Perlawanan Pimpinan Kpk: Cicak Vs Komodo!

Ridhmedia
15/09/19, 09:43 WIB

[]  Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat malam (13/9) ramai-ramai mengembalikan mandat ke Presiden Jokowi.

Kalau dilihat yang hadir, sesungguhnya hanya dua orang yang mengembalikan mandat. Ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode Muhammad Syarif. Mereka didampingi oleh Saut Situmorang, sudah lebih dulu mengundurkan diri.

Pimpinan KPK dari unsur kepolisian Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan tidak nampak batang hidungnya. Sementara Alexander Marwata terpilih kembali menjadi pimpinan KPK (2019-2023).

“Setelah kami mempertimbangkan situasi yang semakin genting, maka kami pimpinan sebagai penanggung jawab KPK dengan berat hati, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Bapak Presiden," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers yang digelar di gedung KPK.

Di belakang mereka para karyawan KPK ramai-ramai bertepuk tangan menyanyikan lagu Maju Tak Gentar sambil berkali-kali mengepalkan tangan. Mereka meneriakkan yel-yel “Hidup KPK…..Hidup KPK…..

Setelah itu Agus membacakan sikap pimpinan KPK. Dia menyampaikan menunggu jawaban Presiden Jokowi, apakah masih dipercaya untuk meneruskan jabatan hingga bulan Desember atau tidak.

Agus menilai, mereka diserang dari semua sisi dalam revisi UU KPK. Kendati tidak menyebut Jokowi termasuk yang menyerang dan melemahkan KPK, namun dari keterangannya hal itu terang tersirat. Orang nomor 1 di Republik ini penggalan dari serangan tadi.

Ketika ditanya media, Jokowi berkilah belum membaca draft revisi. Demikian pula ketika ditanya soal terpilihnya Irjen Pol Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, Jokowi menjawab “sudah sesuai prosedur.”

Firli yakni calon yang ditolak keras oleh internal KPK dan publik secara luas. Semasa menjadi Direktur Penindakan KPK beliau dinyatakan melanggar aba-aba etik. Namun keputusan itu tak pernah dihukum sebab beliau keburu ditarik ke Mabes Polri.

Menempatkan seorang perwira polisi, apalagi pernah bermasalah menjadi ketua KPK, yakni paket lengkap dari upaya pelemahan.

“KPK tidak diajak berdiskusi oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat dalam revisi tersebut,” katanya.

RUU KPK merupakan inisiatif DPR, namun Presiden telah mengeluarkan surat persetujuan. Padahal para pimpinan KPK, karyawan KPK, akademi tinggi, dan masyarakat sipil menyatakan penolakannya.

Artinya, kendati mengaku mengajukan beberapa revisi, Jokowi sepakat dengan RUU yang dinilai melemahkan KPK.

Penyerahan mandat ini—kendati dibungkus dengan bahasa yang santun— merupakan konfrontasi pribadi dari KPK kepada Presiden. Bukan hanya dari pimpinan KPK, namun juga hampir seluruh karyawan KPK.

Dengan bahasa yang lebih terbuka, sesungguhnya para pimpinan KPK mengatakan. “Ambil niiihhh jabatan pimpinan KPK. Emang gua pikirin”

Karena Agus Rahardjo orang Jawa, barangkali kalau boleh bicara terbuka beliau akan menyampaikan “Gak jadi pimpinan KPK, gak patek’en!”

Atau kalau model Saut Sitomorang yang orang Batak akan mengatakan. “Makan sama keliaaannn!”

Kemelut gres di forum anti rasuah ini semacam kelanjutan kasus Cicak Vs Buaya. Kalau dilihat secara kronologis sudah masuk Jilid IV. Namun bentuk, skala, dan magnitudenya jauh lebih besar.

Karena itu analogi Cicak Vs Buaya tidak lagi tepat. Kalau forum kepolisian waktu itu dianalogikan sebagai buaya. Maka Presiden bolehlah kita sebut sebagai Komodo. Jauh lebih besar. Lebih bertenaga, dan lebih berkuasa.

Makara ini yakni pertarungan Cicak Vs Komodo!

(Ujian berat bagi Jokowi)

Dengan pengembalian mandat tersebut, tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab pemberantasan korupsi sepenuhnya dikembalikan kepada Jokowi sebagai presiden.

Sebagai pihak yang pribadi “berkonflik” dengan KPK, agak sulit membayangkan Jokowi sanggup berperan sebagai penengah. Pada Cicak Vs Buaya Jilid I dan II, ketika KPK berseteru dengan Polri, Presiden SBY sanggup menjadi penengah.

Pada Cicak Vs Buaya Jilid III sesudah dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Wijayanto ditetapkan sebagai tersangka, Jokowi memutuskan Plt KPK.

