RIDHMEDIA - Sidang audiensi perdana dugaan pelanggaran hak asasi manusia negara Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya sudah digelar Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) di Belanda pada Minggu lalu (12/12). Banyak negara khususnya yang berpenduduk Muslim mengapresiasi gugatan yang diajukan negara kecil di Afrika, Gambia dan menginspirasi untuk membawa kasus pembantaian Etnis Uighur di China juga ke Mahkamah Internasional.
Kritik aktivis HAM Indonesia dan komunitas Muslim tanah air juga menyoroti sikap ASEAN dan pemerintah Indonesia, yang tidak peduli terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan negara China terhadap etnis Uighur. Sampai saat ini Presiden Jokowi dinilai cari selamat dan bermain aman dengan tidak merespon aktif soal Uighur karena takut berdampak negatif terhadap investasi China yang sedang gencarnya masuk ke Indonesia.
Kalangan aktivis dan ahli politik internasional menganggap sidang yang berlangsung atas gugatan Gambia itu bisa jadi jalan pembuka komunitas internasional menindak pihak yang bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran HAM terhadap Rohingya dan juga terhadap etnis Uighur. Meski begitu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Profesor Aleksius Jemadu, menganggap sidang ICJ itu menjadi catatan negatif terhadap negara ASEAN dan Indonesia.
Apa yang dilakukan Gambia seharusnya dilakukan negara-negara ASEAN, terutama Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, seharusnya Indonesia yang berinisiatif mengajukan gugatan itu. Tapi atas nama solidaritas sesama negara Asean, gugatan itu tidak diajukan dan malah diambil negara kecil yang jarang didengar publik namanya, Gambia.
Selain karena kasusnya terjadi di negara tetangga, Aleksius menuturkan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia seharusnya lebih peduli dan bergerilya untuk memperjuangkan hak Muslim dunia.
"Ini malah dilakukan oleh negara yang jauh di luar kawasan, Afrika. Ini bukan sinyal bagus. Ini jadi satu catatan negatif negara-negara ASEAN yang mestinya lebih peduli terhadap nasib kaum Rohingya dibandingkan negara nan jauh di Afrika," kata Aleksius saat dihubungi CNNIndonesia. Menurut Aleksius, sikap diam Indonesia menunjukkan bahwa Jakarta tak mau mengusik prinsip non-intervensi yang melekat pada tubuh ASEAN.
Padahal, prinsip tak ingin campur tangan itu tidak bisa selamanya dipegang terutama jika berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Aleksius menduga keengganan Indonesia bersikap agresif terhadap Myanmar juga sedikit banyak dilatarbelakangi dengan kekhawatiran bahwa langkah itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dia menganggap Indonesia khawatir jika mengusik Myanmar maka negara lain akan mengusik balik, terutama soal cacatan HAM RI di Papua. Namun, Aleksius menilai peluang negara lain menggugat Indonesia kecil karena laporan dugaan pelanggaran HAM aparat di Papua masih kecil.
"Saya kira dalam waktu dekat ini kecil kemungkinan kita digugat soal Papua ke ICJ. Tapi itu tidak berarti Indonesia tidak bersikap hati-hati terhadap perilaku aparat di sana. Isu HAM ini bersifat universal dan bisa dimanfaatkan oleh kelompok anti-Indonesia di luar negeri untuk menginternasionalisasi isu Papua," kata Aleksius. Masalah ekonomi juga dinilai menjadi salah satu alasan pemerintahan Jokowi enggan bergerak memperjuangkan isu HAM di ranah internasional.
Aleksius mengatakan pemerintahan Jokowi melihat isu HAM tak begitu mendatangkan keuntungan riil sehingga Indonesia menganggap memperjuangkan HAM suatu negara bukan prioritas yang harus dikejar. Selain itu, kata dia, selama ini Indonesia di bawah Jokowi memang lebih fokus pada masalah domestik dan diplomasi ekonomi terutama dalam menggaet asing untuk berinvestasi.
"HAM ini kan isu abstrak dan tidak ada hasil riilnya. Mungkin pemerintah sekarang ingin meraih capaian ekonomi yang memang lebih riil seperti mengatasi defisit, mendatangkan investasi, dan membangun infrastruktur. Itu semua lebih tangible," kata Aleksius.
Berbeda dengan Aleksius, Dosen Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, melihat Indonesia selama ini berupaya bermain elegan dalam merespons masalah Rohingya. Dia berpendapat, cara Indonesia tidak bersikap agresif soal isu Rohingya justru efektif membantu Myanmar menangani krisis kemanusiaan di Rakhine secara inklusif.
