Kisah Pengangkatan Umar Bin Abdul Aziz Menjadi Khalifah

Ridhmedia
17/05/15, 14:03 WIB




Di antara kebaikan-kebaikan Sulaimana bin Abdul Malik yaitu bahwa dia berkenan mendapatkan pesan tersirat dari seorang ulama andal fikih, Raja’ bin Haiwah al-Kindi, yang mengusulkan ketika Sulaiman dalam keadaan sakit dan balasannya wafat, semoga mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya. Akhirnya Sulaiman menetapkan surat wasiat yang tidak memberi celah bagi setan sedikit pun (Ashr ad-Daulatain al-Umawiyah wa al-Abbasiyah, Hal: 37). Ibnu Sirin mengatakan, “Semoga Allah merahmati Sulaiman, dia mengawali kekhalifahannya dengan menghidupkan shalat dan mengakhirinya dengan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya.”

Khalifah Sulaiman wafat tahun 99H, Umar bin Abdul Aziz menshalatkan jenazahnya, tertulis dalam stempelnya, “Aku beriman kepada Allah dengan ikhlas.” (Siyar A’lam Nubala, 5: 11-12).

Ada beberapa riwayat perihal pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Di antara riwayat-riwayat tersebut yaitu yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail, dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin Haiwah berkata, “Di hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik menggunakan baju berwarna hijau dari wol, dia bercermin dan berkata, ‘Aku yaitu raja muda’. Lalu dia keluar untuk menunaikan shalat Jumat bersama rakyat, dia eksklusif sakit begitu pulang, manakala sakitnya semakin keras dia menulis wasiat untuk anaknya Ayyub. Ayyub yaitu anak yang belum dewasa, saya berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin? Di antara kebaikan seseorang yang mengalir ke kuburnya yaitu bahwa dia mengangkat orang shaleh sesudahnya’. Sulaiman berkata, ‘Surat wasiat ini, saya masih beristikharah kepada Allah, masih mempertimbangkan, dan belum menetapkan dengan pasti.’

Satu atau dua hari setelah itu Sulaiman memperabukan surat tersebut, lalu dia mengundangku. Dia bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu perihal Dawud bin Sulaiman?’ Aku menjawab, ‘Dia berada di Konstantinopel, Anda sendiri tidak tahu dia masih hidup atau telah mati’. Sulaiman bertanya, ‘Siapa menurutmu wahai Raja’?’ Aku menjawab, ‘Terserah Anda wahai Amirul Mukminin’. Aku berkata demikian alasannya yaitu saya sendiri masih mempertimbangkan. Sulaiman berkata, ‘Bagaimana menurutmu Umar bin Abdul Aziz?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, yang saya tahu bahwa dia yaitu pria yang utama, muslim pilihan’. Sulaiman berkata, ‘Benar, dialah orangnya, tetapi kalau saya mengangkatnya dan tidak mengangkat seorang pun dari belum dewasa Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu perpecahan, mereka tidak akan membiarkannya memimpin selama-lamanya, kecuali kalau saya menetapkan seseorang dari mereka setelah Umar. Aku akan mengangkat Yazid bin Abdul Malik setelah Umar. –Pada dikala itu Yazid sedang tidak berada di tempat, dia menjadi Amirul Haj- Hal itu akan menciptakan belum dewasa Abdul Malik hening dan menerima’. Aku berkata, ‘Terserah Anda’.

Sulaiman bin Abdul Malik menulis surat tangannya, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini yaitu surat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya saya menyerahkan khilafah kepadanya sesudahku dan sesudahnya kepada Yazid bin Abdul Malik, dengarkanlah dan taatilah, bertakwalah kepada Allah, janganlah berselisih, alasannya yaitu musuh-musuh kalian akan berharap mengalahkan kalian’. Lalu Sulaiman menstempel surat tersebut.

Sulaiman lalu meminta Ka’ab bin Hamid, kepala pasukan pengawal khalifah, semoga mengumpulkan keluarganya. Ka’ab melaksanakan dan mengumpulkan mereka. Setelah mereka berkumpul, Sulaiman berkata kepada Raja’, bawalah surat wasiatku kepada mereka, katakan kepada mereka bahwa itulah surat wasiatku, minta mereka untuk membaiat orang yang saya tunjuk’. Raja’ melaksanakannya, ketika Raja memberikan hal itu, mereka berkata, ‘Kami mendengarkan dan menaati siapa yang tercantum di dalamnya’. Mereka berkata, ‘Bolehkah kami menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam?’ Raja’ menjawab, ‘Silahkan’. Mereka pun masuk, Sulaiman berkata kepada mereka, ‘Itu yaitu wasiatku, -Sulaiman menunjuk kepada surat yang ada di tangan Raja’ dan mereka melihat surat tersebut- Itu yaitu pesan terakhirku, dengarkanlah, taatilah dan baiatlah orang yang saya sebutkan namanya dalam surat wasiat tersebut’. Raja’ berkata, ‘Maka mereka membaiatnya satu per satu’. Kemudian Raja’ membawa surat yang berstempel itu keluar’.”

