Wajibkah Sipil Menghormati Bendera Merah Putih dengan Cara Militer?

Ridhmedia
09/12/19, 18:57 WIB

Oleh Indra Adil (Eksponen 77/78) 

Herlina membenarkan anaknya tidak mau mengikuti aturan itu. Tetapi, ia menegaskan, anaknya tetap menghormati proses upacara dengan cara berdiri tegap. "Jadi mereka respek gitu, ikut tegap," kata dia. 

Di atas adalah tanggapan salah satu ibu dari dua anak SMPN 21 Batam yang tidak bersedia menghormati bendera Merah Putih dengan mengangkat tangan dan menempelkan ujung jari jempol dan telunjuk kanannya di dahi sebelah kanan, layaknya seorang militer memberi hormat kepada bendera Merah Putih. Ketidak sediaan kedua anak tersebut ternyata mengancam keberadaan mereka di sekolah negeri bersangkutan. Mereka berdua diberi waktu dua minggu untuk menentukan nasib yakni melakukan aturan sekolah dengan mengangkat tangan kanan untuk menghornat kepada bendera negara Merah Putih atau mengundurkan diri dari sekolah. Pilihan yang tidak mudah, karena "menghormat bendera dengan cara tersebut" dalam iman mereka adalah sama dengan "penghormatan terhadap Tuhan" yang tidak boleh mereka lakukan, sementara mereka tidak bersedia mengundurkan diri dari sekolah negeri tersebut karena satu dan lain hal. 

Setelah tiga hari berita tersebut menjadi viral, penulis tak melihat ada reaksi pembelaan yang signifikan terhadap kedua murid SMPN 21 Batam tersebut. Berbeda bila kasus sejenis menimpa umat Katolik atau Protestan yang memiliki pengikut jutaan apalagi bila menimpa seorang muslim. Maka akan berduyun-duyunlah aktivis berkomentar dan pengacara ingin membela, karena ada unsur "opportunity" di dalamnya. Bisa karena akan banyak diliput media, atau bisa juga karena nama besar seseorang yang dibela (seperti kasus yang pernah menimpa tokoh nasional Rizal Ramli yang akan dibela oleh puluhan bahkan ratusan pengacara), atau karena mengharap pujian sebagai pembela yang lemah (tapi kuat).

Tetapi, mungkin karena kedua siswa SMPN ini termasuk orang yang lemah sekali, maka pembelaan pun menjadi lemah semangat. Mereka adalah jemaat dari Sekte Saksi Jehova, yang pengikutnya hanya berjumlah puluhan ribu orang di seluruh Indonesia. Tetapi perlu diketahui, sekte ini sudah menjadi agama resmi yang diakui pemerintah, artinya mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penganut agama resmi lainnya.

Penulis adalah anggota dari berbagai WAG aktivis yang bertebaran di medsos. Ketika penulis memposting berita tentang kasus yang menimpa kedua anak tersebut, dari salah satu grup WA ada anggota grup yang berkomentar : "Apakah tidak ada topik lain yang lebih pantas dimuat di grup orang-orang hebat ini?". Sungguh sebuah "kerendahan hati" tak terukur dari seorang aktivis yang mengaku pembela petani dan orang-orang terpinggirkan. Maka semakin terpuruklah nasib kedua bocah tersebut, tak ada yang berminat untuk mempermasalahkan hukuman tidak adil yang menimpa mereka berdua. Sudah tak ada yang membela kejujuran mereka dalam bersikap, malah kebijakan semena-mena tersebut diabaikan atau tak dianggap penting oleh orang-orang penting. Ke mana lagi mereka harus mengadu? 

Coba kita dengarkan pendapat Pengamat Pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, Bagas Pudjilaksono yang menilai aneh ada anak sekolah menengah pertama tidak mau hormat terhadap bendera Merah Putih saat upacara dengan alasan kepercayaan mengikuti Alkitab. 

"Aneh. Ya ngawur namanya tidak mau hormat bendera Merah Putih. Sudah tepat pihak sekolah mengeluarkan mereka," ujar Bagas dalam wawancara tertulis dengan Tagar, Rabu, 27 November 2019. Pakar pendidikan yang juga pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Yogyakarta, Darmaningtyas, juga mendukung pihak sekolah yang akan mengeluarkan dua pelajar tersebut. Ia mengatakan bendera Merah Putih itu adalah Pusaka Negara. 

