RIDHMEDIA - Dugaan persekusi yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap etnis Uighur yang mayoritas adalah umat muslim terus disuarakan. Semakin hari, suara yang semakin terdengar mengidentikan persoalan Uighur dengan agama.
Namun, dikatakan oleh seorang peneliti ilmu hubungan internasional, Mohamad Rosyidin, persoalan yang menimpa etnis Uighur bukan didasari oleh agama, melainkan politik.
Dia menguraikan bahwa Provinsi Xinjiang yang merupakan daerah otonomi Uighur, merupakan wilayah China yang berbatasan langsung dengan Asia Tengah.
Secara identitas, muslim Uighur faktanya merasa lebih dekat dengan kultur Turki-Asia Tengah. Nasionalisme mereka pun lebih condong ke arah sana.
Sementara itu, Pemerintah China getol melawan potensi gerakan separatis yang mengganggu stabilitas nasional.
“Kita tahu China adalah negara komunitas yang sangat sentralistis. Jadi mereka (China) akan menindak keras siapa saja yang terindikasi separatis," lanjutnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (22/12).
Bukan hanya pada etnis Uighur, China pun pernah melakukan hal yang sama dengan menindas komunitas Falun Gong yang merupakan umat Buddha, lalu juga ada invasi yang dilakukan oleh China ke Tibet. Dan saat ini, hal yang menimpa Hong Kong pun berpusat pada persoalan yang serupa.
"Jadi intinya ini soal politik. Agama hanya jadi faktor kebetulan saja," ujar Rosyidin menggarisbawahi.
Sedangkan mengenai isu hak asasi manusia (HAM), Rosyidin yang kerap menulis jurnal mengenai kebijakan luar negeri China ini mengatakan, konsep HAM China berbeda dengan perspektif dari Barat.
Filosofi Konfusian, terangnya, lebih berperan dalam isu ini, sehingga kekerasan dilegitimasi sejauh untuk menjaga ketertiban.
"Itulah sebabnya China menyangkal dianggap melanggar HAM," pungkas dosen HI Universitas Gadjah Mada (UGM) ini. [rml]
Namun, dikatakan oleh seorang peneliti ilmu hubungan internasional, Mohamad Rosyidin, persoalan yang menimpa etnis Uighur bukan didasari oleh agama, melainkan politik.
Dia menguraikan bahwa Provinsi Xinjiang yang merupakan daerah otonomi Uighur, merupakan wilayah China yang berbatasan langsung dengan Asia Tengah.
Secara identitas, muslim Uighur faktanya merasa lebih dekat dengan kultur Turki-Asia Tengah. Nasionalisme mereka pun lebih condong ke arah sana.
Sementara itu, Pemerintah China getol melawan potensi gerakan separatis yang mengganggu stabilitas nasional.
“Kita tahu China adalah negara komunitas yang sangat sentralistis. Jadi mereka (China) akan menindak keras siapa saja yang terindikasi separatis," lanjutnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (22/12).
Bukan hanya pada etnis Uighur, China pun pernah melakukan hal yang sama dengan menindas komunitas Falun Gong yang merupakan umat Buddha, lalu juga ada invasi yang dilakukan oleh China ke Tibet. Dan saat ini, hal yang menimpa Hong Kong pun berpusat pada persoalan yang serupa.
"Jadi intinya ini soal politik. Agama hanya jadi faktor kebetulan saja," ujar Rosyidin menggarisbawahi.
Sedangkan mengenai isu hak asasi manusia (HAM), Rosyidin yang kerap menulis jurnal mengenai kebijakan luar negeri China ini mengatakan, konsep HAM China berbeda dengan perspektif dari Barat.
Filosofi Konfusian, terangnya, lebih berperan dalam isu ini, sehingga kekerasan dilegitimasi sejauh untuk menjaga ketertiban.
"Itulah sebabnya China menyangkal dianggap melanggar HAM," pungkas dosen HI Universitas Gadjah Mada (UGM) ini. [rml]