[RIDHMEDIA] Media asal Inggris, The Guardian, menulis editorial atau pandangannya soal periode kedua Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Dalam editorial yang diunggah pada Minggu 3 November 2019 yang berjudul "The Guardian view on Indonesia’s president: after the hope" itu, The Guardian berpendapat Jokowi tidak bisa diandalkan buat membela hak-hak dasar warganya.
The Guardian memulai tulisannya soal bagaimana Jokowi menjelaskan periode kedua serta terakhirnya bakal dijalani tanpa beban.
Namun pertanyaannya, bagaimana kebebasan Jokowi buat memerintah ini bakal terlaksana?
“Lima tahun lalu dia diketahui secara luas sebaga Obama-nya Indonesia. Naiknya Jokowi dilihat selaku tahap maju bagi negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia sekaligus negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,” bunyi editorial The Guardian.
Kemenangan Indonesia atas era otoritarian Orde Baru dinilai penting selaku model demokrasi bagi Asia serta negara-negara muslim.
Latar balik Jokowi yang sederhana serta bebas dari kroni Orde Baru mengantarkannya selaku sosok yang dijagokan. dia berhasil meraih kursi gubernur DKI Jakarta, lalu presiden.
“Seperti Obama, dia membawa harapan di tengah politik yang rusak,” ujar redaksi The Guardian.
Di periode kedua, Jokowi mengusung slogan kampanye “Indonesia Maju”. Namun banyak pendukungnya melihat Indonesia justru tengah berjalan mundur.
Masalah mendesak seperti hak asasi manusia (HAM), toleransi beragama, serta kualitas demokrasi, dinilai malah menurun.
Walaupun tahap Jokowi membangun infrastruktur serta kesejahteraan sosial dipuji, ada kegagalan lain yang membuat Jokowi dikritik.
Di antaranya kegagalan menjegal korupsi serta kekerasan. Kemudian memberi lahan bagi kelompok Islam garis keras alih-alih menekan mereka.
Jokowi dinilai sadar soal masalah ini selaku penghambat kebijakan ekonominya yang dipuji.
“Wakil Presiden yang baru, Ma’ruf Amin, yakni ulama Islam konservatif yang kuat. dia punya sejarah intoleransi terhadap penganut agama minoritas serta kelompok LGBT,” tulis The Guardian.
The Guardian kemudian membahas bagaimana Jokowi menuai kemarahan setelah menunjuk lawannya, Prabowo Subianto, selaku menteri pertahanan.
Padahal, mantan jenderal yang juga mantan menantu Soeharto itu diduga terlibat dalam penculikan serta kekerasan terhadap aktivis 1998.
Penunjukkan Prabowo oleh Jokowi dinilai sengaja serta disadari. Sebab pada 2016 lalu, Jokowi juga melakukan tahap yang sama ketika menunjuk Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, serta HAM.
Wiranto juga dituduh melakukan kejahatan HAM oleh tribunal atau pengadilan yang didukung Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Iklim politik Indonesia yang selalu membutuhkan rekonsiliasi dengan lawan, kembali dipertanyakan. The Guardian menyayangakan kecilnya porsi oposisi di parlemen yang cuma seperempat.
“Penunjukan ini membuat aktivis serta warga Indonesia ketakutan. Mereka juga khawatir soal arah kebijakan negara. Paling mendasar, warga bertanya-tanya buat apa dilaksanakan pemilu,” tulis The Guardian.
tidak cuma itu, The Guardian juga menyoroti keputusan Jokowi mempertahankan Menteri Lingkungan Hidup serta Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Menteri Hukum serta Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Pasalnya, aksi unjuk rasa telah berlangsung selama beberapa pekan buat memprotes kebakaran hutan serta RKUHP serta sejumlah undang-undang yang ditentang keras oleh sebagian warga.
Terakhir, The Guardian mengingatkan kalau memang harapan tidak ada yang sempurna. Presiden tidak bisa menyenangkan semua warganya.
“Tapi kini semakin jelas kalau ia tidak bisa diandalkan buat membela hak-hak dasar warganya. Jelas juga kalau warga tidak seharusnya berharap seorang politikus bisa menjadi penyelamat,” tulis mereka.
“Tekanan buat reformasi serta oposisi yang sebenar-benarnya cuma bisa datang dari luar parlemen. Masyarakat sipil Indonesia butuh semua pertolongan yang ada.”
Sumber: Kompas