Raja’ berkata, “Manakala mereka telah meninggalkan daerah itu, Umar tiba kepadaku, dia berkata, ‘Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya Sulaiman sangat menghormati dan menyayangiku, dia bersikap lembut dan baik, saya khawatir dia menyerahkan sebagian kasus ini kepadaku, maka saya meminta kepadamu dengan nama Allah lalu dengan kehormatan dan kasih sayangku, semoga engkau memberitahuku kalau perkaranya demikian, sehingga saya bisa mengundurkan diri dikala ini sebelum datangnya suatu keadaan dimana saya tidak bisa merubahnya lagi’. Raja’ menjawab, ‘Tidak demi Allah, saya tidak akan mengabarkan satu abjad pun kepadamu’. Maka Umar pergi dengan kesal.”

Raja’ berkata, “Maka Hisyam bin Abdul Malik menemuiku dan berkata, ‘Sesungguhnya antara diriku dengan dirimu terdapat korelasi baik dan kasih sayang lama, saya pun tahu berterima kasih, katakan kepadaku apakah saya orang yang disebut dalam surat tersebut? Jika saya yaitu orangnya, maka saya tahu. Jika orang lain, maka saya akan berbicara, orang sepertiku tidak patut dipandang sebelah mata, kasus ibarat ini tidak pantas dijauhkan dari orang sepertiku, katakan kepadaku. Aku berjanji dengan nama Allah kepadamu tidak akan menyebutkan namamu selama-lamanya’.”

Raja’ berkata, “Aku menolak usul Hisyam, saya berkata, ‘Tidak demi Allah, saya tidak akan membuka satu abjad pun kepadamu dari apa yang telah dirahasiakan Sulaiman kepadaku’. Hisyam pun pergi sambil menepukkan satu tangannya ke tangan yang lain, dia berkata, ‘Kepada siapa kasus ini diserahkan kalau tidak kepadaku, apakah kami ini dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi Allah, sesungguhnya saya yaitu putra Bani Abdul Malik yang sebenarnya’.”

Raja’ berkata, “Aku menemui Sulaiman bin Abdul Malik, ternyata dia sudah wafat, namun saya masih mendapati saat-saat sakratul mautnya, setiap kali dia menghadapinya, maka saya menghadapkannya ke arah kiblat, Sulaiman mengucapkan dengan tersendat-sendat, ‘Wahai Raja’, saatnya belum tiba sekarang’. Sampai saya mengulangnya dua kali, pada kali ketiga Sulaiman berkata, ‘Sekarang wahai Raja’, kalau kau ingin sesuatu, maka saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu hamba dan utusan-Nya’.”

Raja’ berkata, “Maka saya menghadapkannya ke arah kiblat, dan Sulaiman wafat. Aku memejamkan kedua matanya, saya menyelimutinya dengan sebuah kain hijau, saya menutup pintu, istrinya mengutus seorang utusan untuk meminta izin melihat keadaannya, saya berkata kepadanya, ‘Dia telah tidur dan berselimut’. Utusan itu telah melihat Sulaiman yang telah berselimut kain, dia pulang menyampaikannya kepada istrinya, istrinya hening alasannya yaitu dia menerka bahwa Sulaiman tidur.”

Raja’ berkata, “Aku meminta seseorang yang kupercayai untuk bangun di pintu, saya berpesan kepadanya untuk tidak beranjak hingga saya sendiri yang tiba kepadanya dan tidak memperkenankan siapa pun untuk masuk menemui khalifah. Lalu saya memanggil Ka’ab bin Hamid al-Ansi, saya memintanya untuk mengumpulkan keluarga Amirul Mukminin, mereka pun berkumpul di masjid Dabiq, saya berkata kepada mereka, ‘Berbaiatlah kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami telah berbaiat, kini berbaiat lagi?’ Aku berkata, ‘Ini yaitu pesan Amirul Mukminin, berbaiatlah untuk mematuhi perintahnya, mengakui siapa yang disebutkan namanya dalam surat wasiat yang distempel ini’. Mereka pun satu per satu membaiat untuk kedua kalinya.”