Abraham Samad dan Bambang Wijayanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri. Itu merupakan tindakan jawaban terhadap KPK. Mereka memutuskan calon Kapolri terpilih Komjen Pol Budi Gunawan menjadi tersangka Korupsi.

Dari lima orang pimpinan KPK, hanya tersisa dua orang, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Satu orang pimpinan lain, Busyro Muqodas sudah habis masa jabatannya.

Jokowi kemudian menunjuk Irjen Pol (Purn) Taufikurahman Ruki sebagai Plt Ketua KPK, didampingi oleh Indrianto Seno Adji dan Johan Budi.

Skenario menunjuk Plt sanggup kembali dilakukan Jokowi. Toh masa jabatan Agus Dkk tinggal tiga bulan. Sementara ketua dan pimpinan yang gres sudah dipilih dan ditunjuk DPR.

Pada kasus Cicak Vs Komodo ini Jokowi tidak sanggup begitu saja mengambil langkah serupa.

Jokowi ketika ini bukan hanya berhadapan dengan KPK, atau karyawan KPK yang semenjak awal menolak revisi. Dia menghadapi banyak front perlawanan.

Semua elemen masyarakat yang selama ini selalu diam membisu, sudah menyatakan bunyi menentang Jokowi. Menariknya perlawanan ini juga tiba dari perorangan, kelompok, organisasi, media maupun akademi tinggi yang selama ini mendukung Jokowi.

UGM, almamater Jokowi yang selama ini sering menjadi materi tertawaan, selalu membebek apapun kebijakan Jokowi, menyatakan penolakan. Universitas Islam Indonesia (UII) tetangga UGM di Yogyakarta malah sudah menyiapkan mosi tidak percaya.

LSM semacam ICW, media-media besar pendukung Jokowi menyerupai Kompas dan Tempo sudah berbalik. Sangat kritis terhadap Jokowi.

Kompas.com edisi Jumat (13/9) bahkan menurunkan artikel yang mempermalukan Jokowi.

Dalam artikel berjudul “Jokowi Tolak Penyadapan KPK Seizin Pihak Eksternal, Padahal Memang Tak Ada di Draf Revisi,” Kompas memaparkan dua fakta yang menyedihkan dari sikap Jokowi.

Dalam jumpa pers khusus yang digelar soal RUU KPK Jokowi menyatakan, beliau menyetujui namun dengan beberapa revisi. "Saya tidak sepakat terhadap beberapa subtansi RUU inisiatif dewan perwakilan rakyat ini yang berpotensi mengurangi efektivitas kiprah KPK,” ujarnya.

Ada empat revisi yang disampaikan Jokowi. Namun ternyata dalam draf dari dewan perwakilan rakyat ketentuan yang dimaksud tidak ada.

Pertama, Jokowi mengaku tidak sepakat jikalau KPK harus menerima izin penyadapan dari pihak eksternal.

"Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," kata Jokowi.

Dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan dewan perwakilan rakyat memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus menerima izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor.

Dalam pasal 12 draf revisi UU KPK hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Kedua, Jokowi juga mengaku tidak sepakat penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.

"Penyelidik dan penyidik KPK sanggup juga berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui mekanisme rekrutmen yang benar," kata Jokowi.

Namun lagi-lagi dalam pasal 45 draf RUU, sudah diatur bahwa penyidik KPK memang tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Membaca artikel kompas.com itu kita hanya sanggup geleng-geleng kepala. Kehabisan kata-kata. Speechless.

Fakta ini kian membuka mata kita bagaimana negara ini dikelola. Benarlah joke yang sudah usang berkembang. Prinsip Jokowi yakni : I dont read, what I sign. Presiden tidak pernah baca, keputusan apapun yang ditandatanganinya.

Tajuk Koran Tempo Edisi Jumat (13/9) berjudul, “Melawan Kembalinya Oligarki” menulis:

“Kini pemerintahan Joko Widodo tidak sanggup lagi mengklaim sebagai reformis. Presiden Jokowi telah melaksanakan kesalahan serius dengan bangun di barisan politikus dan orang-orang yang berusaha merobohkan Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Revisi UU KPK menjadi ujian yang sangat berat bagi Jokowi. Bila salah mengelola, sanggup menjadi kerikil sandungan besar diakhir masa jabatannya.

Salah bersikap, langkahnya ke dingklik jabatan periode kedua, bukan mustahil akan terhambat.

Ternyata menghadapi info pemberantasan korupsi, rakyat Indonesia sanggup kembali bersatu. Tak ada lagi pembelahan antara kubu penentang, maupun pendukung Jokowi. Semua kompak.

Sejelek-jeleknya para koruptor, ternyata masih tetap ada gunanya. Mari kita ucapankan terima kasih pada koruptor!

Kalian telah mempersatukan kembali rakyat Indonesia!
Hidup Koruptorrrrrrr!
Merdekaaa!

Penulis: Hersubeno Arief

Komentar

Tampilkan

Terkini