbagai persepsi dalam masyarakat. Misalnya hutang pemerintah Indonesia ke Cina mencapai ribuan trilun mempersulit posisi Indonesia bersikap tegas dan keras,” kata Wakil Ketua Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara ini.
Demikian pula kebijakan “politik luar negeri bebas aktif” secara konsisten sulit dijalankan. Apalagi kemesraan hubungan Cina dan Indonesia terlihat kasat mata.
“Misalnya terjalin kerjasama antara Partai Komunis Cina dengan salah satu Partai Politik pendukung pemerintah,” sebut Bambang.
Bambang mengungkapkan, sebenarnya masyarakat luas tidak terlalu terkejut dengan peristiwa kasus Natuna. Banyak kalangan juga mencermati perkembangan kebijakan pemerintah Cina tentang strategi ” One Belt One Road”.
“Agresivitas Cina terkait kasus Natuna boleh jadi sekedar “Warming up” atas ambisi Cina menguasai Asia Pasifik dan dunia,” ucap Bambang.
Karena itu tokoh dan kalangan yang berpengruh telah memperingatkan pemerintah supaya waspada terhadap strategi Cina itu.
Demikian pula, kata Bambang, apakah pemerintah Cina sedang tes on the water terhadap soliditas pemerintahan saat ini serta reaksi masyarakat luas.
Untuk itu mengatasi kasus Natuna kali ini cukup serius harus ekstra hati hati atas tindakan pemerintah. Seluruh variabel dihitung dengan cermat dan detail.
“Misalnya psikopolitik masyarakat Indonesia saat ini terkait dengan pemerintah Cina dan berbagai dimensinya sensitif,” ujarnya.
Karena itu pemerintah melakukan pendekatan diplomasi di presiasi, sebagai alternatif disamping pendekatan militer.
Cara diplomasi pada dasarnya mengurangi ketegangan. Meskipun butuh waktu dan kesabaran. Cara tersebut harus memastikan hasilnya menguntungkan Indonesia.
“Jika menguntungkan pihak lawan boleh jadi nanti dituding ada agen dan komprador didalamnya,” ucap Bambang. [ipc]