Selamat Jalan Kpk…

Ridhmedia
16/09/19, 08:27 WIB

[]  Innalilahi wa Inna ilaihi raji’un. Kalimat ajal ini mendadak keluar dari lisan seorang lelaki muda. Wajahnya tertunduk lesu. Tak ada gairah meski langit cerah. Siapa yang mati? tanya temannya. KPK, lelaki itu menjawab. Tetap dengan wajah menunduk. Sesekali menoleh ke atas dengan tatapan matanya yang kosong.

Kapan? Tanya temannya lagi. Baru saja, katanya. Ada yang membunuhnya, lelaki itu mulai membuka cerita. Temannya terkejut. Siapa yang bunuh KPK? Ia mulai penasaran. DPR, jawab si lelaki itu. Kali ini wajah lelaki itu kelihatan mulai geram. Tapi, dewan perwakilan rakyat tidak sendirian, ia melanjutkan ceritanya. Ada pelaku lainnya? Si sahabat makin penasaran. Terdengar suaranya mulai ikut geram. Siapa pelaku lainnya? Ia mendesak. Pemerintah! Jawabnya. Wajah temen itu kemudian menunduk lemas. Raganya mulai tak bertenaga.

Cerita ini hanya sebuah ilustrasi. Mencoba menggambarkan apa yang ada di kepala rakyat ketika ini. Suatu obrolan imaginer yang memotret nasib KPK kini.

Banyak yang curiga bahwa apa yang menimpa KPK ketika ini yakni sebuah kekompakan “terjorok” dari persekutuan sejumlah elit yang berupaya menyelamatkan diri dan “para saudagar” yang berhasil membeli integritas mereka. Maka, mengebiri tugas dan kewenangan KPK yakni pilihan yang dianggap paling jitu.

Berita wacana KPK semakin memanas. Ada pihak yang diduga ingin menghabisinya. Strategi yang paling efektif untuk menghabisi KPK yakni pertama, merevisi Undang-undang-nya. Melalui UU KPK, tugas KPK bisa dipreteli. Taruh “Dewan Pengawas” untuk mengambil alih tugas KPK. Mulai dari penyadapan, penyitaan sampai penggeledahan. Bahkan terkait dengan penerbitan SP3. Dengan “wajib ijin” kepada Dewan Pengawas, KPK dicopotin satu persatu kekuatannya. Kalau KPK sudah tak berdaya, maka tak perlu lagi ada yang dikhawatirkan. Korupsi dan bagi-bagi proyek lebih aman.

Kedua, mengendalikan pimpinan KPK. Kalau pimpinan KPK “orang kita”, maka beres sudah. Kontroversi terkait pemilihan calon pimpinan KPK ketika ini oleh sejumlah kalangan dianggap punya kaitan dengan dugaan itu. Inilah yang menimbulkan para pimpinan KPK ketika ini mengembalikan mandat ke presiden Jokowi. Salah satu pimpinan dan penasehat KPK sudah lebih dulu mengundurkan diri.

Situasi ini tentu akan menjadi tantangan bagi pimpinan KPK periode Desember 2019-2023. Terutama untuk ketua KPK terpilih, Irjen Firli Bahuri. Banyak kabar beredar bahwa Firli diduga telah melaksanakan pelanggaran etik berat sewaktu bekerja di KPK. Saat akan dijatuhi sanksi, keburu ia ditarik oleh institusinya dan dipromosikan menjadi Kapolda. Bagi Firli, tuduhan ini tentu menjadi tantangan yang tak ringan. Kedepan, mampukah Firli dkk menerangkan kinerjanya dengan baik? Sehingga ini akan bisa menepis dugaan tak sedap itu. Waktu yang akan membuktikannya nanti.

Ketiga, strukturisasi kepegawaian KPK. Para pegawai tetap KPK di-ASN-kan. Kalau jadi ASN, maka menempel bagi mereka semua aturan dan loyalitasnya. Kepada siapa? Kita tunggu hasil revisi UU KPK yang sudah ada di tangan presiden.

Kenapa UU harus direvisi? Alasan formalnya alasannya yakni KPK bermasalah. Alasan non-formalnya? Untuk melindungi kasus-kasus besar yang berpotensi mencekik para elit dan big bos. Begitulah kecurigaan para pendukung KPK.

