RIDHMEDIA - Gerakan umat Islam di Indonesia yang terjadi beberapa tahun belakangan ini ikut membantu mengubah pandangan negatif atau stereotyping Barat terhadap dunia Islam.
Sebelumnya, Barat kerap memandang Islam sebagai sesuatu yang kelam, terbelakang, dan bahkan bertentangan dengan demokrasi. Namun, masyoritas masyarakat Islam di Indonesia telah membuktikan bahwa demokrasi dan Islam bukan dua hal yang harus dipertentangkan, dan Islam jelas tidak berseberangan dengan demokrasi.
Begitu yang antara lain dipahami aktivis kemanusiaan dan mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, dari berbagai peristiwa yang melibatkan umat Islam di Indonesia beberapa tahun belakangan ini.
Dalam perbincangan dengan redaksi beberapa saat lalu (Minggu, 1/12), ia merujuk peristiwa 411 yang terjadi 4 November 2016 yang digelar untuk menuntut penegakan hukum atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap memprovokasi dan menistakan Islam, dan puncaknya gerakan 212 pada 2 Desember 2016.
Dua reuni yang terjadi setelah tahun 2016 itu, 212 di tahun 2017 dan 212 di tahun 2018 menurut dia juga memberikan sumbangan serupa.
“Gerakan 212 telah mengubah stereotype Barat tentang dunia Islam yang kelam,” ujar Natalius yang mendapatkan Democracy Award dari Kantor Berita Politik RMOL tahun 2017 lalu.
Dia meminta agar pemerintah dan pihak-pihak lain yang masih curiga tidak khawatir berlebihan atas rencana kegiatan Reuni 212 yang akan digelar besok, Senin (2/12) di Silang Monas, Jakarta.
“Tuhan jaga, Bro,” demikian Natalius Pigai.
Sebelumnya, Natalius Pigai juga pernah mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada Islam yang intoleran, juga tidak ada Islam yang radikal, serta tidak ada Islam teroris.
Yang ada, menurutnya, adalah cara pandang pemimpin yang intoleran dan radikal. Hal inilah yang membangkitkan reaksi perlawanan di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam. [rm]