Oleh:Chusnatul Jannah
POLITIK tak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Siapapun menjalani hidup ini akan selalau bersinggungan dengan yang namanya politik. Sebab, politik adalah unsur penting dalam lahirnya sebuah kebijakan dan keputusan.
Politik sudah menjadi bagian inti dari masyarakat. Tanpa politik, negara ini juga tidak akan bisa mengatur berbagai urusan masyarakat. Mulai urusan rumah tangga hingga negara selalu berkaitan dengan politik.
Politik bergerak dinamis. Sebentar bilang sayang, besok berbalik menyerang. Politik memang penuh kejutan. Hal-hal remeh pun bisa dijadikan tameng untuk pencitraan. Semisal berswafoto di tengah bencana atau nyemplung di selokan demi meluluhkan hati rakyat agar memilihnya.
Politik itu dramatis layaknya drama Korea. Lawan bisa jadi kawan. Saat salah satu teman tersandung kasus kriminal, yang lain buang badan. Pagi sumringah, besoknya bisa tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupso (KPK).
Politik itu sadis. Tak ada musuh abadi. Pun tak ada teman abadi. Jauh dekatnya pertemanan tergantung kepentingan yang ingin diraih. Tak ada suka duka ditanggung bersama. Sukaku suka kita, dukamu bukan dukaku. Begitulah hukum politik yang berlaku.
Politik itu putih abu-abu. Labil dan baperan bila menjadi penguasa. Marah-marah jika tak dapat jatah. Asal Bapak senang, rakyat pun dipaksa tersenyum getir menerkma kebijakan zalim penguasa.
Politik itu berdinasti. Anak, besan, ipar, adik, menantu juga bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Mumpung masih berkuasa, dinasti itu harus dibangun sekuat istana. Politik itu oligarki. Dikuasai sekelompok kecil elite dan petinggi.
Bagi-bagi 'kursi' adalah hal biasa sebagai bentuk balas budi. Bancakan dana dan proyek negara untuk mengenyangkan perut para perampok berkerah. Pada akhirnya, korupsi akbar tak terhindarkan lagi. Menunjukkan borok sistem yang terlalu rakus dengan jabatan dan mabok kekuasaan.
Begitulah kehidupan politik ala kapitalis-demokrasi. Ambyar dan berceceran. Bukan opini suka-suka. Namun fakta berbicara apa adanya. Politik bisa ambyar bila maknanya dikaburkan. Seakan politik itu licik, kejam, kotor, dan tak berperikemanusiaan.
Padahal, politik yang ada sekarang adalah buah dari sistem yang diterapkan. Kapitalisme membuat negeri ini ambyar tak karuan. Awal tahun baru disambut dengan mega korupsi di lembaga-lembaga berplat merah. BUMN sakit. Defisit tak terkendali.
Sebenarnya politik itu akan bermaslahat kalau dimaknai dengan benar, diterapkan secara proporsional, ditopang sistem yang anti keculasan dan kemunafikan. Politik itu seharusnya mengurusi urusan rakyat dengan benar. Politik itu bukan jalan untuk meraih puncak kekuasaan.
Politik adalah menggunakan kekuasaan untuk melayani kepentingan rakyat secara amanah dan bertanggungjawab. Bukan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Inilah makna politik dalam pandangan Islam. Tidak haus kekuasaan dan tidak abai dalam mengatur urusan rakyat.
Imam Al Ghazali menuturkan, "Agama dan kekuasaan adalah dua hal saudara kembar. Agama adalah fondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan lenyap”.
Islam tanpa kekuasaan menjadi lemah tak berdaya. Kekuasaan tanpa Islam akan lepas kendali, serakah, dan tanpa rasa. Sebab, pemimpin yang berkuasa tanpa iman dan nurani yang benar hanya akan menyengsarakan rakyat. Jadi, setiap muslim memang seharusnya berpolitik. Karena buta politik sama halnya merelakan diri 'dimakan' politik hari ini.
Sebagaimana nasihat Muhammad Natsir berikut, "Kalau saudara-saudara merasa tidak perlu serta politik, biarlah tidak usah berpolitik. Tetapi saudara-saudara jangan buta politik. Kalau saudara-saudara buta politik, maka saudara-saudara akan dimakan oleh politik".
Sebaiknya kita juga patut merenungkan perkataan seorang tokoh kenamaan Turki, Necmettin Erbakan, "Muslim yang tidak peduli politik akan dipimpin politisi yang tak peduli pada Islam".
(Penulis adalah aktivis Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)