Kalau soal masalah, niscaya di KPK ada. Mungkin juga banyak. Tidak hanya KPK, tapi semua institusi hukum. Bahkan lahirnya KPK disinyalir alasannya yakni institusi-institusi aturan yang lain dianggap ompong, khususnya terkait pemberantasan korupsi.

Apa problem KPK? Pertama, KPK dianggap babat pilih soal korupsi. Banyak masalah mandek di tengah jalan. Konon katanya, ada titipan. Tentu, penitipnya yakni orang-orang berpengaruh di negeri ini.

Kasus e-KTP misalnya. Sejumlah nama besar yang disebut-sebut di persidangan nyaris tak tersentuh. Beberapa elit politik termasuk yang terang-terangan terbukti mengembalikan uang hasil jarahan, masih aman. Bahkan menjabat lagi sampai sekarang.

Kasus Meikarta hanya menyeret paling tinggi tersangkanya yakni bupati. Lebih dari itu, KPK angkat tangan. Menyerah pasrah. Begitu juga dengan masalah reklamasi. Satu anggota DPRD DKI jadi tumbalnya. Yang lain? Aman-aman saja.

Jangankan menyentuh masalah BLBI dan Bank Century yang merugikan negara triliunan rupiah dan diduga melibatkan orang-orang terkuat di negeri ini. Kasus-kasus yang jauh lebih kecil menyerupai PLN, Pelindo, Sumber Waras, Trans Jakarta, dan Tanah BMW, pun menyisakan kecurigaan publik. Rakyat curiga kasus-kasus ini sengaja dilokalisir tersangkanya.

Kedua, KPK sibuk branding dengan OTT. Kewenangan untuk melaksanakan OTT seringkali jadi iklan untuk menaikkan kesan kegarangan KPK. OTT di rumah misalnya, itu kurang menarik. Beda kalau di hotel. Apalagi sedang bersama istri mudanya. Ini punya magnet untuk menjadi isu besar. KPK bisa terangkat namanya. Judul beritanya: “Operasi Tangkap Tangan si Anu dengan Selingkuhannya di Hotel”. Pasti heboh. Itulah kelakukan KPK, kata para pengkritiknya.

Apakah berarti KPK harus dibubarkan? No! Rakyat niscaya tak setuju. Kok pasti? Silahkan survei kalau gak percaya. Tapi, mengapa semua fraksi dewan perwakilan rakyat sepakat mau revisi UU KPK No 30/2002? Dalam konteks ini emang dewan perwakilan rakyat mewakili rakyat? Nah, kena deh.

Usulan dewan perwakilan rakyat itu terkait revisi UU KPK, bukan membubarkan KPK. Beda! Kalau kewenangan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan KPK diambil alih oleh Dewan Pengawas melalui pintu “Harus Ijin” tidakkah itu sama artinya dengan membubarkan KPK?

Revisi UU KPK kalau dilihat dari rancangan yang sudah diserahkan dewan perwakilan rakyat kepada presiden, terutama pasal 37 terperinci memperlemah kewenangan KPK. Juga proses pemilihan calon pimpinan KPK yang sarat kontroversi. Inilah yang mendapat kritik keras dari para akademisi. Diantara yang tajam kritiknya yakni Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK. Selain Abdullah Hehamahua, ada juga Zaenal Arifin Mochtar dan Rimawan Pradiptyo. Para dosen dari kampus UGM ini mencoba menawarkan evaluasi, analisis dan protes yang keras kepada dewan perwakilan rakyat dan pemerintah. Tapi, tak kurang dari 10 orang dari mereka mendapat teror. Dari mana? Ya cari sendirilah.

Bagi presiden Jokowi, rencana revisi UU KPK ini akan jadi taruhan integritasnya. Jika Jokowi tolak, maka ruang untuk kembalinya iktikad rakyat terhadap presiden hasil pemilu kontroversial ini masih terbuka. Tapi sebaliknya, kalau Jokowi setuju, maka iktikad itu akan semakin betul-betul menipis. Bahkan Jokowi akan dituduh sebagai presiden yang bertanggung jawab atas ajal KPK. Kalau ini benar-benar terjadi, rakyat hanya bisa berucap: selamat jalan KPK. Semoga jiwamu hening di alam baka.

Penulis: Tony Rosyid
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+