Radikalisme Serta Kegaduhan Negeri Ini

Ridhmedia
31/10/19, 22:05 WIB

Oleh Tony Rosyid

Di Era Jokowi, terutama setelah kasus penistaan agama oleh Ahok, situasi sosial serta politik begitu gaduh. Rakyat terbelah. Bahkan hampir merembet ke isu SARA. Padahal, urusannya cuma bagaimana hukum itu ditegakkan. Terkesan berlarut-larut karna menyangkut sosok gubernur yang diback up kekuatan besar. Kasus Ahok akhirnya memancing massa.

Untungnya, bangsa ini sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi isu SARA. Bahkan sejak bangsa ini mulai berdiri, isu SARA sudah dapat diatasi. Berkat kematangan para tokoh pendiri bangsa ketika itu, rekonsilasi bisa diwujudkan dalam bentuk ideologi bersama yang bernama Pancasila. Pancasila mengakomodir semua mengerti serta keyakinan anak bangsa di seluruh tanah air. 

Pengalaman berharga inilah yang memberi kesadaran ideologis serta kematangan politik bangsa ini buat menghadapi mermacam persoalan SARA. Kendati ada pihak-pihak yang terus memancing, terutama buat kepentingan politik serta kekuasaan.

Kegaduhan rakyat memuncak pada Pilpres 2019. Dua Paslon yaitu Jokowi serta Prabowo membelah dukungan sedemikian tajam. Jokowi punya semua fasilitas kekuasaan,  Prabowo punya pendukung militan. Perseteruan tidak Saja terjadi di media serta medsos, bahkan sebagian dalam bentuk persekusi. Ironis! Lalu, apa akar masalahnya? 

Ideologi? Tidak. Semua anak bangsa sepakat kalau Pancasila yaitu ideologi bersama. Perdebatan soal ini sudah diselesaikan oleh founding fathers kita. Karena agama? Juga tidak. Di Indonesia, kerukunan umat beragama tidak diragukan. Semua pemeluk agama hidup damai di negeri tersubur di dunia ini.

Lalu apa faktornya? Pertama, karna narasi politik. Kalimat seperti “aku Pancasila”, “aku NKRI”, “Islam radikal”, “awas ISIS”, “terpapar khilafah”, yaitu narasi provokatif yang terus dibiarkan membelah rakyat. Ada yang curiga kalau narasi-narasi semacam itu sengaja dirawat serta digaungkan supaya rakyat tidak fokus ke persoalan bangsa yang sesungguhnya, seperti ekonomi serta korupsi.  Nah loh. 

Kecurigaan publik muncul karna sudah bosan serta “muak” mendengar narasi-narasi tidak berkelas semacam itu. Wajar jika mereka meresponnya secara negatif, karna memang ada kesan kuat isu itu terus digoreng serta dibesar-besarkan.

Soal terorisme serta Islam radikal itu memang nyata adanya. Tidak dipungkiri! Tapi toh tidak besar serta berada selalu dalam pantaun serta pengawasan pihak keamanan. Gak harus dibawa-bawa ke ruang politik serta terkesan diimajinasikan wow. Apalagi jika stigma itu digunakan buat menyasar aktifis-tokoh yang kritis terhadap -atau berbeda politik dengan- penguasa. Ini bakal kian menambah kegaduhan.

Sederhana kok. Buat konsep definitif serta pasti siapa radikalis itu. Ciri-cirinya seperti apa. Misal, siapa Saja yang menggunakan ayat-ayat agama, ideologi serta pasal-pasal buat melawan aturan atau undang-undang yang berlaku di negeri ini, maka ia yaitu radikalis. Atau barang siapa yang menggunakan ayat-ayat agama, ideologi serta pasal-pasal buat menyerang secara tidak sah terhadap orang/kelompok yang berbeda keyakinan, pendapat atau dukungan politik, maka ia yaitu radikalis. Jadi jelas definisinya. Jelas juga batasan-batasannya. Tuangkan dalam undang-undang.  Tidak digoreng sana-sini dalam opini publik yang gak jelas.

