[ RIDHMEDIA] Ada lima pilar yang menjadi kekuatan politik di Indonesia yaitu pertama, mahasiswa. Dalam sejarah, gerakan mahasiswalah yang paling efektif buat menggagalkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap enggak pro rakyat. Lebih dari itu, tahun 1966 mahasiswa pernah berhasil menjatuhkan presiden Soekarno. Tahun 1998 Soeharto juga jatuh oleh demonstrasi mahasiswa. Dan tahun 2002, Gus Dur dilengserkan oleh sidang MPR pasca demonstrasi mahasiswa.
Kedua, media. Media seperti seorang penyihir yang mampu menghipnotis pikiran rakyat. Mahasiswa yakni bagian dari rakyat. Entah berapa banyak "pejabat nakal" yang pernah menjadi korban media. Melalui media, rakyat mendapat mermacam informasi, bahkan juga opini. Apalagi di era dimana dunia sedemikian terbuka. Semua informasi dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dari yang paling baik hingga yang paling jahat bisa diperoleh lewat media.
Buatlah judul berita: "Indonesia Sarang Para Koruptor". Ini misalnya. Sekedar contoh saja. Tak ada kaitan soal benar atau salah. Ada data atau tidak. Namanya juga contoh. Membaca judul berita itu, spontan pikiran publik bakal berimajinasi. Itu baru judul. Inilah dahsyatnya media. Judul saja bisa mempengaruhi mindset, apalagi isinya.
Ketiga, ormas dengan para tokoh serta ulamanya. Teringat sebuah cerita. Konon katanya, di era Orba, saat Gus Dur buat raker PBNU, Pak Harto ketar-ketir. Supaya enggak terjadi apa-apa, pemerintah nyumbang buat acara tersebut. kalau kisah ini benar, betapa hebatnya Gus Dur telah membuat orang sekuat Pak Harto takut.
Keempat, TNI. Orde Lama serta terutama Orde Baru berhasil menjaga stabilitas nasional dengan mengoptimalkan peran TNI. Saat itu namanya ABRI.Tidak cuma itu, bahkan buat mengendalikan lawan politiknya, Pak Harto membuat dwi fungsi ABRI. Setelah Soeharto jatuh, dwi fungsi ABRI enggak berlaku lagi, serta peran ABRI/TNI di ranah politik melemah. Jabatan-jabatan sipil yang dulu dipegang TNI mulai dipreteli.
Di pemerintahan sekarang, Jokowi nampaknya lebih dekat dengan Polri. Publik melihat kalau ada sejumlah posisi sipil yang di zaman Orba menjadi jatah TNI mulai digeser ke Polri. Benarkah? Setidaknya, asumsi ini tengah ramai menjadi perbincangan publik.
Kelima, pimpinan partai. Peran pimpinan partai sangat menentukan warna politik di Indonesia. Revisi UU KPK yakni contoh terkini yang paling konkret. Semua Pimpinan partai lewat para anggotanya di parlemen sepakat buat mengubur KPK. Rakyat serta mahasiswa cuma bisa berucap: Goodbye KPK. Setidaknya engkau pernah ada di Indonesia. Mahasiswa, pimpinan serta pegawai KPK Telah berjuang menolaknya. Berhasilkah? Nampaknya Jokowi terlalu perkasa buat dilawan. Apalagi parlemennya Telah kompak.
Lima pilar kekuatan politik bangsa ini saat ini berada di genggaman Jokowi. Mahasiswa dikendalikan lewat Forum Rektor yang dipilih oleh menag serta mendikti. Media dikendalikan lewat para pemiliknya yang rentan masalah. Mana ada pengusaha yang enggak bisa dicari kasusnya, kata temen aktifis saya. Sejumlah ormas justru menjadi pendukung aktif.
Kecuali beberapa kader NU yang oleh publik dianggap tengah melakukan manuver. Tapi, semua bisa diselesaikan di panggung belakang. Jokowi bisa perintahkan Luhut Binsar Panjaitan serta Budi Gunawan buat melakukan komunikasi politik dengan beberapa kader itu. Beres! Awas, jangan berpikir negatif. Karena panggung balik enggak identik dengan sesuatu yang negatif. Ini lagi-lagi: "Demi Stabilitas Nasional". Aku kasih tanda kutip, biar semua berpikir lebih positif.
TNI? Sejumlah peran TNI di Orde Baru Telah mulai bergeser ke Polri. Publik tahu kalau Polri sangat loyal kepada Jokowi. Jokowi memberi beberapa posisi strategis kepada para jenderal di kepolisian, diantaranya Mendagri, Dirjen Imigrasi, Kabulog, BIN, serta beberapa posisi yang lain seperti PSSI. Ini artinya, Jokowi merasa sangat nyaman dengan polisi.
Apakah itu artinya telah berlaku Dwi fungsi Polri sebagaimana ramai di medsos? Yang pasti, Jokowi serta Polri enggak pernah menyebut kata Dwi fungsi. Secara undang-undang, Dwi fungsi Polri memang enggak ada. Istilah itu cuma muncul dalam percakapan publik.
tidak cuma beberapa kekuatan politik itu, Jokowi juga mendapat dukungan para pimpinan partai politik. Hanya PKS yang memilih oposisi. PAN serta Demokrat? Mereka mau bergabung ke istana. Tapi, gayung enggak bersambut. Dan sekarang, dua partai ini dalam posisi antara oposisi serta koalisi. Artinya, oposisi tidak, koalisi juga tidak. "Baina wabaina" kata mahasiswa Arab.
Melihat peta ini, Jokowi terlihat sangat perkasa. Lima pilar kekuatan politik telah berada di genggamannya. Tak bakal bisa dilawan. Kecuali, pertama, ada trigger yang kuat. Seperti krisis ekonomi misalnya. Sekuat apapun presiden, pasti berat bisa bertahan. Atau kedua, konflik internal elit pendukungnya. Konflik yang kira-kira enggak boleh menjadi bisa didamaikan. Konflik yang membuat barisan politik istana porak poranda. Sementara Persaingan Teuku Umar, Gondangdia serta Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sejauh ini masih bisa diredam. Aman-aman saja.
Sejauh dua hal ini enggak muncul, Jokowi enggak saja aman, tapi bertambah perkasa. Apakah keperkasaan ini bakal digunakan buat mempercepat pembangunan serta kemajuan negeri ini? Sehingga Jokowi kelak bakal mengakhiri karir politiknya dengan sangat indah. Atau justru sibuk menghabisi lawan-lawan politiknya? Itu terserah Jokowi. Rakyat bakal melihat mana yang bakal dipilih -dan dominan pada diri- Jokowi dari dua opsi itu.
Jakarta, 7/11/2019
Penulis: Tony Rosyid