Adab Menghormat Bendera Merah Putih

Penulis semasa kecil adalah anggota Pramuka, aktif sejak tingkat paling awal, Siaga sampai tingkat paling akhir Pembina. Sepengalaman penulis, saat itu dalam setiap upacara bendera yang kami lakukan setiap akan latihan (satu kali dalam 1 minggu), siapapun anggota yang menghadiri upacara yang menggunakan topi ataupun kopiah, harus mengangkat tangan kanannya memberi hormat ala militer kepada Sang Saka Merah Putih, tetapi bagi anggota Pramuka yang hadir tanpa memakai penutup kepala, tidak perlu melakukan penghormatan demikian, cukup berdiri tegak sebagai penghormatan. Hal ini, setelah penulis konfirmasikan kepada rekan-rekan yang masih hidup, mereka menyatakan hal yang sama. 

Tidak puas dengan informasi di atas, penulis mencoba menanyakan hal yang sama kepada seorang teman pensiunan Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Purnawirawan Pamujo, dan jawabannya seperti berikut di bawah ini : 

"Bentuk penghormatan itu selain mengangkat tangan seperti lazimnya tentara juga bisa menunduk sejenak untuk bukti hormati bendera. Di TNI keharusan hormat bendera, untuk Pegawai Sipil, tidak terlepas dari kebiasaan kantornya masing-masing. Kalau pembinaan se-hari-hari-nya mewajibkan mengangkat tangan, tentunya itu yang berlaku, sebaliknya kalau di kantornya memang tidak berlaku penghormatan dengan angkat tangan, cukup angguk kepala, itu pula yang berlaku." 

Dari dua keterangan di atas, baik secara militer maupun kepramukaan, terbuka peluang untuk melakukan penghormatan terhadap bendera Merah Putih dengan bersikap tegak dan menganggukkan kepala. Instansi mana lagi yang lebih representatif dari kedua lembaga di atas? 

Undang-Undang Tentang Sikap Terhadap Bendera Merah Putih Saat Penaikan dan Penurunan Bendera 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Indonesia, diterbitkan tanggal 26 Juni 1958 dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno, diundangkan pada tanggal 10 Juli 1958 oleh Menteri Kehakiman GA. Maengkom.  Pada BAB III, Tata Tertib Dalam Penggunaan, di pasal 20 disebutkan  :

Pada waktu upacara penaikan atau penurunan Bendera Kebangsaan, maka semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak, berdiam diri, sambil menghadapkan muka kepada bendera sampai upacara selesai.
Mereka yang berpakaian seragam dari sesuatu organisasi memberi hormat menurut cara yang telah ditentukan oleh organisasinya itu.
Mereka yang tidak berpakaian seragam, memberi hormat dengan meluruskan lengan kebawah dan melekatkan tapak tangan dengan jari-jari rapat pada paha, sedang semua jenis penutup kepala harus dibuka, kecuali kopiah, ikat kepala, sorban dan kudung atau topi-wanita yang dipakai menurut agama atau adat-kebiasaan

Kesimpulan 

Tak satu pun lembaga resmi militer yang mewajibkan pegawai sipil menghormati bendera Merah Putih dengan mengangkat tangan layaknya tentara, tetap ada yang mengijinkan menghormati dengan cara berdiri tegak sesuai dengan undang-undang negara. Bagaimana bisa ada lembaga non militer justru mewajibkan anggotanya melakukan penghormatan ala tentara? 

Penutup 

Tampaknya pendapat Sekretaris Jenderal Persekutuan Gereja se-Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom dapat menjadi rujukan kebijakan pendidik. 

"Hormat kepada bendera kan ada rupa-rupa cara. Bisa dengan menundukkan kepala, bisa dengan angkat tangan. Kan itu rupa-rupa cara. Itu yang harus diatur sekolah. Sikap penghormatan kepada bendera kan bisa macam-macam?" ujar Gomar.

Pernyataan yang bijak. Apalagi guru adalah pendidik, bukan pemberi hukuman.(*)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+