RIDHMEDIA - Selama puluhan tahun, Indonesia tidak berhasil membangun kilang minyak baru. Malah doyannya impor minyak dan BBM. Ada apa? Ini yang terlontar oleh Jokowi pada awal bulan ini di Istana Negara.
Berikut kutipan pernyataan Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu, berkaitan dengan CAD dan kilang minyak:
"Masalah kita bertahun-tahun itu adalah masalah defisit perdagangan yang tidak selesai-selesai. Karena apa? Kita tahu, yang namanya impor minyak, impor gas kita gede banget. Padahal kita sumur-sumur minyak kita produksinya ditingkatkan, kalau kurang baru impor. Bukan bergantung pada impor dan produksi minyak kita turun terus, tidak rampung-rampung. Lalu berkaitan dengan substitusi impor, kalau kita bisa produksi dalam negeri kenapa harus impor.
Contohnya kilang minyak tadi, kenapa sudah 30 tahun lebih kita tidak membangun satu kilang pun. Kilang ada turunannya, seperti petrokimia, masak kita masih impor. Ini tidak dikerjakan, ini ada apa? Ini gede banget, kalau kita selesaikan kilang, impor petrokimia bisa kita turunkan.
Lalu berkaitan B20, B30 dan seterusnya. Kalau ini kita konsisten banyak manfaatnya, harga CPO kita naik, dan impor kita turun karena ada barang substitusinya."
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2019 angka impor migas Indonesia mencapai US$ 17,617 miliar atau Rp 246,6 triliun turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$ 24,97 miliar. Sementara ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$ 10,347 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,152 miliar.
Impor minyak mentah Januari-Oktober 2019 tercatat US$ 4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 7,832 miliar. Sementara impor hasil minyak termasuk BBM tercatat US$ 11,195 miliar atau sekitar Rp 156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,575 miliar.
Sejak 2011 Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jor-joran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit.
Pemerintah harus serius menangani masalah ini. Pasalnya lifting minyak terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting menjadi semakin kecil.
Lifting atau produksi minyak Indonesia tercatat terus turun. Dari rata-rata 829 ribu barel per hari di 2016 menjadi 745 ribu barel per hari di 2019. Lifting tertinggi tercatat di 2010 sebesar 953,9 ribu barel per hari. [cnb]
Berikut kutipan pernyataan Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu, berkaitan dengan CAD dan kilang minyak:
"Masalah kita bertahun-tahun itu adalah masalah defisit perdagangan yang tidak selesai-selesai. Karena apa? Kita tahu, yang namanya impor minyak, impor gas kita gede banget. Padahal kita sumur-sumur minyak kita produksinya ditingkatkan, kalau kurang baru impor. Bukan bergantung pada impor dan produksi minyak kita turun terus, tidak rampung-rampung. Lalu berkaitan dengan substitusi impor, kalau kita bisa produksi dalam negeri kenapa harus impor.
Contohnya kilang minyak tadi, kenapa sudah 30 tahun lebih kita tidak membangun satu kilang pun. Kilang ada turunannya, seperti petrokimia, masak kita masih impor. Ini tidak dikerjakan, ini ada apa? Ini gede banget, kalau kita selesaikan kilang, impor petrokimia bisa kita turunkan.
Lalu berkaitan B20, B30 dan seterusnya. Kalau ini kita konsisten banyak manfaatnya, harga CPO kita naik, dan impor kita turun karena ada barang substitusinya."
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2019 angka impor migas Indonesia mencapai US$ 17,617 miliar atau Rp 246,6 triliun turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$ 24,97 miliar. Sementara ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$ 10,347 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,152 miliar.
Impor minyak mentah Januari-Oktober 2019 tercatat US$ 4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 7,832 miliar. Sementara impor hasil minyak termasuk BBM tercatat US$ 11,195 miliar atau sekitar Rp 156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,575 miliar.
Sejak 2011 Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jor-joran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit.
Pemerintah harus serius menangani masalah ini. Pasalnya lifting minyak terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting menjadi semakin kecil.
Lifting atau produksi minyak Indonesia tercatat terus turun. Dari rata-rata 829 ribu barel per hari di 2016 menjadi 745 ribu barel per hari di 2019. Lifting tertinggi tercatat di 2010 sebesar 953,9 ribu barel per hari. [cnb]