RIDHMEDIA - Industri baja nasional tertekan dengan serbuan impor baja dari China. Hal itu mempengaruhi utilisasi baja nasional yang rendah rata-rata hanya 43%, hingga ada pabrik yang tak sanggup bertahan.
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan impor baja ini akan mengancam industri hilir baja nasional. Pabrik sudah ada yang tutup hingga 7 pabrik, jumlah ini bertambah dari data IISIA sebelumnya hanya 3 pabrik baja.
"Industri hilir baja sudah tutup tujuh pabrik, kemudian kita kehilangan demand," kata Silmy di Jakarta, Jumat (13/12).
Jumlah pabrik tutup yang diklaim Silmy lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Direktur Eksekutif IISIA dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada November lalu mengklaim 3 pabrik baja tutup akibat rendahnya utilisasi saat ini yang kemudian berdampak pada PHK pekerja pabrik baja.
Silmy yang juga Dirut PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menuturkan tekanan yang ada saat ini bisa mengancam KRAS ke depannyan sebab KRAS memproduksi produk baja untuk industri.
Selama ini, baja impor yang masuk ke pasar antara lain jenis HRC, CRC, WR Carbon, Bar Carbon, Bar Alloy, Section Carbon, Carbon Steel, Alloy Steel dan lainnya. Padahal untuk baja jenis HRC dan plat dalam posisi over supply.
Solusinya, utilisasi baja harus ditingkatkan tentunya dengan permintaan ditambah, caranya keran impor harus ditutup. Langkah ini diambil mengingat permintaan baja dalam negeri terus bertambah.
"Artinya kalau kita maksimal capacity [...] sekitar 3,5 juta ton, kalau kita bisa full utilisasinya, impor bisa kita kurangi, ini akan menyehatkan pabrik baja di Indonesia," kata Silmy.
Beberapa negara di belahan dunia sudah menerapkan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Namun ia menolak jika perlindungan industri disebut sebagai bentuk proteksionis yang belakangan menjadi isu global.
Ia mengaku tengah memperjuangkan penyelesaian yang mendera industri baja nasional dengan Kementerian/Lembaga terkait. Silmy menilai potensi dari kapasitas baja nasional harus dimanfaatkan ketimbang terus mengandalkan impor.
Sumber: cnbcindonesia.com
Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan impor baja ini akan mengancam industri hilir baja nasional. Pabrik sudah ada yang tutup hingga 7 pabrik, jumlah ini bertambah dari data IISIA sebelumnya hanya 3 pabrik baja.
"Industri hilir baja sudah tutup tujuh pabrik, kemudian kita kehilangan demand," kata Silmy di Jakarta, Jumat (13/12).
Jumlah pabrik tutup yang diklaim Silmy lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Direktur Eksekutif IISIA dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada November lalu mengklaim 3 pabrik baja tutup akibat rendahnya utilisasi saat ini yang kemudian berdampak pada PHK pekerja pabrik baja.
Silmy yang juga Dirut PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menuturkan tekanan yang ada saat ini bisa mengancam KRAS ke depannyan sebab KRAS memproduksi produk baja untuk industri.
Selama ini, baja impor yang masuk ke pasar antara lain jenis HRC, CRC, WR Carbon, Bar Carbon, Bar Alloy, Section Carbon, Carbon Steel, Alloy Steel dan lainnya. Padahal untuk baja jenis HRC dan plat dalam posisi over supply.
Solusinya, utilisasi baja harus ditingkatkan tentunya dengan permintaan ditambah, caranya keran impor harus ditutup. Langkah ini diambil mengingat permintaan baja dalam negeri terus bertambah.
"Artinya kalau kita maksimal capacity [...] sekitar 3,5 juta ton, kalau kita bisa full utilisasinya, impor bisa kita kurangi, ini akan menyehatkan pabrik baja di Indonesia," kata Silmy.
Beberapa negara di belahan dunia sudah menerapkan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Namun ia menolak jika perlindungan industri disebut sebagai bentuk proteksionis yang belakangan menjadi isu global.
Ia mengaku tengah memperjuangkan penyelesaian yang mendera industri baja nasional dengan Kementerian/Lembaga terkait. Silmy menilai potensi dari kapasitas baja nasional harus dimanfaatkan ketimbang terus mengandalkan impor.
Sumber: cnbcindonesia.com