Oleh: Dr. Muhammad Najib*
MENINGKATNYA sentimen suku, ras, maupun agama yang dipacu dan dipicu oleh masifnya penggunaan media sosial, tampaknya menjadi alasan diadakannya dialog antara tokoh-tokoh Islam dan Konghucu di Malaysia.
Dialog berskala international yang diberi tema: Islam- Confucianism, Civilization Dialogue, diadakan selama 2 hari (30 November sampai dengan 1 Desember), di SPICE Convention Center, Pulau Pineng, menghdirkan para pembicara dari Malaysia, Singapore, China, Hong Kong, dan Amerika.
Dialog bersekala internasional ini dihadiri sekitar 300 peserta baik dari Malaysia maupun luar negri. Dari Indonesia hadir disamping Chandra Setiawan dari Majlis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN) dan saya mewakili ICMI, juga tampak sejumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di berbagai perguruan tinggi di Malaysia.
Fenomena yang dalam ilmu sosial dikenal dengan istilah populisme ini, sebenarnya tidak khas Malaysia, akan tetapi juga terjadi di seluruh dunia, termasuk di Eropa dan Amerika.
Masalahnya menjadi semakin parah, disebabkan oleh banyaknya para politisi yang memanfaatkan situasi ini, untuk mendapatkan dukungan pribadi ataupun kelompok demi tujuan jangka pendek, dengan mengabaikan kepentingan bersama yang berjangka panjang.
Anwar Ibrahim yang diundang sebagai pembicara kunci pada acara pembukaan mengingatkan, bahayanya semangat rasisme yang mengunggulkan ras tertentu, dan pada saat bersamaan merendahkan ras lain.
Fenomena inilah yang kembali melanda Barat yang mengakibatkan munculnya fenomena Islamophobia, Xenophobia, dan phobia-phobia lain.
Anwar Ibrahim dengan nada keras mengingatkan ; Tampaknya dunia Barat belum cukup belajar dari pengalaman bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh Hitler dan Mussolini.
Banyak yang menarik untuk disimak dalam dialog ini. Misalnya saat sejumlah pembicra membandingkan antara Islam dan Konghucu dan mencoba untuk melihat kesamaan antara keduanya.
Diantara kesamaan yang menarik diungkapkan oleh Prof. Peter.T.C.Chang dari University of Malaya. Prof. Chang menyatakan bahwa bagi agama Shinto, Tuhan hanya untuk orang Jepang. Sementara bagi agama Yahudi, Tuhan hanya untuk Bani Israel.
Sedangkan baik Islam maupun Konghucu, keberadaan Tuhan dalam keyakinan dua agama ini, untuk seluruh ummat manusia apapun suku ataupun rasnya. Dengan kata lain Islam dan Konghucu memiliki kesamaan dalam masalah kemanusiaan yang sifatnya sangat universal.
Prof. Chang bahkan menguraikan bahwa di dalam Islam secara tegas dinyatakan tidak ada perbedaan antara mereka yang Arab dan non-Arab, karena yang membedakannya hanya pada ketaqwaannya.
Kesamaan lain diutarakan oleh Dr. James D.Frankel dari Columbia University, Amerika, yang menyatakan bahwa ibadah dalam bentuk ritual dalam dua agama ini, disamping harus dilakukan secara fisik, ditopang oleh hati yang tulus dan dalam keadaan tenang (khusuk), juga harus diartikulasikan dalam kehidupan sosial (dalam masyarakat), serta terhadap alam semesta secara keseluruhan (seperti hewan, tanaman, tanah, air, dan udara).
Yang paling menarik bagi saya pribadi adalah kesamaan yang diutarakan oleh Prof. Dr. Omar Min Ke Qin seorang peneliti lulusan IIUM, yang kini menjadi peneliti di ISTAC. ISTAC yang dulu didirikan kemudian dipimpin oleh Sayyid Husein Nasr. Kini ISTAC dipimpin oleh Prof. Osman Bakar.
Prof. Omar Min melihat Konghucu sebagai agama yang meng-Esakan Tuhan, mirip dengan Tauhid dalam Islam. Karena itu, ia meyakini bahwa Konghucu bukan mustahil merupakan salah satu dari Rasul yang jumlahnya 313, atau salah satu dari 124 ribu Nabi yang dilahirkan di daratan China, di luar dari 25 orang yang harus diimani yang namanya disebutkan secara eksplisit.
Pandangan ini mirip dengan pendapat Almarhum Buya Hamka, seorang ulama Indonesia yang sangat dihormati baik di Nusantara, maupun di dunia Islam. Wallahua'lam.
*) Penulis adalah pengamat politik Islam dan Demokrasi.