Raja’ berkata, “Ketika mereka bersedia membaiat untuk kedua kalinya, maka saya yakin telah menata urusan ini sebaik mungkin, saya mengucapkan, ‘Jenguklah Khalifah Sulaiman, alasannya yaitu dia telah wafat’. Mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Kemudian saya membacakan isi surat wasiat Sulaiman, ketika saya menyebut nama Umar bin Abdul Aziz, Hisyam berkata, ‘Kami tidak akan membaiatnya selama-lamanya’. Raja’ mengatakan, ‘Demi Allah, saya akan memenggal lehermu, bangun dan berbaiatlah’. Lalu Hisyam bangun dengan “menyeret” kedua kakinya.

Raja’ melanjutkan, “Aku memegang bahu Umar bin Abdul Aziz, saya mendudukkannya di atas mimbar, sementara Umar bin Abdul Aziz mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Ia meratapi apa yang didapatkannya. Sementara Hisyam juga mengucapkan ucapan yang sama alasannya yaitu bukan dia yang ditunjuk oleh Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penggantinya. Hisyam bertemu Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kekhalifahan telah berpindah tangan dari belum dewasa Abdul Malik kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar menjawab, ‘Ya, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kasus itu hingga ke tangannya padahal dia tidak menyukainya.” (Tarikh ath-Thabari, 7: 445).

Abu al-Hasan an-Nadawi berkata perihal perilaku Raja’, “Raja’ telah melaksanakan sebuah jasa besar yang tidak akan dilupakan oleh Islam. Aku tidak mengetahui seorang pria dari kalangan sobat raja dan orang-orangnya, yang bisa memberi manfaat (dengan kedekatan dan kedudukannya) ibarat manfaat yang diberikan oleh Raja’. (Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah, 1: 40).

Umar naik mimbar, dan dalam tatap muka pertama dengan rakyat, dia mengatakan, “Jamaah sekalian, sesungguhnya saya telah diuji dengan kasus ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat untukku, kini pilihlah seseorang untuk memimpin kalian.” Orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami menerimamu, silahkan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan.”

Di dikala itulah Umar merasa bahwa dirinya mustahil menghindar dari tanggung jawa khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk menjelaskan kebijakan-kebijakannya dalam menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du, tidak ada lagi nabi setelah nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab yang diturunkan kepadanya. Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan yaitu halal hingga hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, saya hanyalah pelaksana, dan saya bukanlah pelaku bid’ah melainkan saya yaitu pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati dalam kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, saya hanyalah seorang pria bab dari kalian, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.

Kaum muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan lima perkara, kalau tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku dalam kebaikan sebatas kemampuannya, ketiga, memperlihatkan jalan kebaikan kepadaku sebagaimana saya dituntut untuk meniti jalan tersebut, keempat, tidak melaksanakan ghibah terhadap rakyat, dan kelima, tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya.

Aku berwasiat kepada kalian semoga kalian bertakwa kepada Allah, alasannya yaitu takwa kepada Allah memperlihatkan akhir yang baik dalam setiap hal, dan tidak ada kebaikan apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk alam abadi kalian, alasannya yaitu barangsiapa bersedekah untuk akhirat, pasti Allah akan mencukupkan dunianya. Perbaikilah (jaga) diam-diam (yang ada pada diri kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari (amal perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian, alasannya yaitu kematian yaitu penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih perihal Tuhannya, tidak perihal Nabinya, tidak perihal Kitabnya, akan tetapi umat ini berselisih alasannya yaitu dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan memperlihatkan yang batil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi hak seseorang.”

Kemudian Umar meninggikan suaranya semoga orang-orang mendengar, “Jamaah sekalian, barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati dan barangsiapa mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya dalam permasalahan tersebut. Taatilah saya selama saya (memerintahkan untuk) menaati Allah, namun kalau (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian dihentikan taat dalam hal itu…” lalu Umar turun dari mimbar.

Begitulah prosesi pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah umat Islam, salah seorang khalifah Daulah Umawiyah. Ia diangkat pada hari Jumat, 11 Shafar 99 H (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 667).

Sumber: Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung, Umar bin Abdul Aziz
Artikel : http://kisahmuslim.com
Komentar

Tampilkan

Terkini