RIDHMEDIA - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan dunia Islam mudah dimanipulasi karena Muslim sebgaai komunitas tidak solid. Dia menggarisbawahi negara mayoritas Muslim menghadapi banyak ancaman, termasuk terorisme dan perang sipil, selain meningkatnya xenofobia.
Dilansir di Daily Sabah, Rabu (27/11), Erdogan merasa prihatin karena semakin meningkatnya sentimen anti-Muslim dan serangan yang mengarah kepada umat Islam di Barat. Turki bersama dengan Pakistan dan Malaysia telah mengusulkan mendirikan pusat media dan komunikasi untuk melawan rasialisme anti-Muslim. Kebencian anti-Muslim meningkat secara signifikan di Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Ekstremisme kanan-kiri dan xenofobia telah memicu kebencian anti-Muslim di negara-negara Barat, di mana serangan teror oleh ISIS dan Alqaidah digunakan sebagai alasan untuk melegitimasi pandangan-pandangan itu. Dia mendesak AS dan organisasi global lainnya menetapkan 15 Maret sebagai Hari Solidaritas Internasional Melawan Islamofobia.
Meskipun permusuhan terhadap Muslim bukanlah fenomena baru, namun telah meningkat sejak 2001 ketika dua pesawat menabrak World Trade Center di New York City. Sejak itu, selama hampir dua dekade, Islam dinilai secara tidak adil dengan label-label yang memiliki konotasi negatif dan digambarkan sebagai agama kebencian dan kekerasan.
Islam dinilai dengan sentimen anti-Barat dan penindasan perempuan. Tren intoleransi ini telah memicu serangan mematikan terhadap Muslim dan imigran.
Dengan meningkatnya rasialisme sebagai masalah serius di hampir semua negara Eropa, warga asing menjadi lebih rentan di beberapa negara. Sebagai contoh, di Jerman, Muslim menjadi target serangan yang tak terhitung jumlahnya dalam beberapa tahun.
Menurut Erdogan, hal tersebut terjadi karena negara Islam mudah dimanipulasi dan lemahnya persatuan umat Islam. "Organisasi teroris (merujuk pada kelompok yang melakukan serangan teroris atas nama Islam) telah menumpahkan darah di pasar, masjid dan sekolah kami," ujar dia.
Selain itu, lemahnya umat Islam ini juga didorong karena mereka tidak berdaya, tidak berperan aktif dan keterwakilannya hampir tidak ada dalam organisasi internasional. Menurut Erdogan, saat ini negara Islam tidak memiliki hak prerogatif untuk membuat dan menerapkan keputusan dalam menentukan masa depannya sendiri. Dia juga mencatat tidak ada satu pun negara Muslim di Dewan Keamanan.
“Pertama-tama kita harus percaya pada diri sendiri. Sebagai bagian dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), kita perlu mengenali kekuatan kita, memahami diri kita sendiri dan menentukan sikap kita yang sesuai. AS, yang gagal menemukan solusi di Bosnia-Herzegovina, Rwanda dan Suriah tidak akan menemukan solusi untuk masalah kita,” kata dia.
Erdogan juga menyarankan struktur Dewan Keamanan perlu dibentuk dengan mempertimbangkan populasi dunia. Menyinggung masalah Palestina, Presiden Erdogan mengatakan umat Islam harus mengambil sikap tegas terhadap ketidakadilan Israel.
Turki bertekad mempertahankan hak-hak warga Palestina di semua sisi. "Dengan tidak menghormati hak rakyat Palestina untuk hidup dan bekerja dengan damai, Israel membahayakan masa depan dunia dan kawasan," ujar dia. [rol]
Dilansir di Daily Sabah, Rabu (27/11), Erdogan merasa prihatin karena semakin meningkatnya sentimen anti-Muslim dan serangan yang mengarah kepada umat Islam di Barat. Turki bersama dengan Pakistan dan Malaysia telah mengusulkan mendirikan pusat media dan komunikasi untuk melawan rasialisme anti-Muslim. Kebencian anti-Muslim meningkat secara signifikan di Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Ekstremisme kanan-kiri dan xenofobia telah memicu kebencian anti-Muslim di negara-negara Barat, di mana serangan teror oleh ISIS dan Alqaidah digunakan sebagai alasan untuk melegitimasi pandangan-pandangan itu. Dia mendesak AS dan organisasi global lainnya menetapkan 15 Maret sebagai Hari Solidaritas Internasional Melawan Islamofobia.
Meskipun permusuhan terhadap Muslim bukanlah fenomena baru, namun telah meningkat sejak 2001 ketika dua pesawat menabrak World Trade Center di New York City. Sejak itu, selama hampir dua dekade, Islam dinilai secara tidak adil dengan label-label yang memiliki konotasi negatif dan digambarkan sebagai agama kebencian dan kekerasan.
Islam dinilai dengan sentimen anti-Barat dan penindasan perempuan. Tren intoleransi ini telah memicu serangan mematikan terhadap Muslim dan imigran.
Dengan meningkatnya rasialisme sebagai masalah serius di hampir semua negara Eropa, warga asing menjadi lebih rentan di beberapa negara. Sebagai contoh, di Jerman, Muslim menjadi target serangan yang tak terhitung jumlahnya dalam beberapa tahun.
Menurut Erdogan, hal tersebut terjadi karena negara Islam mudah dimanipulasi dan lemahnya persatuan umat Islam. "Organisasi teroris (merujuk pada kelompok yang melakukan serangan teroris atas nama Islam) telah menumpahkan darah di pasar, masjid dan sekolah kami," ujar dia.
Selain itu, lemahnya umat Islam ini juga didorong karena mereka tidak berdaya, tidak berperan aktif dan keterwakilannya hampir tidak ada dalam organisasi internasional. Menurut Erdogan, saat ini negara Islam tidak memiliki hak prerogatif untuk membuat dan menerapkan keputusan dalam menentukan masa depannya sendiri. Dia juga mencatat tidak ada satu pun negara Muslim di Dewan Keamanan.
“Pertama-tama kita harus percaya pada diri sendiri. Sebagai bagian dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), kita perlu mengenali kekuatan kita, memahami diri kita sendiri dan menentukan sikap kita yang sesuai. AS, yang gagal menemukan solusi di Bosnia-Herzegovina, Rwanda dan Suriah tidak akan menemukan solusi untuk masalah kita,” kata dia.
Erdogan juga menyarankan struktur Dewan Keamanan perlu dibentuk dengan mempertimbangkan populasi dunia. Menyinggung masalah Palestina, Presiden Erdogan mengatakan umat Islam harus mengambil sikap tegas terhadap ketidakadilan Israel.
Turki bertekad mempertahankan hak-hak warga Palestina di semua sisi. "Dengan tidak menghormati hak rakyat Palestina untuk hidup dan bekerja dengan damai, Israel membahayakan masa depan dunia dan kawasan," ujar dia. [rol]