Ridhmedia -Kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) caleg PDI Perjuangan dapil Sumatera Selatan I, Riesky Aprilia telah sesuai peraturan perundang-undangan.
Namun, mengapa salah seorang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan tersangka menerima suap dari oknum partai banteng? Apa yang menyebabkan Wahyu berani main belakang dari rekan-rekan sejabatannya?
Dalam jumpa pers akhir pekan lalu, Kantor Berita Politik RMOL sempat menanyakan, dinamika rapat pleno yang dilakukan KPU untuk mengkaji permohonan PAW Riesky Aprilia dialihakan ke Harun Masuki, sebagaimana yang dimohonkan DPP PDIP.
Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, rapat pleno terkahir yang digelar pada 7 Januari 2020 lalu, hanya dihadiri oleh enam komisoner.
Diantaranya, Arief Budiman, Viryan Aziz, Hasyim Asyari, Evi Novida Ginting, Wahyu Setiawan dan Ilham Saputra. Sementara Pramono Ubaid Tanthowi tidak hadir karena sedang tugas luar kota.
"Yang terakhir itu Pak Pram (sapaan akrab Pramono) sedang bertugas di Lampung Timur," ujar Arief di Kantor KPU Pusat, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
Kemudian Arief juga menyebutkan, seluruh komisioner yang hadir di dalam rapat tidak menunjukan perbedaan pendapat.
"Tidak ada perbedaan dalam mengambil keputusan tentang kebijakan menjawab surat ini," aku Arief.
"Yang lainnya enam hadir semua, dan kalau Pak Pram merujuk ke surat pertama, kurang lebih pendapatnya sama," sambung Arief.
Lebih lanjut, Arief berujar, sikap Wahyu yang menerima suap setelah hari rapat pleno digelar, yakni tanggal 8 Januari 2020, adalah sikap pribadi.
Dia menegaskan, sistem rapat pleno KPU sulit atau tidak mempunyai celah untuk mengubah keputusan.
"Jadi sebetulnya celah itu tidak dan kita sudah buktikan dalam pengambilan keputusan melalui ketentuan perundangan yang berlaku," tutup Arief.
Rabu (8/1), KPK berhasil membekuk delapan orang yang diduga mengetahui dan melakukan transaksi suap terkait kasus ini.
Namun, dari delapan hanya empat orang yang dijadikan tersangka.
Yaitu, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WSE); mantan anggota Bawaslu yang juga pernah caleg PDIP, Agustiani Tio Fridelina (ATF); caleg PDIP dapil Sumsel I, Harun Masiku (HAR); dan satu orang pihak swasta bernama Saeful Bahri (SAE). Saeful yang juga pernah jadi caleg PDIP ini diketahuai orang dekat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Sekilas ke belakang, untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI pengganti Riesky Aprilia yang ditinggalkan alm. Nazarudin Kiemas, dia meminta dana operasional Rp 900 juta.
Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian, yaitu, pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana yang belum disebutkan KPK memberikan uang Rp 400 juta yang ditujukan pada Wahyu melalui Agustiani, Doni dan Saeful.
Wahyu menerima uang dari dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Sampai pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang pada Saeful sebesar Rp 850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.
Saeful memberikan uang Rp 150 juta pada Doni. Sementara sisanya Rp 700 juta yang masih di Saeful dibagi menjadi Rp 450 juta pada Agustiani, dan Rp 250 juta untuk operasional.
Dari Rp 450 juta yang diterima Agustiani, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu, yang masih disimpan oleh Agustiani.
Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, 7 Januari 2020 lalu, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.(rmol)