Fadli Zon Paparkan Sederet Aturan yang Bolehkan FPI Berdiri: Ini Bukan Persoalan Hukum, Ini Politik

Ridhmedia
05/12/19, 02:45 WIB
RIDHMEDIA - Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Fadli Zon menepis pernyataan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) memiliki masalah soal hukum hingga izinnya tidak keluar.

Fadli Zon mengatakan tidak ada aturan yang tidak perbolehkan keberadaan FPI di Indonesia.

Dikutip TribunWow.com dari video unggahan kanal Youtube Indonesia Lawyers Club, Selasa (3/12/2019), Fadli Zon justru menyebut permasalahan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI adalah persoalan politik.

Mulanya Fadli Zon mengaggap permasalahan SKT adalah hal yang sudah ketinggalan zaman, sudah bukan saatnya lagi membahas SKT.

"Soal perpanjangan SKT, ini tema remeh temeh sebetulnya," kata Fadli Zon.

Fadli Zon kemudian memaparkan soal peraturan yang mengatur tentang perizinan ormas, yang ada hanyalah SKT.

"Rezim izin itu sudah tidak ada lagi, berdasarkan undang-undang tahun 2013 dengan Perpu kemarin menjadi undang-undang nomor 16 tahun 2017, tidak ada lagi istilah izin, yang ada adalah surat keterangan terdaftar," papar Fadli Zon.

Mantan Wakil Ketua DPR tersebut kemudian menjelaskan beberapa dasar hukum yang menjamin kegiatan Ormas dalam kehidupan bermasyarakat.

Beberapa hal yang dijelaskan oleh Fadli Zon di antaranya adalah putusan MK tahun 2013 nomor 82 dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28

"Kemudian pernah juga ada Mahkamah Konstitusi, dalam putusan MK tahun 2013 nomor 82, itu menyatakan berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas tidak dapat dilarang berkegiatan," jelas Fadli Zon.

"Negara tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum dan melakukan pelanggaran hukum."

"saya kira semangat ini sudah jelas sekali tercermin di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28."

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat," imbuhnya.

Fadli Zon curiga persoalan perizinan FPI adalah persoalan yang terjadi karena adanya benturan kepentingan politik antara pemerintah dengan FPI.

Ia merasa pemerintah perlu untuk menindak FPI yang sering bertentangan dengan arah politik pemerintah.

"Sehingga kalau kita lihat apa yang terjadi dlam kasus SKT FPI yang dianggap maju mundur ini, ini bukan persoalan yuridis atau persoalan hukum, ini persoalan politik," ungkap Fadli Zon.

"Tidak bisa dilepaskan dari situasi politik karena kebetulan mungkin ormas FPI bertentangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah di dalam banyak penyikapan politik beberapa tahun belakangan ini," tambahnya.

Abu Janda Jelaskan Alasan Masyarakat Tolak Keberadaan FPI

Pegiat Media Sosial, Permadi Arya atau lebih dikenal dengan nama Abu Janda mengungkapkan penjelasannya mengapa ada penolakan dari masyarakat terhadap organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI).

Abu Janda mengatakan yang menjadi pemicu sentimen masyarakat terhadap FPI adalah rekam jejak digital FPI yang tersebar di internet.

Dikutip TribunWow.com dari video unggahan kanal Youtube kompastv, Senin (2/12/2019), mulanya Abu Janda bercerita bagaimana dirinya melihat warga net menilai FPI dari video dan berita tentang FPI yang tersebar di internet.

"Sebagai pegiat media sosial, yang aku lihat ini memang netizen lebih bereaksi kepada jejak digitalnya FPI," jelas Abu Janda.

Video yang dimaksud oleh Abu Janda adalah rekaman-rekaman yang menunjukkan aksi FPI yang menunjukkan perbuatan intoleran seperti sweeping tempat-tempat ibadah.

Lalu sweeping warung-warung makan yang masih buka saat bulan puasa.

Menurut Abu Janda video-video yang memperlihatkan kegiatan seperti itu adalah penyebab banyak masyarakat yang kemudian memandang FPI sebagai ormas negatif dan melakukan penolakan terhadap ormas tersebut.

"Jadi yang dinaikin sama netizen itu adalah video-video FPI yang memang intoleran seperti penggerudukan rumah ibadah, sweeping warung,terus juga pernyataan-pernyataan Habib Rizieq yang intoleran terhadap umat beragama lain,"papar Abu Janda.

"Jadi fokusnya lebih ke rekam jejaknya FPI, rekam jejak digital FPI yang tersedia banyak di media sosial, sehingga timbullah tagar penolakan ini."

"Kalau aku lihat sebagai pegiat media sosial reaksi netizen itu lebih ke situ, jadi sentimennya lebih berdasarkan rekam jejaknya FPI, sepak terjangnya FPI selama ini," imbuhnya.

Refly Harun Sebut FPI Tetap Dapat Berjalan Tanpa SKT

Pakar Tata Hukum Negara, Refly Harun turut menanggapi soal Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) yang hingga kini belum ada kejelasan.

Dilansir TribunWow.com dari Sapa Indonesia Malam Kompas TV pada Senin (2/12/2019), Refly Harun mengungkapkan kelemahan FPI jika tidak mendapatkan SKT.

Mulanya, Refly Harun mengatakan bahwa suka atau tidak suka dengan FPI, ormas itu akan tetap berjalan meski tanpa SKT.

"Padahal saya mengatakan misalnya kalau kita bicara tentang FPI ya, katakanlah misalnya ada komponen masyarakat yang tidak suka dengan FPI," ungkapnya.

Pasalnya, hak untuk berserikat seperti apa yang dilikakuan FPI merupakan hak semua warga negara.

"Tetapi kan kalau kita berbicara kebebasan konstitusional ya, yang namanya organisasi membentuk organisasi, berpendapat, menyampaikan pendapat dan sebagainya ya itu dijamin, enggak ada persoalan," jelas Pakar Tata Hukum Negara lulusan UGM Ini.

Terpenting bagi FPI adalah jangan sampai melakukan hal-hal yang melanggar hukum.

"Yang penting adalah dia tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum seperti misalnya, katakanlah memeras ya kan, kemudian apa," ujarnya.

Mendengar hal itu, Aiman sebagai pembawa acara sempat bertanya apakah khilafah dalam AD/ART FPI dapat mengganjal perpanjangan SKT ormas tersebut.

Refly menegaskan bahwa sebuah kelompok tidak memerlukan izin dari pemerintah untuk berserikat.

"Jadi begini kalau kita berbicara tentang eksistensi sebuah organisasi kita harus membedakan ya."

"Eksistensi organisasi itu tidak digantungkan pada izin, izin itu enggak ada," kata Refly Harun.

Namun, jika suatu organisasi berbadan hukum maka organisasi itu harus terdaftar dalam Kementerian Hukum dan HAM.

"Yang ada adalah kalau dia berbadan hukum, dia daftarnya ke Kementerian Hukum dan HAM."

"Kalau dia tidak berbadan hukum, dia mendaftarnya ke Kementerian Dalam Negeri," ungkapnya.

Tanpa SKT, sebuah organisasi bisa berjalan.

"Tapi kalau dia misalnya tidak ada SKT, Surat Keterangan Terdaftar dia bisa jalan, tetap saja jalan."

"Yang penting adalah dia tidak melanggar hukum," jelasnya. [tnc]
Komentar

Tampilkan

Terkini