Enam Bulan Demo Hong Kong, Dipicu RUU Ekstradisi Meluas Ke Gerakan Pro Demokrasi

Ridhmedia
30/12/19, 04:37 WIB
Ridhmedia - Para demonstran di Hong Kong sampai saat ini masih terus melakukan aksinya. Mereka masih enggan beranjak dari jalanan dimana mereka menyuarakan aspirasi mereka.

Unjuk rasa tersebut merupakan unjuk rasa terpanjang dalam satu dekade terakhir dimana telah berlangsung sejak enam bulan lalu. Aksi warga Hong Kong awalnya memprotes RUU Ekstradisi. Namun kini unjuk rasa meluas menjadi gerakan pro demokrasi.

Unjuk rasa yang dimulai pada Minggu, 9 Juni itu berlangsung damai yang diikuti sekitar setengah juta orang. Namun beberapa hari kemudian kericuhan tak bisa terhindarkan. Pengunjuk rasa dan polisi terlibat sejumlah bentrokan.

Akar dari isu ini sebetulnya dimulai sejak 16 tahun lalu ketika 500 ribu orang turun ke jalan untuk memprotes undang-undang yang akan mengkriminalisasi siapa pun yang melawan pemerintahan China. RUU kali ini akan membuat Beijing bisa mengekstradisi pelaku kriminal dari Hong Kong ke China daratan. Hong Kong selama ini punya perjanjian ekstradisi dengan 20 negara tapi tidak dengan China atau Taiwan. Banyak warga Hong Kong meyakini RUU itu akan membuat orang berisiko diekstradisi ke China.

Berdasarkan laporan Reuters saat unjuk rasa pertama kali digelar, jalanan penuh sesak di sepanjang rute unjuk rasa. Seruan "No China extradition, no law evil" bergema di jalan-jalan kota, sementara pawai lainnya menyerukan Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam yang pro-Beijing dan pejabat senior lainnya untuk mundur.

Penentangan terhadap RUU tersebut telah menyatukan berbagai komunitas, mulai dari pebisnis dan pengacara yang pro-kemapanan hingga mahasiswa, tokoh pro-demokrasi dan kelompok agama.

Serbu Kantor Parlemen dan Bandara

Awal Juli pengunjuk rasa merangsek masuk ke gedung parlemen Hong Kong. Para aktivis menduduki gedung Dewan Legislatif (LegCo) selama berjam-jam. Setelah tengah malam, ratusan polisi mengamankan gedung tersebut usai memperingatkan para demonstran untuk keluar dari sana.

Tak lama kemudian, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengumumkan RUU Ekstradisi itu sudah 'mati'. Namun belum jelas apakah RUU ini secara efektif telah ditarik sebagaimana tuntutan para pengunjuk rasa. Di satu sisi, dia menegaskan bahwa ia tidak berniat untuk terus memperdebatkan RUU ekstradisi dan menyebut RUU ini akan berakhir pada Juli 2020.

Pada akhir Juli, hampir seribu demonstran Hong Kong berunjuk rasa di bandara hingga membuat aktivitas di salah satu bandara tersibuk di Asia itu agak terganggu.

Laman the Straits Times melaporkan, Jumat (26/7), para demonstran membawa spanduk-spanduk bertuliskan protes atas rancangan undang-undang ekstradisi. Mereka terlihat memenuhi terminal kedatangan di bandara supaya para warga asing yang baru datang melihat unjuk rasa itu.

Para demonstran itu duduk di lantai bandara dan sebagian pendemo meneriakkan slogan seperti 'Yang ada hanya tirani, bukan perusuh' dan 'Ayo Hong Kong'.

Sejumlah pramugari dan pegawai penerbangan juga ikut dalam unjuk rasa itu. Serikat Pramugari Maskapai Cathay Pacific Airways dalam laman Facebook mereka kemarin menyerukan anggotanya untuk ikut berdemo dan saling menjaga satu sama lain.

Tak hanya berunjuk rasa, massa juga membagikan pamflet dalam beberapa bahasa, termasuk Inggris, Mandarin, dan Korea kepada para pengunjung bandara.

Dugaan Keterlibatan Amerika

Pertengahan Agustus, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menanggapi demo Hong Kong lewat akun Twitternya. Trump menyinggung pasukan paramiliter China yang sudah mendekati perbatasan Hong Kong.

"Intelijen kami telah memberi tahu bahwa pemerintah China mengerahkan pasukan ke perbatasan Hong Kong. Setiap orang harus tenang dan aman!" kata Trump.

Pemerintah China merespons pernyataan Trump itu dengan meminta AS untuk tidak campur tangan dalam masalah ini. Tak hanya itu China juga sebelumnya menuding AS berada di balik demo Hong Kong.

Pada 30 Juli, Direktorat Jenderal Departemen Informasi Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying menjawab pertanyaan soal demo Hong Kong yang sudah berlangsung sejak Juni.

"Dalam tayangan di media kita melihat orang-orang berwajah Amerika di tengah demonstran di Hong Kong. Kita juga bahkan melihat bendera Amerika di beberapa lokasi. Apa yang sedang dimainkan AS di Hong Kong belakangan ini? AS harus memberi penjelasan kepada dunia," kata Hua, seperti dilansir laman the Globe and Mail, akhir bulan lalu.

