Alumni 212, Setelah Reuni Lantas Apa?

Ridhmedia
03/12/19, 10:44 WIB

Oleh Hersubeno Arief 

Untuk ketigakalinya alumni 212 sukses menggelar reuni. Di selenggarakan pada hari kerja, Senin 2 Desember 2019, tak menghalangi massa untuk datang. 

Mereka datang dari delapan penjuru mata angin, memadati lapangan Monas, Jakarta.

Tidak hanya berasal dari kawasan Jabodetabek, massa juga datang dari seluruh Indonesia. Bahkan ada yang datang dari manca negara, termasuk AS dan Kanada.

Sayangnya —sesuai namanya— ada tanda-tanda kegiatan kolosal itu terjebak pada romantisme dan hanya menjadi peristiwa sentimental. Kumpul-kumpul. Kangen-kangenan. Atau paling banter melampiaskan kemarahan bersama.

Setelah itu massa kembali ke daerah masing-masing. Kembali dalam rutinitas sehari-hari, sambil menunggu reuni tahun berikutnya. 

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, reuni berarti pertemuan kembali (bekas teman sekolah, seperjuangan dan lain sebagainya) setelah berpisah cukup lama.

Tidak ada agenda kerja besar yang terencana. Mimpi memberdayakan ekonomi umat. Membangun kekuatan politik yang solid, menguap begitu saja.

Inilah ironi umat Islam Indonesia. Besar secara statistik, namun gagal melakukan kapitalisasi secara ekonomi dan politik. Mayoritas tetapi marjinal. Kalah segalanya dari kelompok minoritas.

Belajar dari minoritas

Dua perhelatan besar politik di Indonesia, yakni Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 seharusnya membuka mata umat Islam.

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik. 

Pertama, kelompok minoritas non muslim/etnis Cina jumlahnya kecil tetapi mereka solid. Sementara umat Islam,  besar dalam jumlah, tapi terpecah belah.

Pada Pilkada DKI 2017 minoritas non muslim/etnis Cina suara mereka solid mendukung pasangan Ahok/Djarot. Sementara umat Islam suaranya terpecah ada yang memilih Anies/Sandi, dan sebagian memilih Ahok/Djarot.

Umat Islam diuntungkan oleh blunder Ahok yang melakukan penistaan agama. Jadi kemenangan di Jakarta tidak bisa dilihat sebagai sebuah gerakan terencana. Hanya reaksi sesaat.

Belajar dari kekalahan di Pilkada DKI, kelompok minoritas tak mau kecolongan lagi pada Pilpres 2019. Mereka kembali solid mendukung Jokowi. 

Sementara suara umat Islam kian terpecah belah. Ma’ruf Amin salah satu tokoh penting 212 direkrut menjadi cawapres Jokowi. 

Kedua, kelompok minoritas non muslim, terutama etnis Cina mempunyai agenda dan road map yang jelas.

Dimulai dari penguasaan ekonomi, perlahan tapi pasti mereka mulai merambah dunia politik.

Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, semula mereka hanya menciptakan proxy, baik di pemerintahan pusat, sampai ke daerah.

Rezim pemilu yang liberal memberi celah masuk bagi mereka untuk membajak suara rakyat. Siapa pemilik modal besar, dia lah yang akan menjadi pemenang.

Secara de facto penguasa Indonesia saat ini adalah para pemilik modal. Secara de jure mereka hanya tinggal menunggu waktu.

Pilkada DKI 2017 adalah eksperimen politik mereka dengan mengusung Ahok sebagai gubernur. 

Jika Ahok sukses terpilih sebagai gubernur DKI, maka hampir dipastikan pada Pilpres 2019 dia akan menjadi pendamping Jokowi sebagai cawapres. 

Pada gilirannya Ahok akan mulus melaju menjadi capres pada Pilpres 2024. Maka sempurnalah penguasaan Indonesia, dari sisi ekonomi dan politik.

Skenario itu gagal, karena Ahok tersandung penistaan agama. Namun tampaknya skenario itu tetap dijalankan, walaupun dengan modifikasi.

Presiden Jokowi mengangkat Ahok, seorang mantan narapidana menjadi Komisaris Utama Pertamina. Pengangkatan itu selain sebagai test case menjajaki hangatnya air, juga bisa dilihat sebagai political laundering.

