RIDHMEDIA - Sikap Pemerintah Indonesia yang memilih mengabaikan dan tidak ikut campur atas dugaan pelanggaran HAM dan perlakuan represif yang dialami etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang setelah mendengar penjelasan Duta Besar (Dubes) China sangat disayangkan. Pemerintah Indonesia dinilai mengabaikan laporan kredibel yang dikemukan berbagai lembaga HAM internasional, laporan panel Dewan HAM PBB, dan sikap tegas 22 negara (diantaranya Uni Eropa, Australia, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman dan Jepang) yang telah menulis surat kepada pejabat hak asasi manusia PBB untuk mengutuk perlakuan China terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, selama ini sangat jarang para dubes termasuk para diplomat mengirim surat terbuka ke Dewan HAM PBB untuk mengkritik catatan hak asasi manusia pada sebuah negara. Namun, langkah ini harus ditempuh karena 22 negara ini-berdasarkan fakta-fakta kredibel-melihat ada persoalan serius yang dialami etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang. Oleh karena itu, langkah Indonesia yang menjadikan penjelasan Dubes China sebagai satu-satunya rujukan dengan mengabaikan fakta-fakta lain atas dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim adalah kebijakan yang sangat keliru.
“Langkah diplomasi meminta penjelasan Dubes China soal Uighur tidak masalah. Namun, menjadikannya sebagai satu-satu rujukan bagi Indonesia untuk bersikap itu sangat keliru. Dubes China pasti mengatakan kebijakan mereka terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang tidak melanggar HAM. Namun, fakta-fakta kredibel yang sudah terkuak dan menyebar ke seluruh dunia berkata sebaliknya,” tukas Fahira di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (27/12).
Menurut Fahira, klaim China bahwa kebijakan mereka terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang untuk menjauhkan orang dari ekstremisme agama, terorisme, dan separatisme tidak serta merta menjadikan hal tersebut urusan dalam negeri China dan negara lain tidak boleh campur tangan. Kebijakan sebuah negara di dunia yang diduga menginjak-injak HAM apalagi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif akan menjadi urusan dunia.
“Kita tidak bisa abai soal fakta kamp-kamp ‘konsentrasi’ yang menahan jutaan Muslim Uighur di Xinjiang. Dugaan penyiksaan, “pencucian otak”, larangan praktik dan atribut Islam, bahkan peraturan asimilasi (pembaharuan budaya) sistematis oleh penguasa China di Uighur semakin terkuak. Tidak mungkin pemimpin di 22 negara ini melakukan protes keras jika mereka tidak mempunyai data yang kredibel. Negara-negara ini menyadari bahwa dunia tidak boleh diam atas apa yang terjadi di Xianjing,” pungkas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR ini.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan jika pemerintah Republik Indonesia tidak akan mengintervensi urusan etnis Uighur. Sementara Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah melakukan diplomasi lunak yang artinya Indonesia tidak mau mengintervensi karena menganggap soal etnis Uighur adalah urusan pemerintah China. Pernyataan ini keluar setelah keduanya (dalam kesempatan yang berbeda) mendapat penjelasan dari Duta Besar China untuk Indonesia untuk Indonesia, Xiao Qian. [mc]
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, selama ini sangat jarang para dubes termasuk para diplomat mengirim surat terbuka ke Dewan HAM PBB untuk mengkritik catatan hak asasi manusia pada sebuah negara. Namun, langkah ini harus ditempuh karena 22 negara ini-berdasarkan fakta-fakta kredibel-melihat ada persoalan serius yang dialami etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang. Oleh karena itu, langkah Indonesia yang menjadikan penjelasan Dubes China sebagai satu-satunya rujukan dengan mengabaikan fakta-fakta lain atas dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim adalah kebijakan yang sangat keliru.
“Langkah diplomasi meminta penjelasan Dubes China soal Uighur tidak masalah. Namun, menjadikannya sebagai satu-satu rujukan bagi Indonesia untuk bersikap itu sangat keliru. Dubes China pasti mengatakan kebijakan mereka terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang tidak melanggar HAM. Namun, fakta-fakta kredibel yang sudah terkuak dan menyebar ke seluruh dunia berkata sebaliknya,” tukas Fahira di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (27/12).
Menurut Fahira, klaim China bahwa kebijakan mereka terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang untuk menjauhkan orang dari ekstremisme agama, terorisme, dan separatisme tidak serta merta menjadikan hal tersebut urusan dalam negeri China dan negara lain tidak boleh campur tangan. Kebijakan sebuah negara di dunia yang diduga menginjak-injak HAM apalagi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif akan menjadi urusan dunia.
“Kita tidak bisa abai soal fakta kamp-kamp ‘konsentrasi’ yang menahan jutaan Muslim Uighur di Xinjiang. Dugaan penyiksaan, “pencucian otak”, larangan praktik dan atribut Islam, bahkan peraturan asimilasi (pembaharuan budaya) sistematis oleh penguasa China di Uighur semakin terkuak. Tidak mungkin pemimpin di 22 negara ini melakukan protes keras jika mereka tidak mempunyai data yang kredibel. Negara-negara ini menyadari bahwa dunia tidak boleh diam atas apa yang terjadi di Xianjing,” pungkas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR ini.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan jika pemerintah Republik Indonesia tidak akan mengintervensi urusan etnis Uighur. Sementara Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah melakukan diplomasi lunak yang artinya Indonesia tidak mau mengintervensi karena menganggap soal etnis Uighur adalah urusan pemerintah China. Pernyataan ini keluar setelah keduanya (dalam kesempatan yang berbeda) mendapat penjelasan dari Duta Besar China untuk Indonesia untuk Indonesia, Xiao Qian. [mc]