RIDHMEDIA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 mendatang diasumsikan di antara 5,3 persen hingga 5,6 persen.
Sedangkan Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 mencapai 4,8 persen, lebih rendah dibanding tahun ini.
Perlambatan ekonomi Indonesia ini masih dipengaruhi nilai ekspor dan investasi yang menurun. Selain itu, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang terus berlanjut juga memicu lambatnya perekonomian.
Hanya 4 Persen
Sementara ekonom senior DR Rizal Ramli memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 tidak akan mencapai target seperti yang diproyeksikan dalam APBN 2020 sebesar 5,3%.
Bahkan menurut Rizal pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 bisa turun drastis hingga 4%.
“Tahun depan, saya prediksi akan lebih jelek dari tahun ini. Pertumbuhan ekonomi hanya akan 4%. Sederhana saja, sekarang ini pertumbuhan kredit hanya 7%. Kalau pertumbuhan ekonominya mau naik ke 6% saja, pertumbuhan kreditnya harus 15% sampai 17%. Bagaimana mau mendorong ekonomi lebih hebat kalau pertumbuhan kreditnya hanya segitu, belum lagi daya beli rakyat yang menurun,” kata Rizal Ramli di kawasan Tebet, Jakarta Selatan seperti melansir harianterbit.com.
Menurutnya hal itu karena indikator makro yang menunjukkan kecenderungan semakin merosot hingga Kuarta III-2019, antara lain kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sebesar US$ 7,6 miliar.
Begitu juga dengan neraca perdagangan yang mengalami defisit US$ 3,12 miliar.
“Kondisi ini diprediksi akan terus berlanjut sampai tahun depan,” tuturnya.
Rizal Ramli juga menyebut saat ini sekitar 24% perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) termasuk kategori zombie ompany.
Maksudnya adalah perusahaan yang masih berjalan, tetapi tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk membayar utang. Perusahaan tersebut hanya bisa bertahan apabila dilakukan restrukturisasi kredit.
“Tahun depan, saya prediksi zombie company akan mencapai sepertiga dari seluruh perusahaan yang ada di BEI,” kata Rizal.
Bila tak ingin mengalami krisis ekonomi, pemerintah menurutnya harus mampu membalikkan kondisi yang terjadi saat ini.
Sayangnya Rizal melihat selama ini pemerintah menggunakan kebijakan makro ekonomi yang super konservatif, yaitu austerity atau pengetatan.
“Rumus IMF dan Bank Dunia yang dilakukan ini puluhan kali sudah gagal dijalankan di Amerika Latin, di Yunani. Kalau kondisi ekonominya sedang melambat, kemudian dilakukan pengetatan, diuber pajaknya, ya makin nyungsep (kondisi ekonomi),” kata mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli
Menko Perekonomian pemerintahan Gus Dur ini mengemukakan, pemerintah harus mendorong daya beli kelompok menengah ke bawah.
“Kalau ekonominya sedang melambat, negara yang canggih itu bila perlu pajak-pajaknya diturunin. Nanti kalau sudah membaik kondisinya, baru diuber lagi pajaknya.”
Misalnya dulu, lanjut Rizal, waktu saya menjadi Menko bidang ekonomi di jamannya Gusdur, saya naikin gaji pegawai negeri sampai 125%.
Begitu dapat uang, 99%-nya dibelanjaan, sehingga sektor riil langsung hidup. Selain itu, multiplier effect-nya juga besar sekali.
“Sementara kalau kita kasih ke orang kaya, uangnya malah disimpan di luar dan tidak dibelanjakan, sehingga tidak ada efeknya. Jadi dalam situasi begini, yang harus dipompa itu ekonomi menengah ke bawah. Bukan malah digencet dengan berbagai macam pajak,” papar Rizal Ramli.[ljc]
Sedangkan Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 mencapai 4,8 persen, lebih rendah dibanding tahun ini.
Perlambatan ekonomi Indonesia ini masih dipengaruhi nilai ekspor dan investasi yang menurun. Selain itu, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang terus berlanjut juga memicu lambatnya perekonomian.
Hanya 4 Persen
Sementara ekonom senior DR Rizal Ramli memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 tidak akan mencapai target seperti yang diproyeksikan dalam APBN 2020 sebesar 5,3%.
Bahkan menurut Rizal pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 bisa turun drastis hingga 4%.
“Tahun depan, saya prediksi akan lebih jelek dari tahun ini. Pertumbuhan ekonomi hanya akan 4%. Sederhana saja, sekarang ini pertumbuhan kredit hanya 7%. Kalau pertumbuhan ekonominya mau naik ke 6% saja, pertumbuhan kreditnya harus 15% sampai 17%. Bagaimana mau mendorong ekonomi lebih hebat kalau pertumbuhan kreditnya hanya segitu, belum lagi daya beli rakyat yang menurun,” kata Rizal Ramli di kawasan Tebet, Jakarta Selatan seperti melansir harianterbit.com.
Menurutnya hal itu karena indikator makro yang menunjukkan kecenderungan semakin merosot hingga Kuarta III-2019, antara lain kondisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sebesar US$ 7,6 miliar.
Begitu juga dengan neraca perdagangan yang mengalami defisit US$ 3,12 miliar.
“Kondisi ini diprediksi akan terus berlanjut sampai tahun depan,” tuturnya.
Rizal Ramli juga menyebut saat ini sekitar 24% perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) termasuk kategori zombie ompany.
Maksudnya adalah perusahaan yang masih berjalan, tetapi tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk membayar utang. Perusahaan tersebut hanya bisa bertahan apabila dilakukan restrukturisasi kredit.
“Tahun depan, saya prediksi zombie company akan mencapai sepertiga dari seluruh perusahaan yang ada di BEI,” kata Rizal.
Bila tak ingin mengalami krisis ekonomi, pemerintah menurutnya harus mampu membalikkan kondisi yang terjadi saat ini.
Sayangnya Rizal melihat selama ini pemerintah menggunakan kebijakan makro ekonomi yang super konservatif, yaitu austerity atau pengetatan.
“Rumus IMF dan Bank Dunia yang dilakukan ini puluhan kali sudah gagal dijalankan di Amerika Latin, di Yunani. Kalau kondisi ekonominya sedang melambat, kemudian dilakukan pengetatan, diuber pajaknya, ya makin nyungsep (kondisi ekonomi),” kata mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli
Menko Perekonomian pemerintahan Gus Dur ini mengemukakan, pemerintah harus mendorong daya beli kelompok menengah ke bawah.
“Kalau ekonominya sedang melambat, negara yang canggih itu bila perlu pajak-pajaknya diturunin. Nanti kalau sudah membaik kondisinya, baru diuber lagi pajaknya.”
Misalnya dulu, lanjut Rizal, waktu saya menjadi Menko bidang ekonomi di jamannya Gusdur, saya naikin gaji pegawai negeri sampai 125%.
Begitu dapat uang, 99%-nya dibelanjaan, sehingga sektor riil langsung hidup. Selain itu, multiplier effect-nya juga besar sekali.
“Sementara kalau kita kasih ke orang kaya, uangnya malah disimpan di luar dan tidak dibelanjakan, sehingga tidak ada efeknya. Jadi dalam situasi begini, yang harus dipompa itu ekonomi menengah ke bawah. Bukan malah digencet dengan berbagai macam pajak,” papar Rizal Ramli.[ljc]