PENYEBARAN virus Corona membuat dunia dilanda kepanikan luar biasa. Sampai-sampai evakuasi Warga Negara Indonesia dari Wuhan ke Natuna berlangsung dramatis.
Beredar berita bahwa ribuan warga Natuna melakukan eksodus menyusul penetapan Natuna sebagai tempat observasi ratusan WNI dari Wuhan. Sebanyak 238 WNI telah tiba dari lokasi epidemi virus corona di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Mereka kini ditempatkan di fasilitas kesehatan yang telah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan, TNI, dan BNPB di Lanud Raden Sadjad, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau untuk proses observasi dan monitoring kesehatan selama 14 hari.
Sontak, keputusan itu membuat geger warga Natuna. Mereka khawatir virus Corona menyebar ke tempat tinggal mereka. Menjadikan Natuna sebagai tempat karantina WNI dari Wuhan wajar saja menimbulkan reaksi masyarakat Natuna. Terlebih, korban virus Corona kian meranggas. Hal yang lumrah apabila ada rasa was-was dan kekhawatiran yang melanda warga Natuna.
Hal ini berbeda dengan pernyataan Bupati Natuna. Ia mengklaim tidak ada eksodus masyarakat Natuna karena kedatangan WNI dari China. Adapun alasan ditunjuknya Natuna sebagai tempat observasi dan karantina karena berbagai pertimbangan. Yakni, waktu, jarak, kesiapan tempat, dan kesiapan tim medis yang ada.
Adapun menurut panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahyanto mengatakan Natuna memiliki rumah sakit sebagai tempat observasi yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Di samping itu, jarak landasan (runaway) pangkalan militer ke RS tempat isolasi juga dinilai sangat dekat. Itulah beberapa alasan pemerintah memilih Natuna sebagai lokasi isolasi.
Ketakutan warga dengan virus Corona adalah hal yang alami terjadi. Siapa yang tak merasa was-was dengan sebaran virus itu? Apalagi evakuasi terhadap WNI di Wuhan terbilang agak lamban. Saat pandemi terjadi, Indonesia tak kunjung mengevakuasi WNI di sana. Dibandingkan Jepang, Inggris, dan Amerika, bisa dikatakan Indonesia kalah cepat.
Berlama-lama di Wuhan dengan dikelilingi virus yang mudah menyebar dan korban meninggal yang kian bertambah, wajar pula bila warga Natuna takut WNI yang dievakuasi terindikasi mengidap virus tersebut.
Bila eksodus benar terjadi, pemerintah sebaiknya memberikan jaminan bahwa isolasi WNI disana tak akan menulari warga setempat. Adanya penolakan warga, apa memang belum ada komunikasi sebelumnya antara pemerintah dengan warga Natuna? Bagaimanapun, kondisi psikologis masyarakat Natuna juga penting diperhatikan. Hanya saja penulis juga bertanya-tanya, mengapa memilih Natuna sebagai tempat karantina? Apa rumah sakit di Ibu Kota tak lebih canggih dari rumah sakit di Natuna? Apa hanya karena kemudahan dropping WNI yang menjadi alasannya? Lantaran Natuna dinilai lebih dekat dibanding ibukota.
Adapun soal waktu, pemerintah tidak gercep alias gerak cepat. Harusnya saat epidemi virus tersebut mendunia, sesegera mungkin Preisden keluarkan perintah evakuasi. Namun, Presiden baru memberi perintah setelah WHO menetapkan situasi darurat global terkait Corona. Jika hal itu dilakukan lebih awal, mungkin tak seramai ini penolakan warga terhadap WNI dari Wuhan.
Meski pada akhirnya pemerintah mengambil sikap yang cukup bijak dalam penanganan wabah Corona. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto akan menghentikan sementara impor produk makanan dan minuman dari China ke Indonesia. Indonesia juga melakukan penghentian sementara penerbangan dari Cina ke Indonesia dan sebaliknya. Keputusan ini dibuat berdasarkan protokol internasional.
Imbasnya, China ngambek. Mereka bahkan mewanti-wanti sikap Indonesia yang dinilai berlebihan ini bakal merugikan ekonomi Indonesia. Karena mereka mengklaim sebagai salah satu sumber investasi terbesar di Indonesia.
Sikap pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Baru kali ini mengambil langkah berani. Karena sejauh ini, Indonesia selalu terlihat melunak kepada China. Kebijakannya juga cenderung mendukung negeri tirai bambu itu leluasa berinvestasi di Indonesia. Alangkah baiknya pula pemerintah juga menghentikan tenaga kerja asing yang eksodus ke Indonesia. Karena TKA itu justru mematikan pekerja pribumi.
Sangat bijak pula jika Indonesia juga mau membatasi impor-impor lain dari Cina. Agar pengusaha lokal juga tidak mati karena membanjirnya produk Cina. Seperti semen Cina, Baja Cina, bawang putih, plastik, mainan, dan sebagainya. Negeri kita tercinta ini sudah cukup sesak dengan barang-barang dari Cina.
Kalau pemerintah berani, kami acungi jempol berkali-kali. Jangan hanya berani saat nyawa rakyat terancam. Tidak pula 'angin-anginan' saat menetapkan kebijakan. Lebih bagus lagi jika Indonesia bisa keluar dan terbebas dari lingkaran kapitalis-liberal yang banyak menyengsarakan rakyat dan merugikan negara. Berani nggak?
Chusnatul Jannah
Penulis adalah aktivis Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban.