Kisah Bilal Bin Rabah - Muazin Rasulullah Saw

Ridhmedia
09/04/14, 18:46 WIB


Bilal Bin Rabah Al-Habasyi lahir di tempat as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya berjulukan Rabah, sedangkan ibunya berjulukan Hamamah, seorang budak perempuan berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra perempuan hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.

Ketika Makah diterangi cahaya agama gres dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan usul kalimat tauhid, Bilal yaitu termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama gres itu, mirip Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal mencicipi penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang mampu ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam mirip Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih mempunyai keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak mempunyai siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin mengakibatkan penyiksaan atas mereka sebagai pola dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti anutan Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, mirip Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari sempurna di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berkembang menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, kemudian memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup hingga di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk badan mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, ketika siksaan terasa begitu berat dan kekuatan badan orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jikalau dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan usaha di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal yaitu Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan watu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal semoga memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, “Lidahku tidak dapat mengatakannya.” Jawaban ini menciptakan siksaan mereka semakin jago dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang berangasan kemudian menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan bawah umur semoga menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya alasannya yaitu membela anutan Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar hingga satu uqiyah-pun, maka saya tidak akan ragu untuk menjualnya.” Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi anjuran hingga seratus uqiyah-pun, maka saya tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan saya bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.” Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Bilal tinggal di Madinah dengan hening dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun ia pergi. Selalu bersamanya ketika shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyerupai bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muadzin) dalam sejarah Islam.


Biasanya, sesudah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya
diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak usang kemudian, ia memperlihatkan tombak itu kepada Bilal. Sejak ketika itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan ia ketika melaksanakan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat eksklusif tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras alasannya yaitu bacokan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Makkah, ia berjalan di depan pasukan hijaunya bersama “sang pengumandang panggilan langit”, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, ia hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang gres masuk Islam ketika itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah semoga naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan bahagia hati, kemudian mengumandangkan adzan dengan suaranya yang higienis dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan pengecap mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal hingga pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, yaitu ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan insiden hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makah. Sementara Al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa saya tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.” Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini peristiwa alam yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada bersahabat mereka hanya berkata, “Aku tidak menyampaikan apa pun, alasannya yaitu kalau saya menciptakan pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka niscaya akan hingga kepada Muhammad bin Abdullah.” Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai bunyi yang ketika disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat sesudah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal hingga pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak mampu mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah bunyi isak tangis yang menciptakan suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya mampu mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap hingga kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu utusan Allah)”, ia eksklusif menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, semoga diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, alasannya yaitu tidak mampu melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, Ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jikalau engkau telah memerdekakanku alasannya yaitu Allah, maka biarkanlah saya bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, saya benar-benar membelimu untuk Allah, dan saya memerdekakanmu juga alasannya yaitu Allah.” Bilal menyahut, “Kalau begitu, saya tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun sesudah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.” Abu Bakar menjawab, “Baiklah, saya mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di tempat Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiyallahu ‘anhu sesudah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jikalau ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar yaitu tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”



Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal semoga mau mengumandangkan adzan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika bunyi Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan adzan, Umar tidak mampu menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka lembap dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal, “pengumandang usul langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.


Sumber : Biografi Tokoh Dunia



Komentar

Tampilkan

Terkini