Perjuangan Nadiem Makarim Yaitu Perjuangan Kultur Start Up Melawan Kultur Birokrasi

Ridhmedia
28/10/19, 12:46 WIB

[RIDHMEDIA]  Minggu-minggu ini, hampir pasti Nadiem Makarim mengalami apa yang lazim disebut dengan “culture shock”, sebuah gegar budaya sebab seseorang menggelar perpindahan secara dramatis ke sebuah dunia yang sama sekali berbeda kultur serta corak perilakunya.

Ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama: Nadiem sukses injeksikan kultur kerja start up yang agile, innovative serta cekatan.

Kemungkinan kedua: Nadiem tidak berdaya digilas kultur birokrasi yang super kompleks serta penuh belantara regulasi yang mbulet.

Dunia pendidikan yang berkualitas tidak pelak merupakan elemen fundamental bagi kemajuan sebuah bangsa.

Namun dalam kompetisi daya saing kualitas pendidikan, peringkat Indonesia secara global masih berada pada level yang termehek-mehek.

Di dunia ada sebuah gold standard buat mengukur kemajuan kualitas pendidikan anak-anak sekolah. Namanya PISA atau singkatan dari Programme for International Student Assessment (PISA) – sebuah peringkat resmi yang diusung oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

PISA ini mengukur level skor science, math serta reading comprehension dari anak-anak sekolah di seluruh dunia.

Dalam rilis peringkat PISA yang terakhir, peringkat Indonesia cuma ada di nomer 62 dari 72 negara. jika dalam ujian sekolah bisa menjadi sama dengan nilai E, serta tidak lulus.

Peringkat Indonesia kalah jauuhhh sekali dengan Singapore yang berada pada peringkat 1 dunia; atau dengan Vietnam (peringkat 22), Malaysia (peringkat 44) serta Thailand (peringkat 55).

Tragisnya yakni peringkat buruk itu terjadi ketika anggaran pendidikan Indonesia naik berlipat dibanding lima tahun lalu. Anggaran pendidikan Indonesia ketika ini yakni Rp 495 TRILIUN – sebuah angka yang super masif.

Dengan kata lain, dana gila-gilaan hampir 500 triliun itu nyaris sama sekali tidak berdampak efektif bagi peningkatan kualitas pendidikan di tanah air.

Ibaratnya, sudah diberi dana masif yang harusnya cukup buat cetak SDM sekaliber Lionel Messi atau CR7, ternyata hasilnya cuma pemain sekelas Atep atau Andik Virmansyah 🙂 🙂

Paradoks pemborosan dana hingga hampir 500 triliun itulah salah satu tantangan paling berat yang bakal dihadapi oleh Nadiem Makarim selaku CEO Kemendikbud yang baru.

Lalu apa yang selayaknya dilakukan oleh Nadiem dengan kultur start up-nya? Metodologi start up apa yang layak diinjeksikan buat mengatasi tantangan birokrasi dalam dunia pendidikan?

Berikut dua tahap krusial yang kiranya bisa dijalankan.

Start Up Step #1: Tetapkan KPI yang Terukur serta High Impact

Yang mengejutkan dari angggaran nyaris Rp 500 triliun buat bidang pendidikan adalah, 60% habis buat gaji serta tunjangan guru. Artinya hampir Rp 300 triliun yakni buat gaji serta tunjangan.

Gaji guru memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Seorang guru sekarang bisa mendapatkan gaji Rp 10 juta hingga Rp 15 juta/bulan di mermacam kota di tanah air.

Namun ternyata peningkatan gaji yang cukup signifikan itu tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kualitas murid-muridnya. Terbukti dengan peringkat PISA yang stagnan serta termehek-mehek.

Mengapa begitu? Sebab selama ini memang tidak ada KPI (key performance indicators) yang terukur serta high impact yang dikaitkan dengan tunjangan/bonus guru.

Tunjangan cuma dikaitkan dengan sertifikasi kompetensi (yang acap cuma formalitas); namun TIDAK DIKAITKAN dengan indikator yang jauh lebih powerful: yakni kemajuan kualitas kepandaian murid-murid peserta sekolah.

Itu ibarat seorang salesman yang selalu mendapatkan bonus, tanpa melihat apakah Dia mencapai target pejualan atau tidak. Sebuah kondisi yang sungguh absurd jika dilihat dalam kacamata “high performance organization”.

Maka Nadiem perlu lekas menerapkan prinsip yang sangat lazim dalam dunia start up business ini: yakni tetapkan target KPI yang terukur, serta jika tidak tercapai, maka tunjangan guru tidak bakal diberikan.