Dosa politik Ahok Sudah dicuci bersih. Pada waktunya dia siap melakukan come back politik.

Pemilu 2019 juga menjadi pintu masuk eksperimen politik etnis Cina di parlemen. Pengusaha Harry Tanoe mendirikan Partai Perindo. Sementara sejumlah konglomerat diduga berada di balik pendirian PSI yang diketuai oleh Grace Natalie.

Dua partai ini gagal melewati ambang batas di parlemen. Tetapi PSI berhasil menempatkan beberapa kadernya di DPRD, termasuk DPRD DKI.

Gagal di parlemen, Perindo dan PSI mendapat keistimewaan di kabinet. 

Perindo mendapat jatah sebagai Wamen. Angela anak Harry Tanoe diangkat sebagai Wamen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 

Kader PSI Surya Tjandra mendapat jatah sebagai Wamen Agraria. PSI kabarnya juga akan kembali mendapat pos baru. Ketua Umum PSI Grace Natalie bersama sejumlah Ketum parpol pendukung Jokowi akan diangkat sebagai Wantimpres.
Nasib mereka berbeda dengan PKPI, apalagi dengan Partai Bulan Bintang (PBB). Partai yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra itu sampai saat ini belum dapat jatah apapun.

Ketiga, kerja membangun kekuatan ekonomi dan politik perlu ketekunan, kesabaran, keuletan, kelenturan, stamina yang panjang, dan kekompakan. Tidak bisa hanya hangat-hangat tai ayam.

Tak lama setelah aksi 212 (2016) muncul eforia untuk membangun kekuatan ekonomi umat. Beberapa Mart dibangun. Namun hanya beberapa waktu berselang, mulai ditinggalkan. Umat Islam kembali berbelanja di toko-toko dan Mart milik non muslim.

Membangun kekuatan ekonomi berarti juga mengubah mindset, pola pikir. Tidak cukup hanya semangat sesaat.

Para habaib, ustadz, da’i dapat berperan besar membangun mindset, sebagai seorang pebisnis.

Jangan hanya sibuk bicara surga dan neraka. Jangan hanya sibuk mengintrodusir ayat-ayat miskin, dan abai terhadap ayat-ayat kaya. Seolah dalam Islam menjadi kaya itu tercela.

Orang Islam cara berpikirnya banyak yang melompat. Ingin langsung masuk surga, tanpa melewati proses di dunia. Padahal dalam Islam ada satu doa yang sangat tekenal. Doa sapu jagat yang meminta kebaikan di dunia, dan kebaikan di akherat. 

Keempat, perlunya mempersiapkan kader dan tokoh. 

Dalam rezim pemilu langsung,  faktor ketokohan sangat penting. Umat Islam perlu menyiapkan secara serius tokoh-tokoh yang akan diajukan untuk berlaga, mulai dari level daerah sampai pusat.

Harus ada rekrutmen dan kaderisasi yang sangat serius.

Pilpres 2019 memberi pembelajaran sangat berharga, bahwa umat Islam hanya diperlakukan sebagai ganjal ban mobil atau alat pemukul. Dirangkul ketika diperlukan saja. Setelah itu kembali ditinggalkan. 

Baik kalangan nahdliyin di kubu Jokowi, maupun gerakan 212 di kubu Prabowo, nasibnya sama. Hanya diperlukan sebagai pemukul dan pendulang suara.

Kelima, para aktivis Islam perlu lebih lentur dan akomodatif. Ketegangan antara Islam dan nasionalis harus dikendurkan. Secara politis hal itu tidak menguntungkan.

Sejak Pemilu 1955 sampai Pemilu 2019 kita mendapati sebuah fakta perolehan suara partai-partai Islam terus menurun. Belum lagi adanya pembelahan antara Islam modernis dan tradisional.

Artinya secara statistik Islam mayoritas, namun secara idiologis minoritas. Perlu ijtihad baru dalam menerapkan strategi meraih kekuasaan melalui jalur parpol.

Fakta-fakta di atas seharusnya menjadikan umat Islam berani untuk memikirkan ulang, konsep dan  strateginya baik dalam bidang ekonomi maupun politik. end (*)
Komentar

Tampilkan

Terkini