Ngono yo ngono, tapi ojo ngono, kata orang Jawa. Jangan keterlaluan membodohi rakyat. Kalau terlalu banyak, mual juga. Rakyat juga sudah lelah dibuat gaduh oleh sikap sejumlah elite yang sibuk cari muka. Kerja ngapa, dari pada ngoceh kesana kemari yang gak jelas, kata orang Betawi.

Kedua, ketidakadilan. kalau tegaknya hukum berlaku buat semua pihak, tanpa membedakan mana mitra serta mana lawan, mana pendukung serta mana bukan pendukung, maka rakyat bakal merasa nyaman. Kepastian serta keadilan hukum bakal menyatukan pihak-pihak yang terbelah. Semua bakal merasa aman serta nyaman berada dalam satu atap kepastian serta perlindungan hukum. Jangan seperti belah bambu, satu digencet, satunya lagi diangkat. Ya teriak. Digencet itu sakit pak. Terlalu sering digencet, mereka bakal cari momentum yang tepat buat mengadakan perlawanan. Itu cuma soal waktu saja. Dan ini bahaya! 

Sebaliknya, potret hukum yang bermata dua, timpang serta berat sebelah, bakal melahirkan kian banyak kekecewaan. Kekecewaan ini lahir akibat kecemburuan terhadap mereka yang mendapatkan perlakuan khusus di mata hukum. Situasi seperti ini bakal terus melanggengkan rakyat dalam dua kelompok yang terbelah, yaitu kelompok yang kebal hukum serta kelompok yang merasa dikejar-kejar oleh aparat hukum. Dan nampaknya, ini yang paling besar kontribusinya terhadap keterbelahan serta situasi kegaduhan itu.

Ketiga, soal integritas serta kapasitas pemerintah. Soal revisi UU KPK misalnya. Rakyat menganggap pemerintah sudah kehilangan komitmen terkait pemberantasan korupsi. KPK fi sakaratul maut, kata Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK. Gimana gak mati, kewenangannya diambil alih oleh Dewan Pengawas, termasuk penyadapan. Pegawainya di-PNS-kan serta setiap kasus bisa di-SP3-kan. 

Kira-kira nanti kasus Bank Century, BLBI, e-KTP, Meikarta serta Buku Merah dapat SP3 gak ya? Tanya temen saya. Ya, kita tunggu sama-sama, jawabku agak gak bergairah. Kok gak bergairah? KPK mati, gimana hendak bergairah?

Kinerja pemerintah ketika ini menuai banyak kritik. tidak cuma soal infrastruktur yang terlalu banyak menyertakan hutang serta ada temuan BPK, ekonomi juga memburuk. Harga mermacam kebutuhan naik, harga beli rendah, serta kian sulitnya mencari lapangan kerja. Banyak pabrik tutup. Ini langsung menyentuh kehidupan riil yang dirasakan rakyat. Gak harus teriak kedaulatan pangan serta janji tidak bakal impor kalau kemudian rakyat hidup dalam keadaan sengsara.

Di sisi lain rakyat melihat gelombang pekerja Asing masuk ke Indonesia dengan gaji jauh lebih besar. Ini tentu kian membuat rakyat gelisah serta merasa terpinggirkan. Lebih baik ini yang diprioritaskan dari pada teriak-teriak radikal.

kalau tiga hal di atas, yaitu narasi permusuhan ditinggalkan, hukum ditegakkan (law enforcement) serta kesulitan ekonomi diatasi, maka dengan sendirinya tensi kegaduhan bakal turun. Masyarakat juga sudah lelah gaduh terus. 

Tugas siapa ini? Ya penguasa! Di tangan penguasa nasib rakyat ditentukan. Damai atau gaduh, bakal sangat bergantung tidak Saja kepada pidato serta janji presiden, tapi lebih kepada niat, integritas serta kemampuan pemegang kekuasaan mengatasi semua persoalan bangsa. Jangan salahkan siapa-siapa, karna penguasa dipilih serta digaji buat mengatasi ini semua. (*)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+