KPI tentang skor kualitas murid perlu mendapatkan bobot yang paling besar, sebab inilah esensi pendidikan.

Indeks atau skor kualitas murid perlu disusun secara independen serta terukur – serta sebaiknya mengacu pada standar dunia yang dipakai oleh PISA/OECD.

Cukup aneh jika selama ini para guru tidak punya KPI peningkatan skor kualitas murid-murid. Tanpa KPI ini, maka berapapun gaji guru dinaikkan, maka tidak bakal berdampak nyata bagi peningkatan level kualitas murid. Dan anggaran ratusan riliun bisa hilang sia-sia.

Start Up Step #2: Scale Up Kesuksesan Sekolah serta Guru SEJATI

Para pakar tentang change management menulis: ketika hendak menggelar transformasi yang sukses, sebaiknya anda juga fokus pada sukses yang sudah ada. Lihatlah bright spots, serta kemudian duplikasi success spots ini ke tempat lain.

Maksudnya begini. Dari ribuan sekolah serta jutaan guru yang ada di tanah air, pasti ada di antara mereka yang sudah terbukti sukses menaikkan skor kualitas para muridnya secara konsisten.

Nadiem bisa memanfaatkan keahlian Dia menggunakan kekuatan big data: lacak serta cari sekolah-sekolah atau guru yang sukses membuat muridnya kian pintar. Maksudnya murid yang tadinya kurang pintar setelah sekolah di tempat tersebut, atau setelah diajari guru tersebut, kemudian menjadi pintar.

Jadi sekolah atau guru yang hebat itu yakni yang seperti itu. Murid yang dulunya kurang cerdas lalu dibikin cerdas. Dari murid bodoh ditransformasi menjadi murid pintar.

Jadi sekolah hebat itu bukan sekolah-sekolah favorit yang selalu populer itu. Sekolah favorit ini ilusi. Kenapa? Sebab hampir 100% murid sekolah favorit ini dulunya memang sudah pintar. Telah pintar dari sononya. Jadi muridnya pada menjadi pintar BUKAN sebab sekolah serta gurunya. Maka kehebatan sekolah favorit itu yakni kehebatan fatamorgana.

Sekolah serta guru dengan KEHEBATAN SEJATI yakni yang murid-muridnya waktu masuk yakni barisan murid dengan nilai NEM alakadar-nya, namun kemudian pelan-pelan bisa diubah menjadi murid yang pintar. Ini baru sekolah serta gurunya yang hebat.

Nah lewat kekuatan big data, Nadiem bisa mengidentifikasi tipe sekolah serta guru yang seperti itu. Merekalah para “bright spots”. Merekalah sekolah serta guru sejati: yakni yang bisa dengan konsisten mengubah murid agak bodo atau murid kualitas standar menjadi murid yang pintar dengan kualitas istimewa.

Temukan sekolah serta guru dengan tipe seperti itu. Dengan bantuan teknologi serta big data, harusnya Nadiem bisa menemukannya.

Tugas Dia berikutnya adalah: pelajari apa yang membuat sekolah serta guru ini bisa meraih sukses sejati seperti itu? Apa key success factors-nya?

Setelah ketemu, maka tahap berikutnya yakni SCALE UP guru serta sekolah sejati ini.

Scale up yakni istilah dalam dunia start up. Artinya yakni temukan kesuksesan kecil yang sudah terbukti berhasil. Lalu scale up atau kembangkan sukses ini ke skala yang lebih luas serta menyebar ke semua tempat.

Jadi ringkasnya: lewat kekuatan big data, Nadiem perlu lekas menemukan “sekolah serta guru yang meraih sukses sejati” (bukan sekolah favorit fatamorgana), lalu pelajari pola suksesnya.

Lalu scale up sekolah serta guru sejati ini ke seluruh wilayah di Indonesia. Tularkan sukses sekolah serta guru sejati itu kepada ribuan sekolah serta jutaan guru lainnya.

Proses scale up kesuksesan bukan hal yang mudah. Namun Nadiem sudah terbiasa menggelar proses scaling up dalam dunia start up. Harapannya Dia juga bisa sukses mereplikasi kehebatan sejati sekolah serta guru yang Dia temukan; ke semua tempat di seluruh Nusantara.

DEMIKIANLAH dua tahap krusial yang barangkali bisa membantu proses transformasi dunia pendidikan di tanah air.

Selamat bekerja pak Nadiem. Selamat berjuang demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik.[]

*Sumber: strategimanajemen.net

Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+