Kisah Seorang Perampok Taubat Dan Menjadi Ulama

Ridhmedia
13/10/17, 10:42 WIB

Hidayah merupakan karunia Allah. Dia memberikannya kepda siapa saja yang dikehendakinya. Termasuk kepada penjahat sekalipun. Imam adz-Dzahabi pernah menceritakan kisah seorang pencuri yang bertaubat , kekmudian dia menjadi seorang ulama. Beliau menceritakan,” Adalah Al fudhail bin Iyadh dulunya sorang penyamun yang menghadang orang-orang di kawasan antara Abu warda dan Sirjis. Awal mulanya dia pernah terpikat seorang wanita> Suatu malalm dia menyelinap ke rumah perempuan tersebut, ketika dia memanjat tembok, tiba-tiba saja dia mendengar seserang membaca ayat

“Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna meningat Alah serta tunduk kepada kebenaran yang tleh turun kepada mereka dan janganlah mereka menyerupai orang-orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka kemudian hati mereka menjadi keras, dan lebih banyak didominasi mereka ialah orang-orang yang fasiq (QS Al Hadid 16)

Tatkala mendengarnya dia gemetar dan berkata, “ Tentu saja wahai rabb ku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat). Belliau pun turun ke reruntuhan bangunan, tempat dia tinggal. Tiba-tiba saja sekelompok orang yang lewat. Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus!” dan sebagian yang lain berkata,” Kita jalan terus hingga pagi, sebab biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini,” fudhail menceritakan ,”Kemudian saya merenung dan bergumam.” saya menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan biar saya bertaubat kepadaMu dan saya jadikan taubat itu denga tinggal di Baitul Haram.

AYat itulah yang menyadarkan seorang Fudhail bin Iyadah dari kelalaian yang panjang. Hingga akhirya dia menjadi ulama senior di kalangan tabi’in, sekaligus dikenal sebagi jago ibadah yang zuhud. Ayat itu pula yang menyadarkan Malik bin Dinar yang pada gilirannya menjadi ulama terkemuka di zamannya..

Ayat di atas menjadi teguran yang halus, sekaligus menohok’ terhadap orang-orang yang telah menyatakan dirinya beriman. Halus, sebab ALLah menyentuh dengan sapaan “orang-orang yang beriman.” Bukan dengan kalilmat “orang-orang yang durhaka”. Menohok sebab setiap orang yang merasa dirinya beriman niscaya terhenyak ketika menghayati ayat ini. Ini menyebabkan kesadaran, betapa tidak layaknya seseorang sebagai orang beriman,Jika hati dan perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang beriman- Yang terkadang masih menyepelekan dosa-dosa, menomor duakan perintah Allah dan RasulNya. Ditambah lagi merasa enjoy berlama-lama dengan kondisi menyerupai itu.

Rasulullah saw bersabda,

Sesungguhnya seorang mukmin membayangkan dosa-dosanya menyerupai duduk di kaki gunung dan ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan seorangyang pendosa menganggap dosanya menyerupai lalat yang hinggap dihidungnya kemudian dikibasnya (HR Tirmidzi)

.Para sahabat yang demikian taat pun menganggap bahwa ayat ini sebagai teguran untuk mereka. Abdullah bin Mas’ud berkata, Jarak antara keislaman kami dengan teguran Allah pada ayat ini ialah 4 tahun,: sementara Abdullah bin Abbas menyampaikan “ Sesungguhnya Allah menganggp lambat hati orang-orang dalam merespon (ayat-ayatnya) kemudian Allah menegur mereka sehabis 13 tahun semenjak diturunkannya ayat !” yakni teguran dengan ayat ini.

Jika demikian, tentulah kita lebih layak menjadi obyek dari teguran Allah dalam ayat ini. Memang kita telah banyak mendengar ayat Allah dibacakan, juga membaca dan mempelajarinya, alhamdulillah. Namun jujur kadang hati dan jasad belum juga khusyuk. Hati belum fokus dan konsen terhadap peringatan dari Allah . Ayat-ayat dan hadits Nabi saw ihwal larangan, sering pula mampir di telinga, ancamannya pun kerap kita baca. Namun seberapakah pengaruh peringatan itu terhadap hati dan tindakan kita? Seakan masih menunggu waktu atau masih merasa panjang waktu kita untuk bersenang-senang dan bersibuk-sibuk dengan dunia. Seolah kita tahu berapa jatah umur kita hidup di dunia kemudian dengan ‘pede’nya merencanakan untuk menyisihkan waktu ketika taubat beberapa ketika saja diujung usia. Alangkah lancangnya kita dengan taqdir Allah. Kita lupa bahwa angan-angan manuis itu melampui batas ajalnya. Kematian dapat saja tiba sebelum kita menuntaskan separuh atau bahkan seperempat dari rencan yang kita buat.

Sementara setan terus menghembuskan bisikan yang memabukkan’ dan berdampak mematikan hati. Bisikan itu adlah ‘taswif , bujukan utntuk menunda kebaikan dan taubat dengan kalimat beracun, “nanti !” Setan membisikan kata itu setiap kali tercetus hasrat di hati untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karena itulah, Ibnul qayyim Al Jauziyah menyampaikan ‘innat taswif min junuudi ibllis’, bahu-membahu taswif (mengatakan nanti untuk kebaikan) ialah satu tentara iblis”.

Membaca ayat di atas mestinya kita tersadar, Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertaubat dan menyuruh kita bersegera kembali kepadaNya sehabis sekian usang teledor dan lalai. Dan kita tidak tahu, seberapa usang lagi Allah masih memberi kesempatan dan menunggu kita untuk memperbaiki diri..

Allahuma a inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadtika… Ya Allah saya memohon derma Mu untuk dapat mengingatMu dan bersyukur kepadaMu serta dalam khusyu beribadah kepadaMu

(disadur, AR Risalah Media , Menata Hati menyentuh Ruhani) eramuslim.com
Komentar

Tampilkan

Terkini