Oleh: Arief Gunawan, RMOL.ID
SUKARNO pemimpin yang menjaga fatsun. Waktu menyampaikan pidato Tahun Vivere Pericoloso (Tahun Nyerempet-Nyerempet Bahaya) di depan para kiai Nahdlatul Ulama, pada bagian akhir ia berkata:
“Saya tidak berani Vivere Pericoloso kalau terhadap Allah. Saya tidak kuasa melawan masyarakat yang berdoa. Yang mengetuk pintu langit memohon kepada Sang Pencipta. Saya akhiri pidato ini, karena sudah berkumandang adzan. Karena saya hanya takut kepada Allah...”
Vivere Pericoloso adalah salah satu pidato tahun-tahun kritis Sukarno yang akhirnya jatuh tiada terselamatkan oleh karena krisis ekonomi & politik yang memang berat. Menteri-menteri ekonominya yang umumnya orang politik juga tidak punya kemampuan mengatasi situasi.
Dipandang dari segenap jurusan tahun 2020 yang akan segera datang juga tahun multikrisis. Awan gelap yang mengandung ancaman masih akan jadi pemandangan suram yang membuat wong cilik murung, karena kesulitan beban hidup, seperti naiknya iuran BPJS di tengah pelayanan yang buruk, melonjaknya TDL, sempitnya lapangan kerja, kenaikan harga BBM, mahalnya harga-harga kebutuhan, dan banyak lagi.
Menteri-menteri bidang ekonomi hari ini, seperti halnya Menteri Keuangan Sri Mulyana, sudah hilang akal, tidak punya kemampuan berpikir dan mencari solusi secara out of the box.
Beban berat ekonomi di pundak rakyat ini masih digelayuti pula dengan soal-soal ketidakadilan di bidang hukum. Makin meriahnya korupsi dan pencurian uang negara, seperti skandal Jiwasraya yang lebih besar dari skandal Century. Ketidakadilan hukum yang sangat melukai hati rakyat ini berkelindan pula dengan kondisi masyarakat yang terbelah akibat berbagai isu pemecahbelah bangsa dan agama yang dihembus-hembuskan oleh para buzzer hasil ternak “para kakak pembina” di lingkaran kekuasaan.
Di jurusan lain orang-orang yang merupakan bagian dari masalah malah diharapkan jadi solusi. Integritas, kompetensi, track record mereka di masa lalu yang buruk akan semakin mempersulit keadaan untuk mendapatkan jalan keluar dari situasi multikrisis.
Di masa Sukarno umumnya rakyat hidup susah tetapi tidak merasa ditipu oleh para elit kekuasaan seperti hari ini, yang korupsinya kian canggih dan gila-gilaan. Nepotismenya tiada malu, sehingga merasa “semakin rakus akan semakin berwibawa”. Semakin arogan akan semakin berkuasa.
Kepekaan sosial tidak ada. Dekadensi moral ditutupi jargon kosong belaka.
Kenapa orang masih mau membunyikan terompet dan membakar petasan di malam pergantian tahun, jika yang bakal kita hadapi tahun depan tak lain ialah Tahun Vivere Pericoloso, tahun remuk redam yang akan meluluhlantakkan bangsa, karena ketiadaan pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas. Tahun bertambahnya kerusakan perekonomian secara radikal?
Tahun serba menyerempet bahaya, yang dihadapi dengan planga-plongo belaka.
SUKARNO pemimpin yang menjaga fatsun. Waktu menyampaikan pidato Tahun Vivere Pericoloso (Tahun Nyerempet-Nyerempet Bahaya) di depan para kiai Nahdlatul Ulama, pada bagian akhir ia berkata:
“Saya tidak berani Vivere Pericoloso kalau terhadap Allah. Saya tidak kuasa melawan masyarakat yang berdoa. Yang mengetuk pintu langit memohon kepada Sang Pencipta. Saya akhiri pidato ini, karena sudah berkumandang adzan. Karena saya hanya takut kepada Allah...”
Vivere Pericoloso adalah salah satu pidato tahun-tahun kritis Sukarno yang akhirnya jatuh tiada terselamatkan oleh karena krisis ekonomi & politik yang memang berat. Menteri-menteri ekonominya yang umumnya orang politik juga tidak punya kemampuan mengatasi situasi.
Dipandang dari segenap jurusan tahun 2020 yang akan segera datang juga tahun multikrisis. Awan gelap yang mengandung ancaman masih akan jadi pemandangan suram yang membuat wong cilik murung, karena kesulitan beban hidup, seperti naiknya iuran BPJS di tengah pelayanan yang buruk, melonjaknya TDL, sempitnya lapangan kerja, kenaikan harga BBM, mahalnya harga-harga kebutuhan, dan banyak lagi.
Menteri-menteri bidang ekonomi hari ini, seperti halnya Menteri Keuangan Sri Mulyana, sudah hilang akal, tidak punya kemampuan berpikir dan mencari solusi secara out of the box.
Beban berat ekonomi di pundak rakyat ini masih digelayuti pula dengan soal-soal ketidakadilan di bidang hukum. Makin meriahnya korupsi dan pencurian uang negara, seperti skandal Jiwasraya yang lebih besar dari skandal Century. Ketidakadilan hukum yang sangat melukai hati rakyat ini berkelindan pula dengan kondisi masyarakat yang terbelah akibat berbagai isu pemecahbelah bangsa dan agama yang dihembus-hembuskan oleh para buzzer hasil ternak “para kakak pembina” di lingkaran kekuasaan.
Di jurusan lain orang-orang yang merupakan bagian dari masalah malah diharapkan jadi solusi. Integritas, kompetensi, track record mereka di masa lalu yang buruk akan semakin mempersulit keadaan untuk mendapatkan jalan keluar dari situasi multikrisis.
Di masa Sukarno umumnya rakyat hidup susah tetapi tidak merasa ditipu oleh para elit kekuasaan seperti hari ini, yang korupsinya kian canggih dan gila-gilaan. Nepotismenya tiada malu, sehingga merasa “semakin rakus akan semakin berwibawa”. Semakin arogan akan semakin berkuasa.
Kepekaan sosial tidak ada. Dekadensi moral ditutupi jargon kosong belaka.
Kenapa orang masih mau membunyikan terompet dan membakar petasan di malam pergantian tahun, jika yang bakal kita hadapi tahun depan tak lain ialah Tahun Vivere Pericoloso, tahun remuk redam yang akan meluluhlantakkan bangsa, karena ketiadaan pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas. Tahun bertambahnya kerusakan perekonomian secara radikal?
Tahun serba menyerempet bahaya, yang dihadapi dengan planga-plongo belaka.