Beda Sikap Pdip Dan Jokowi Soal Amandemen Uud 1945

Ridhmedia
07/12/19, 12:44 WIB

RIDHMEDIA - Presiden Joko Widodo telah menolak amandemen UUD 1945 karna dianggap menjadi melebar ke poin-poin lain. Dua wacana yang ditolak Jokowi seperti menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dan mengubah sistem pemilihan presiden menjadi dipilih oleh MPR.

Reaksi Jokowi ini terbilang enggak biasa. Klimaks, marah Telah di ubun-ubun, memuncaklah amarahnya.

Ya, Jokowi dinilai Telah mencapai puncak dari emosinya dari wacana-wacana melebar dalam amandemen UUD 1945. Dengan harapan seluruh pihak tunduk dan taat pada aturan yang Telah berlaku.

Akan tetapi, reaksi berbeda ditunjukan PDIP sebagai partai pengusungnya. PDIP memang mendukung penolakan Jokowi terhadap masa jabatan tiga periode. Namun, enggak bagi upaya menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN).

“Meski PDI Perjuangan terdepan di dalam mengusulkan amandemen terbatas guna menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi dan mempunyai kewenangan di dalam menetapkan haluan negara, tetapi presiden dan wapres tetap dipilih secara langsung dengan pembatasan masa jabatan maksimum dua periode," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Selasa (3/12).

Menurut Hasto, amandemen UUD 1945 buat menghidupkan GBHN tetap dibutuhkan sebagai modal membangun negara yang lebih baik. Dia yakin melalui GBHN, Indonesia dapat lebih makmur, berdaulat, dan berdikari dalam pembangunan masa depan.

"Haluan negara ialah road map yang bersifat strategi dan mengandung arah bagaimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi buat melipatgandakan kemampuan produksi nasional. Kemudian, bagaimana pengembangan industri strategis dari hulu ke hilir, dan tata perekonomian Indonesia yang membangun kedaulatan bangsa di bidang energi, pangan, keuangan, pertahanan dan lain-lain," beber Hasto.

Persoalan senada juga diungkapkan Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah. Dia justru menyayangkan pernyataan Jokowi yang tegas menolak amandemen UUD 1945.

"Sebenarnya Pak Jokowi enggak perlu menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional menyikapi soal dinamika wacana dan rencana amandemen terbatas UUD 1945 buat menghadirkan kembali haluan negara," kata Ketua DPP PDIP Bidang Luar Negeri itu, Jumat (6/12).

Menurut Basarah, wacana amandemen UUD 1945 adalah aspirasi yang ditampung secara umum dan bukan wilayah partai politik saja. Apalagi, sekarang Telah menjadi rekomendasi MPR periode 2019-2024.

"Seharusnya Mensesneg (Pratikno) selaku pembantu Presiden urusan kenegaraan, dapat membuka komunikasi dan koordinasi politik yang baik. Terutama dalam fraksi-fraksi di MPR, kemudian bahan-bahan masukan itu dilaporkan ke Presiden. Sehingga Presiden paham urgensi, paham kembali haluan negara melalui amandemen terbatas UUD 1945," ungkap Basarah.

"Berikanlah kesempatan MPR buat bekerja, jangan kemudian Telah divonis enggak perlu lagi amandemen terbatas ini," imbuhnya.

Dia juga meminta Pratikno lebih banyak berkoordinasi dengan publik maupun MPR. Sehingga dapat mengetahui pandangan masing-masing fraksi, yang kemudian dijadikan masukan buat Jokowi.

Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan sebaiknya enggak perlu amandemen UUD 1945. Menurutnya, walau awalnya amandemen UUD 1945 cuma terkait GBHN, tetapi poin amandemen pasti bakal berubah ke poin-poin lain.

"Apakah bisa yang namanya amandemen berikutnya dibatasi buat urusan haluan negara? Apakah enggak melebar ke mana-mana. Sekarang kenyataannya seperti itu kan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12).

"Jadi lebih baik enggak usah amandemen," lanjutnya.[]
Komentar

Tampilkan

Terkini