Dewas dan Pimpinan KPK, Bekerjalah!

Ridhmedia
03/02/20, 12:49 WIB

Oleh:Beni Kurnia Illahi 
 Ikhtiar pemberantasan korupsi di negeri ini tampaknya sudah disekat rapat melalui revisi Undang-Undang KPK. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, komisi antirasuah yang menjadi harapan terbesar rakyat dalam membongkar skandal korupsi dijadikan tak berkutik karena keoligarkian pembentuk undang-undang yang sengaja melumpuhkan KPK.
Hal tersebut terbukti dengan sikap dan tindakan Dewan Pengawas (Dewas) dan Pimpinan KPK yang baru yang dinilai skeptis dalam menangani kasus-kasus korupsi belakangan ini. Sebut saja, dalam penanganan kasus suap Komisioner KPU, KPK gagal dalam melakukan proses penyegelan dan penggeledahan kantor Partai PDIP termasuk memeriksa pucuk pimpinan kesekretariatan partai penguasa yang diduga menjadi intellectual dader dalam perkara suap ini.

Di samping itu, dalam penanganan kasus skandal megakorupsi Jiwasraya dan Asabri, KPK juga melepaskan kasus tersebut ke Kejaksaan untuk mengusutnya. Padahal total kerugian negara yang ditaksir oleh BPK mencapai lebih dari Rp 13 triliun. Tentu saja dengan nilai kerugian sebanyak itu, sudah sewajarnya KPK memiliki kewenangan untuk mengusut kasus tersebut, apalagi kasus tersebut dianggap sebagai kasus terbesar setelah Kasus BLBI yang notabene juga ditangani KPK.

Dari dua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa KPK tidak memiliki taji lagi dalam memberangus korupsi. Selain itu, iktikad baik dari unsur Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK untuk mengusut kasus korupsi juga patut dipertanyakan. Publik menyaksikan betul betapa runyamnya proses penanganan yang dilakukan oleh KPK terhadap kasus suap Komisioner KPU yang melibatkan partai penguasa/pemerintah di republik ini.

Pimpinan KPK termasuk Dewas sekalipun mengalami kegamangan dalam mengusut kasus tersebut. Dapat dibayangkan, upaya KPK dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan partai politik ke depannya akan mengalami hal yang demikian jua. Akibatnya proses penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ujungnya tentu saja aset/kekayaan negara yang berlimpah akan terus digerogoti oleh para penyamun uang negara.

Sedari awal semua kalangan telah menduga bahwa pangkal masalahnya memang terletak di norma UU KPK. Sebab, UU KPK ini sengaja diamunisi dengan racun dan obat tidur dengan dosis yang tinggi sehingga menimbulkan penyakit kronis yang melumpuhkan KPK.

Presiden sebagai kepala pemerintahan di republik ini seharusnya bertanggung jawab terhadap kegaduhan dan konflik norma tersebut, salah satunya yaitu mengeluarkan Perppu tentang KPK dan mengembalikan ghirah KPK kepada khitah yang sesungguhnya. Jika presiden masih keberatan untuk mengeluarkan kebijakan tersebut, maka patut diduga Presiden juga terlibat turut serta menjadi dalang dalam memperlemah KPK dan memperkeruh agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Salah satu bukti dari konkretnya kejahatan norma tersebut adalah meletakkan KPK sebagai rumpun eksekutif yang secara tugas dan kewenangannya bertanggung jawab kepada presiden. Tentu saja KPK secara langsung akan kehilangan independensinya dan Pimpinan KPK beserta Dewas akan menjadi bayang-bayang eksekutif termasuk pimpinan partai eksekutif sekalipun.

Menagih Janji

Agenda pemberantasan korupsi tidak boleh terhenti. Mau tidak mau sebagai sebuah negara hukum, norma tersebut harus dijalankan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu adagium klasik yang menyebutkan Lex Dura, Sed Tamen Scripta (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan), meskipun terkadang tidak senapas dengan semangat antikorupsi.