"Indonesia justru sedang bermain cantik. Indonesia bukan sponsor Gambia dalam gugatan tersebut. Indonesia menempatkan diri sebagai negara netral dan kalau sampai terlibat, dikhawatirkan Myanmar merasa semakin tersudut dan tak mau lagi berdialog dengan Indonesia," kata Rezasyah.
Menurut dia, Indonesia tak perlu menunjukkan sikap galak terhadap Myanmar dalam menangani masalah Rohingya ini. Indonesia justru harus bisa mendapatkan kepercayaan Myanmar agar mereka mau terbuka akan masalah ini.
"Dan selama ini, Indonesia cukup berhasil mendapatkan kepercayaan Myanmar. Indonesia bahkan menjadi pembuka jalan negara-negara lain untuk berdialog dengan Myanmar soal ini," kata Rezasyah. Pernyataan itu merujuk pada lawatan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ke Myanmar pada September 2017 lalu untuk menemui Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Kunjungan itu berlangsung ketika krisis kemanusiaan di Rakhine kembali memburuk hingga memicu gelombang pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Saat itu, Retno merupakan salah satu menlu pertama yang diterima Myanmar untuk berdialog. Selama ini, Indonesia memang tak pernah mengeluarkan pernyataan bernada kecaman terhadap Myanmar soal Rohingya.
Namun, Indonesia cukup rajin menggelontorkan sejumlah donasi logistik bagi para pengungsi Rohingya di perbatasan Bangladesh dan Rakhine. Indonesia juga telah mendirikan sebuah rumah sakit di Rakhine yang diharapkan mampu menjadi sarana inklusivitas bagi warga lintas etnis di wilayah itu. Kementerian Luar Negeri RI menyatakan meski tak terlibat dalam menggugat Myanmar di ICJ, Indonesia tetap memantau dekat jalannya persidangan tersebut.
Pelaksana juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, menuturkan Indonesia telah mengirim perwakilan untuk memantau sidang di Den Haag, Belanda tersebut. Dalam jumpa pers rutin di kantornya, Faizasyah mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini fokus mendampingi proses pemulangan pengungsi Rohingya di Bangladesh ke Myanmar.
Indonesia berupaya memastikan bahwa proses repatriasi pengungsi Rohingya yang dilakukan Bangladesh-Myanmar bisa berjalan aman, sukarela, dan bermartabat. "Indonesia siap menjadi jembatan dalam proses pendekatan kepada Myanmar dalam menangani masalah Rohingya," kata Faizasyah. [ljc]
Kritik aktivis HAM Indonesia dan komunitas Muslim tanah air juga menyoroti sikap ASEAN dan pemerintah Indonesia, yang tidak peduli terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan negara China terhadap etnis Uighur. Sampai saat ini Presiden Jokowi dinilai cari selamat dan bermain aman dengan tidak merespon aktif soal Uighur karena takut berdampak negatif terhadap investasi China yang sedang gencarnya masuk ke Indonesia.
Kalangan aktivis dan ahli politik internasional menganggap sidang yang berlangsung atas gugatan Gambia itu bisa jadi jalan pembuka komunitas internasional menindak pihak yang bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran HAM terhadap Rohingya dan juga terhadap etnis Uighur. Meski begitu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Profesor Aleksius Jemadu, menganggap sidang ICJ itu menjadi catatan negatif terhadap negara ASEAN dan Indonesia.
Apa yang dilakukan Gambia seharusnya dilakukan negara-negara ASEAN, terutama Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, seharusnya Indonesia yang berinisiatif mengajukan gugatan itu. Tapi atas nama solidaritas sesama negara Asean, gugatan itu tidak diajukan dan malah diambil negara kecil yang jarang didengar publik namanya, Gambia.
Selain karena kasusnya terjadi di negara tetangga, Aleksius menuturkan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia seharusnya lebih peduli dan bergerilya untuk memperjuangkan hak Muslim dunia.
"Ini malah dilakukan oleh negara yang jauh di luar kawasan, Afrika. Ini bukan sinyal bagus. Ini jadi satu catatan negatif negara-negara ASEAN yang mestinya lebih peduli terhadap nasib kaum Rohingya dibandingkan negara nan jauh di Afrika," kata Aleksius saat dihubungi CNNIndonesia. Menurut Aleksius, sikap diam Indonesia menunjukkan bahwa Jakarta tak mau mengusik prinsip non-intervensi yang melekat pada tubuh ASEAN.
