Ini Kronologi Kemelut Jiwasraya dari Era SBY Hingga Jokowi

Ridhmedia
23/12/19, 08:59 WIB
RIDHMEDIA - Presiden Joko Widodo mengklaim masalah keuangan yang PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sudah terjadi lebih dari 10 tahun.

Dia menyatakan persoalan yang dihadapi BUMN bidang asuransi yang terjadi sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukanlah masalah yang ringan.

"Dalam tiga tahun ini sebetulnya kami sudah tahu dan ingin menyelesaikannya, tapi ini bukan masalah yang ringan," kata Presiden Jokowi, beberapa hari lalu seperti melansir katadata.co.id.

Berdasarkan catatan direksi baru, Jiwasraya tak dapat membayar klaim polis yang jatuh tempo pada periode Oktober-November 2019 sebesar Rp 12,4 triliun.

Saat ini Kejaksaan Agung sedang menyidik dugaan korupsi pengelolaan dana investasi Jiwasraya dengan perkiraan kerugian negara hingga Agustus lalu mencapai Rp 13,7 triliun.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Katadata.co.id, kemelut di perusahaan asuransis pelat merah tersebut tercium sejak 2006 atau ketika pengawasan asuransi masih di bawah lembaga Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Kemelut Jiwasraya ini merupakan keberlanjutan dari krisis moneter 1998 yang membuat dunia perbankan dan keuangan kesulitan karena nilai tukar rupiah turun drastis.

Jiwasraya ikut terpuruk karena diduga manajemen ketika itu mengalihkan investasi pada deposito dalam denominasi rupiah yang menawarkan bunga hingga 60%.

Padahal, Jiwasraya memiliki banyak produk dengan mata uang dolar AS. Sejak itu Jiwasraya sulit mencari jalan keluar apalagi perusahaan asuransi tidak mendapat bantuan (bail out) dari pemerintah seperti perbankan.

Berikut kronologi kemelut Jiwasraya dan berbagai upaya yang ditempuh pemerintah:

2006

Berdasarkan laporan keuangan pada 31 Desember 2006, ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun. Penyebab defisit asuransi Jiwasraya adalah aset yang jauh lebih rendah dibandingkan kewajiban. Ketika itu Kantor Akuntansi Pubolik (KAP) Soejatna, Mulyana dan Rekan memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada laporan keuangan akhir 2006 (audited).

2007

KAP Soejatna, Mulyana dan Rekan tetap memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada laporan keuangan. Sementara BPK menilai disclaimer atau keuangan Jiwasraya tak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat polis.

2008

Berdasarkan laporan keuangan pada 31 Desember 2008, defisit semakin lebar menjadi Rp 5,7 triliun. KAP Soejatna, Mulyana dan Rekan menyebut Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Pada tahun ini, dipilih Direktur Utama Hendrisman Rahim yang menggantikan Herris Simanjuntak.

Hendrisman dibantu oleh Indra Catarya Situmeang sebagai Direktur Pertanggungan, De Yong Adrian sebagai Direktur Pemasaran, dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Keuangan.

2009

Perusahaan mengalami defisit Rp 6,3 triliun karena aset jauh lebih kecil dari kewajibannya kepada para pemegang polis. Jiwasraya meminta suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Kementerian BUMN, namun ditolak.

Direksi yang di bawah pimpinan Hendrisman dan Hary kemudian mengambil langkah reasuransi atau menjual sebagian besar klaim polis kepada perusahaan asuransi internasional di Amerika Serikat untuk masa beberapa tahun. Langkah reasuransi ini membuat kewajiban klaim asuransi Jiwasraya menjadi Rp 4,7 triliun dari yang seharusnya Rp 10,7 triliun.

Dalam laporan keuangan perusahaan tercatat laba Rp 800 miliar. Ketika itu KAP Soejatna, Mulyana dan Rekan memberikan opini WTP.

2010-2012

Direksi melanjutkan skenario reasuransi. Dua perusahaan akuntan memberikan opini WTP, yakni KAP Soejatna, Mulyana dan Rekan dan KAP Hertanto, Sidik dan Rekan.

2013

Berdasarkan laporan keuangan (audited) pada akhir 2013, ekuitas perseroan surplus Rp 1,75 triliun. Skenario reasuransi mulai tidak diperkenankan dan diganti dengan revaluasi aset. Revaluasi atas semua aset yang dimiliki seperti properti, investasi, dan aktiva tetap. Ditambah dengan akumulasi laba ditahan sejak tahun 2008-2013, totalnya dapat menutup beban kewajiban.