Setidaknya tumpuan untuk mempercerah suasana kebatinan agenda pemberantasan korupsi harus dititipkan kepada dua unsur ini, yakni Pimpinan KPK dan Dewas KPK. Dua lembaga satu institusi tersebut perlu dikawal secara serius dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Wajar saja kiranya masyarakat sebagai konstituen menagih janji dan sumpah yang pernah terucapkan oleh kesepuluh pimpinan tersebut.

Pertama, jika kita ingin menagih janji kelima Pimpinan KPK, saat ini kinerja Pimpinan KPK setelah sebulan sejak dilantik belum menampakkan taringnya dalam meringkus pemburu rente koruptor. Padahal deretan dugaan kasus korupsi yang harus ditelusuri sudah menanti. Perlu diketahui bahwa penyelidikan kasus suap yang menjerat mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sudah jalan sejak Pimpinan KPK sebelumnya.

Begitu juga dengan OTT Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada awal Januari lalu. Perkara korupsi yang menjerat Saiful Ilah karena dugaan suap sebetulnya juga sudah dimulai saat lembaga antirasuah ini masih berjalan on the right track.

Namun, sejak di revisinya UU KPK dan dilantiknya Pimpinan KPK yang baru, proses penanganan kasus korupsi pun kelihatan runyam. Pimpinan KPK seakan melalukan jurus lempar bola bersama Dewas dalam menindak kasus tersebut, sehingga proses penyelidikan dan penyidikan menjadi lamban dan terkesan terhambat. Alasan yang dikemukakan ke publik pun tidak berdasar dan antara Pimpinan dan Dewas pun terkadang memiliki perbedaan pendapat pula dalam membawakan drama ini.

Sehingga terbersit pikiran oleh sejumlah kalangan, apakah drama Pimpinan KPK dan Dewas dalam penanganan kasus korupsi ini sudah tergolong menghalang-halangi proses penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi atau dikenal dengan istilah obstruction of justice.

Bagi saya, jika sudah terpenuhi unsurnya sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 UU Tipikor, KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice tersebut bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum di KPK. Itu sebabnya, Pimpinan KPK diharapkan dapat lebih agresif dalam dalam menjalankan tugas dan kewenangannya meskipun harus izin dewas dalam melakukan upaya penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Kedua, jika kita ingin menagih janji kelima anggota Dewas KPK, maka dapat dipastikan Dewas belum bekerja secara efektif. Terlepas dari alibi Dewas merupakan organ baru dalam tubuh KPK, namun hal tersebut dapat dibuktikan ketika KPK ingin melakukan penggeledahan di Kantor Partai PDIP termasuk memeriksa pimpinan partai penguasa tersebut, Dewas pun tidak kunjung mengeluarkan surat saktinya yaitu izin.

Menurut hemat saya, seandainya pun Pimpinan KPK belum kunjung meminta izin kepada Dewas untuk melakukan tugas pro yustisia tersebut terhadap penelusuran sebuah tindak pidana yang sudah ditetapkan tersangkanya, maka seharusnya Dewas harus menjalankan fungsi pengawasannya dengan cara jemput bola dengan menegur dan menanyakan kepada Pimpinan KPK kenapa belum dilakukannya tugas tersebut.

Sebagaimana amanat Pasal 37B ayat (1) huruf a UU KPK, tugas Dewas KPK tidak hanya memberikan izin atau tidak memberikan izin terhadap tindakan pro yustisia tersebut, tetapi yang perlu diingat adalah tugas pokok dari Dewas itu adalah mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Artinya, Dewas berhak menegur dan menanyakan kepada Pimpinan KPK ketika proses penegakan hukum itu mengalami stagnasi, karena di sanalah fungsi pengawasan itu berjalan.

Dari beberapa catatan tadi mengisyaratkan bahwa Dewas dan Pimpinan KPK harus betul-betul berani menampakkan taringnya dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu, karena begitulah janji dalam sumpah yang ditunaikan. Jangan sampai suatu saat terucap bahwa Dewas dan Pimpinan KPK Periode ini merupakan pemimpin terburuk sepanjang masa karena tidak menepati janji sebagai "Manusia Setengah Dewa" dalam memberantas korupsi.

(dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+