Padahal, prinsip tak ingin campur tangan itu tidak bisa selamanya dipegang terutama jika berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Aleksius menduga keengganan Indonesia bersikap agresif terhadap Myanmar juga sedikit banyak dilatarbelakangi dengan kekhawatiran bahwa langkah itu bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dia menganggap Indonesia khawatir jika mengusik Myanmar maka negara lain akan mengusik balik, terutama soal cacatan HAM RI di Papua. Namun, Aleksius menilai peluang negara lain menggugat Indonesia kecil karena laporan dugaan pelanggaran HAM aparat di Papua masih kecil.
"Saya kira dalam waktu dekat ini kecil kemungkinan kita digugat soal Papua ke ICJ. Tapi itu tidak berarti Indonesia tidak bersikap hati-hati terhadap perilaku aparat di sana. Isu HAM ini bersifat universal dan bisa dimanfaatkan oleh kelompok anti-Indonesia di luar negeri untuk menginternasionalisasi isu Papua," kata Aleksius. Masalah ekonomi juga dinilai menjadi salah satu alasan pemerintahan Jokowi enggan bergerak memperjuangkan isu HAM di ranah internasional.
Aleksius mengatakan pemerintahan Jokowi melihat isu HAM tak begitu mendatangkan keuntungan riil sehingga Indonesia menganggap memperjuangkan HAM suatu negara bukan prioritas yang harus dikejar. Selain itu, kata dia, selama ini Indonesia di bawah Jokowi memang lebih fokus pada masalah domestik dan diplomasi ekonomi terutama dalam menggaet asing untuk berinvestasi.
"HAM ini kan isu abstrak dan tidak ada hasil riilnya. Mungkin pemerintah sekarang ingin meraih capaian ekonomi yang memang lebih riil seperti mengatasi defisit, mendatangkan investasi, dan membangun infrastruktur. Itu semua lebih tangible," kata Aleksius.
Berbeda dengan Aleksius, Dosen Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, melihat Indonesia selama ini berupaya bermain elegan dalam merespons masalah Rohingya. Dia berpendapat, cara Indonesia tidak bersikap agresif soal isu Rohingya justru efektif membantu Myanmar menangani krisis kemanusiaan di Rakhine secara inklusif.
"Indonesia justru sedang bermain cantik. Indonesia bukan sponsor Gambia dalam gugatan tersebut. Indonesia menempatkan diri sebagai negara netral dan kalau sampai terlibat, dikhawatirkan Myanmar merasa semakin tersudut dan tak mau lagi berdialog dengan Indonesia," kata Rezasyah.
Menurut dia, Indonesia tak perlu menunjukkan sikap galak terhadap Myanmar dalam menangani masalah Rohingya ini. Indonesia justru harus bisa mendapatkan kepercayaan Myanmar agar mereka mau terbuka akan masalah ini.
"Dan selama ini, Indonesia cukup berhasil mendapatkan kepercayaan Myanmar. Indonesia bahkan menjadi pembuka jalan negara-negara lain untuk berdialog dengan Myanmar soal ini," kata Rezasyah. Pernyataan itu merujuk pada lawatan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ke Myanmar pada September 2017 lalu untuk menemui Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Kunjungan itu berlangsung ketika krisis kemanusiaan di Rakhine kembali memburuk hingga memicu gelombang pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Saat itu, Retno merupakan salah satu menlu pertama yang diterima Myanmar untuk berdialog. Selama ini, Indonesia memang tak pernah mengeluarkan pernyataan bernada kecaman terhadap Myanmar soal Rohingya.
Namun, Indonesia cukup rajin menggelontorkan sejumlah donasi logistik bagi para pengungsi Rohingya di perbatasan Bangladesh dan Rakhine. Indonesia juga telah mendirikan sebuah rumah sakit di Rakhine yang diharapkan mampu menjadi sarana inklusivitas bagi warga lintas etnis di wilayah itu. Kementerian Luar Negeri RI menyatakan meski tak terlibat dalam menggugat Myanmar di ICJ, Indonesia tetap memantau dekat jalannya persidangan tersebut.
Pelaksana juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, menuturkan Indonesia telah mengirim perwakilan untuk memantau sidang di Den Haag, Belanda tersebut. Dalam jumpa pers rutin di kantornya, Faizasyah mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini fokus mendampingi proses pemulangan pengungsi Rohingya di Bangladesh ke Myanmar.
Indonesia berupaya memastikan bahwa proses repatriasi pengungsi Rohingya yang dilakukan Bangladesh-Myanmar bisa berjalan aman, sukarela, dan bermartabat. "Indonesia siap menjadi jembatan dalam proses pendekatan kepada Myanmar dalam menangani masalah Rohingya," kata Faizasyah. [ljc]