Soal bagaimana dia bisa membedakan orang berwajah Amerika dengan non Amerika juga tidak jelas. Paspor tentunya menjadi data yang lebih bisa diandalkan untuk menentukan orang itu warga negara mana.

Komisi Kementerian Luar Negeri China di Hong Kong juga sempat memanggil pejabat konsulat Amerika untuk meminta keterangan soal laporan media yang mengatakan ada diplomat Amerika yang bertemu dengan aktivis pro-kemerdekaan Hong Kong. Media yang melaporkan kabar itu adalah Ta Kung Pao koran Partai Komunis China.

Dalam koran itu ada foto pejabat konsuler Amerika, Julie Eadeh berdiri di lobi hotel JW Marriot dengan pemimpin demo mahasiswa Joshua Wong, Nathan Law, dan anggota kelompok politik mereka, Demosisto. Di foto itu diberi keterangan "Campur Tangan Pihak Asing".

Malam itu juga stasiun televisi pemerintah China, CCTV, menyebut Eadeh adalah 'sosok di balik kerusuhan Hong Kong'. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS membantah tuduhan China dengan mengatakan diplomat mereka memang rutin bertemu dengan banyak orang di Hong Kong dan pada saat itu bertemu aktivis mahasiswa.

Korban dari Indonesia

Demonstrasi berkepanjangan ini menelan banyak korban. Salah satunya Veby Mega Indah, jurnalis asal Indonesia yang mata kanannya tertembak peluru polisi Hong Kong saat meliput protes anti-pemerintah.

Saat ini Veby sedang berjuang menuntut agar pelakunya bertanggung jawab. Pasalnya, akibat insiden penembakan tersebut, Veby mengalami kebutaan pada salah satu matanya.

Luka itu menjadi trauma berkepanjangan yang membekas di benak Veby, redaktur senior Harian Suara, koran berbahasa Indonesia yang cukup populer di kalangan buruh migran asal Indonesia di Hong Kong.

Saat kejadian berlangsung, Veby meliput unjuk rasa bersama wartawan lain di suatu sudut pada sebuah jembatan di Hong Kong. Veby yakin matanya tertembak peluru karet. Bagi dia, apapun jenis peluru yang ditembakan aparat menyebabkan salah satu matanya mengalami kebutaan.

"(Saat penembakan terjadi) saya tidak sanggup lagi (menahan sakit). Saya mengira, momen itu akan menjadi hari terakhir saya," kata Veby seperti yang dilansir Antara.

Veby beserta kuasa hukumnya mengatakan telah mengajukan tuntutan hukum terhadap kepolisian untuk mengumumkan nama petugas yang terlibat pada insiden penembakan itu. Sehingga, penggugat dapat melanjutkan kasus hukum untuk menghukum pelaku.

Pencabutan RUU Ekstradisi

Meluasnya demonstrasi membuat pemerintah eksekutif Hong Kong mengajukan pembatalan RUU Ekstradisi ke pemerintah China. Usulan ini diajukan untuk mencegah ketegangan lebih lanjut. Namun usulan tersebut ditolak pada akhir Agustus.

Pada awal September, Carrie Lam menyatakan mencabut RUU tersebut. Pidato pencabutan tersebut disampaikan Lam setelah pertemuan tertutup dengan anggota parlemen pro-pemerintah.

"Pemerintah akan secara resmi mencabut RUU itu untuk sepenuhnya melenyapkan kekhawatiran publik," kata Lam (4/9).

Akhir Oktober, legislatif Hong Kong resmi mencabut RUU tersebut.

Kerusuhan Kembali Pecah

Awal November, demonstrasi berujung kerusuhan kembali terjadi. Pengunjuk rasa membakar stasiun metro dan merusak bangunan termasuk kantor berita resmi China, Xinhua, Minggu (3/11).

Xinhua mengecam serangan itu dengan menyebut para pelaku sebagai "penjahat biadab" yang mendobrak pintu dan sistem keamanan. Lalu melemparkan api serta menggambar bom di lobi gedung.

"Praktik para perusuh berpakaian hitam sekali lagi menunjukkan bahwa 'menghentikan kekerasan dan memulihkan ketertiban' adalah tugas terpenting dan mendesak Hong Kong saat ini," kata seorang juru bicara Xinhua dalam sebuah posting di Facebook, seperti dilansir CNA.

Bentrokan antara polisi antihuru-hara dan demonstran berlanjut hingga Minggu dini hari setelah polisi membubarkan ribuan orang pada Sabtu 2 November sore dengan menembakkan gas air mata ke sebuah taman.

Sementara para pengunjuk rasa sebelumnya telah merusak bangunan perusahaan China daratan atau yang dianggap pro-Beijing, penargetan Xinhua sebagai simbol kunci dari kehadiran daratan di Hong Kong adalah salah satu tantangan paling langsung ke Beijing.

Polisi Hong Kong mengaku telah menangkap lebih dari 200 orang karena pelanggaran termasuk demonstrasi tidak sah, kepemilikan senjata ofensif, pengrusakan, dan mengenakan topeng yang sekarang ilegal di bawah undang-undang darurat era kolonial yang dihidupkan kembali.

Polisi menembakkan gas air mata, peluru karet, dan mengirim meriam air kepada para demonstran selama hari Sabtu dan Minggu dini hari, ketika kekerasan tumpah dari pulau Hong Kong melintasi air ke sisi Kowloon utara. [mdk]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+