RIDHMEDIA - Seorang pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menuduh China berusaha menghapuskan identitas Muslim warga Uighur dengan berusaha menghancurkan atau menutup tempat-tempat ibadah di Xinjiang, barat laut China.
Pejabat yang berbicara dengan syarat identitasnya dirahasiakan tersebut mengatakan, Partai Komunis China dalam upayanya menentang minoritas Uighur, telah menghapus simbol-simbol agama dari tempat-tempat ibadah, dan mengawasi mereka dengan ketat.
Sekitar 13 juta etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya diyakini tinggal di wilayah Xinjiang.
Pemerintah China sejak awal 2017 dituduh melakukan penindakan keras di wilayah itu dengan melakukan penahanan dan "pendidikan ulang" paksa terhadap orang-orang yang dituduh tidak setia kepada ideologi pemerintah.
Pemerintah AS dan organisasi-organisasi HAM menyatakan, sedikitnya satu juta warga Uighur ditahan di kamp-kamp di mana mereka terpapar penyiksaan dan kerja paksa. Di luar kamp-kamp itu, populasi minoritas dikontrol dengan ketat dan praktik-praktik keagamaan sederhana dilarang.
Menurut sebuah penyelidikan oleh Proyek HAM Uighur (UHRP), sebuah organisasi berbasis di Washington yang dibiayai oleh National Endowment for Democracy, antara 10.000 hingga 15.000 masjid dan situs-situs lain, yang jumlahnya mencapai 40 persen, dihancurkan di masing-masing kota, kabupaten, dan kota kecil di seluruh Xinjiang sejak akhir 2016.
Bahram Sintash, yang memimpin penyelidikan itu, mengatakan kepada VOA bahwa selain kesaksian dari warga setempat, gambar-gambar satelit juga mengukuhkan adanya "penghancuran sistematis" atas sedikitnya 140 tempat keagamaan warga Uighur.
Laporan UHRP itu mendapati, termasuk di antara tempat yang dihancurkan, adalah Masjid Keriya di perfektur Hotan, sebuah bangunan bersejarah besar sejak abad ke-13 dan tercatat sebagai situs budaya yang dilindungi.
"Meskipun China menghancurkan banyak masjid di Xinjiang, beberapa masjid tak disentuh di kota-kota besar termasuk Masjid Korla Jama. Saya mendapati, masjid itu adalah salah satu tujuan wisata "terpilih" di Kota Korla. Maka itu, pemerintah mempertahankan Masjid Korla Jama, bukan karena komunitas Uighur setempat dan keperluan ibadah mereka, tapi dipilih sebagai lokasi wisata yang seolah-olah memperlihatkan pemerintah melindungi Islam di kota itu serta membohongi masyarakat internasional dan reporter," papar Sintash.
VOA belum bisa mengukuhkan secara indenpenden laporan UHRP itu.
PBB dan kelompok-kelompok pengawas HAM di masa lalu selalu menyalahkan para pejabat China karena mencegah badan-badan independen memiliki akses ke wilayah itu untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM itu.
Inggris awal pekan ini mendesak China memberi para pengamat PBB akses segera dan tak terbatas ke wilayah itu, menyusul bocornya dokumen-dokumen rahasia pemerintah China yang menurut kelompok-kelompok HAM mengungkap bukti nyata bahwa mereka menggunakan kamp-kamp penahanan sebagai pusat pencucian otak. [iid]
Pejabat yang berbicara dengan syarat identitasnya dirahasiakan tersebut mengatakan, Partai Komunis China dalam upayanya menentang minoritas Uighur, telah menghapus simbol-simbol agama dari tempat-tempat ibadah, dan mengawasi mereka dengan ketat.
Sekitar 13 juta etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya diyakini tinggal di wilayah Xinjiang.
Pemerintah China sejak awal 2017 dituduh melakukan penindakan keras di wilayah itu dengan melakukan penahanan dan "pendidikan ulang" paksa terhadap orang-orang yang dituduh tidak setia kepada ideologi pemerintah.
Pemerintah AS dan organisasi-organisasi HAM menyatakan, sedikitnya satu juta warga Uighur ditahan di kamp-kamp di mana mereka terpapar penyiksaan dan kerja paksa. Di luar kamp-kamp itu, populasi minoritas dikontrol dengan ketat dan praktik-praktik keagamaan sederhana dilarang.
Menurut sebuah penyelidikan oleh Proyek HAM Uighur (UHRP), sebuah organisasi berbasis di Washington yang dibiayai oleh National Endowment for Democracy, antara 10.000 hingga 15.000 masjid dan situs-situs lain, yang jumlahnya mencapai 40 persen, dihancurkan di masing-masing kota, kabupaten, dan kota kecil di seluruh Xinjiang sejak akhir 2016.
Bahram Sintash, yang memimpin penyelidikan itu, mengatakan kepada VOA bahwa selain kesaksian dari warga setempat, gambar-gambar satelit juga mengukuhkan adanya "penghancuran sistematis" atas sedikitnya 140 tempat keagamaan warga Uighur.
Laporan UHRP itu mendapati, termasuk di antara tempat yang dihancurkan, adalah Masjid Keriya di perfektur Hotan, sebuah bangunan bersejarah besar sejak abad ke-13 dan tercatat sebagai situs budaya yang dilindungi.
"Meskipun China menghancurkan banyak masjid di Xinjiang, beberapa masjid tak disentuh di kota-kota besar termasuk Masjid Korla Jama. Saya mendapati, masjid itu adalah salah satu tujuan wisata "terpilih" di Kota Korla. Maka itu, pemerintah mempertahankan Masjid Korla Jama, bukan karena komunitas Uighur setempat dan keperluan ibadah mereka, tapi dipilih sebagai lokasi wisata yang seolah-olah memperlihatkan pemerintah melindungi Islam di kota itu serta membohongi masyarakat internasional dan reporter," papar Sintash.
VOA belum bisa mengukuhkan secara indenpenden laporan UHRP itu.
PBB dan kelompok-kelompok pengawas HAM di masa lalu selalu menyalahkan para pejabat China karena mencegah badan-badan independen memiliki akses ke wilayah itu untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM itu.
Inggris awal pekan ini mendesak China memberi para pengamat PBB akses segera dan tak terbatas ke wilayah itu, menyusul bocornya dokumen-dokumen rahasia pemerintah China yang menurut kelompok-kelompok HAM mengungkap bukti nyata bahwa mereka menggunakan kamp-kamp penahanan sebagai pusat pencucian otak. [iid]