Hasil revaluasi ini, aset dari Rp 208 miliar menjadi Rp 6,3 triliun. Pada akhir tahun, tercatat perseroan mendapatkan laba Rp 457,2 miliar. KAP Hertanto, Sidik dan Rekan memberikan opini WTP.

Pada tahun ini Jiwasraya meluncurkan produk bancassurance JS Saving Plan yang bekerja sama dengan tujun bank. Asuransi sekaligus investasi yang menyasar kelas menengah atas ini memiliki premi dibayarkan sekaligus Rp 100 juta. Produk ini ditawarkan dengan imbal hasil pasti sebesar 9% hingga 13% sejak 2013 hingga 2018, dengan periode pencairan setiap tahun.

Periode ini, Hendrisman dan Hary dianggap berhasil membenahi Jiwasraya selama lima tahun kepemimpinannya. Mereka dipilih kembali untuk mengelola Jiwasraya periode lima tahun ke depan.

2014-2016

Pada 2014 hingga 2016, perseroan melaporkan ekuitas surplus berturut-turut Rp 2,4 triliun, Rp 3,4 triliun dan Rp 5,4 triliun. Pada 2014, pertumbuhan laba perseroan sebesar 44% menjadi Rp 661 miliar. Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menyebut Jiwasraya sudah merdeka dari kebangkrutan. Dia memuji Hendrisman dan Hary yang berhasil membukukan laba dengan langkah reasuransi dan revaluasi aset.

Dalam audit laporan keuangan 2014-2015, KAP Djoko, Sidik dan Indra memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sementara pada laporan keuangan 2016, KAP PricewaterhouseCoopers (PWC) memberikan opini WTP.

Pada masa ini, manajemen Jiwasraya diduga membuat laporan aset investasi keuangan yang overstated (melebihi realita) dan kewajiban yang understated (di bawah nilai sebenarnya).

BPK mulai mengaudit Jiwasraya atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional 2014-2015.

2017

Dalam laporan keuangan 2017, perusahaan asuransi pelat merah ini menunjukkan kinerja keuangannya masih positif, dengan perolehan laba yang mencapai Rp 2,4 triliun atau naik 37,64% dibandingkan tahun sebelumnya.

Ekuitas perseoran surplus Rp 5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan premi Rp 7,7 triliun karena belum memperhitungkan impairment asset atau penurunan aset. KAP PWC memberikan opini adverse/dengan modifikasian.

2018

Terjadi perubahan direksi, Herdirman digantikan oleh Asmawi. Asmawi melaporkan ketidakberesan keuangan pada Mei 2018 kepada Kementerian BUMN. Asmawi mencurigai ada ketidaksesuaian aset dan kewajiban dalam laporan keuangan tahun lalu.

Dia pun meminta PWC melakukan audit ulang laporan keuangan 2017. Ternyata hasil audit ulang menyatakan laba bersih Jiwasraya tahun lalu tidak mencapai triliunan, melainkan hanya Rp 360 miliar. Hingga saat ini, laporan keuangan 2018 belum selesai diaudit.

Pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya mengumumkan tak mampu membayar klaim polis JS Saving Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 802 miliar. Seminggu kemudian Rini Soemarno yang menjabat sebagai Menteri Negara BUMN melaporkan dugaan fraud atas pengelolaan investasi Jiwasraya.

Audit BPK selama 2015-2016 menjadi rujukan. Dalam audit tersebut disebutkan investasi Jiwasraya dalam bentuk medium term notes (MTN) PT Hanson International Tbk (MYRX) senilai Rp 680 miliar, berisiko gagal bayar.

Belakangan Hanson menyatakan telah melakukan pembelian kembali (buy back) seluruh MTN pada Desember 2018 senilai Rp 680 miliar.

Berdasarkan laporan audit BPK, perusahaan diketahui banyak melakukan investasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi, sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pada 2018, sebesar 22,4% atau Rp 5,7 triliun dari total aset finansial perusahaan ditempatkan pada saham, tetapi hanya 5% yang ditempatkan pada saham LQ45.

Lalu 59,1% atau Rp 14,9 triliun ditempatkan pada reksa dana, tetapi hanya 2% yang dikelola oleh top tier manajer investasi.

2019

Pada November lalu dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR, Direktur Utama Jiwasraya yang baru, Hexana Tri Sasongko, menyatakan membutuhkan suntikan modal Rp 32,89 triliun untuk bisa memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko (RBC) 120%.

Per September 2019, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp 25,68 triliun, sedangkan kewajiban nyaris dua kali lipatnya yaitu Rp 49,60 triliun. Dengan demikian, terjadi ekuitas (modal) negatif Rp 23,92 triliun.[ljc]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+