Oleh: Hersubeno Arief
SEBERAPA kuat pengaruh China di Indonesia? Dari heboh pemberitaan The Wall Street Journal (WSJ) soal kunjungan ormas Islam ke Xinjiang, setidaknya kita bisa mendapat gambaran.
Pertama, media, informasi dan opini negara-negara Barat, khususnya AS dianggap lebih kredibel, lebih dipercaya dibandingkan dengan informasi dan opini yang berasal dari pemerintah Cina.
Kedua, pengaruh Cina sangat kuat di pemerintahan dan kalangan elit. Sementara di akar rumput (grass root) dan masyarakat madani (civil society) sangat lemah. Resistensi dan sentimen negatif sangat tinggi.
Ketiga, pemerintahan Cina komunis dianggap sebagai ancaman. Persoalannya menjadi lebih kompleks karena adanya dominasi etnis China domestik di bidang ekonomi yang mulai merambah ke dunia politik, berpotensi menjadi konflik di masa depan.
Operasi Media
Heboh pemberitaan WSJ yang menyebut sejumlah ormas Islam (Muhammadiyah, NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) disuap agar diam atas penindasan minoritas Islam Uighur membongkar adanya satu fakta. Pemerintah China secara serius dan terencana tengah melakukan operasi media dan pembentukan opini di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, termasuk Indonesia.
Selain Muhammadiyah dan NU dan MUI, pemerintah China juga mengundang sejumlah akademisi, media massa dan para selebritas medsos yang dikenal sebagai influencer. Mereka menurut WSJ disuap dan diminta diam atas penindasan muslim Uighur. Sebaliknya mereka diminta membuat kesaksian yang baik-baik.
Tudingan ini segera dibantah oleh Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah bahkan berencana melangkah lebih jauh akan menempuh jalur hukum.
Pemerintah China melalui Kedubes di Jakarta juga langsung bereaksi. Mereka membuat sejumlah opini/artikel dan wawancara berbayar (sponsored content) di beberapa media nasional.
Pemerintah China menyerang pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai pihak yang berada di balik pemberitaan WSJ.
Tegasnya WSJ digunakan untuk menghancurkan kredibilitas China. WSJ menggunakan strategi kill the messenger dengan cara membusukkan ormas Islam yang dicurigai membawa pesan pemerintah Cina.
Bagaimana opini publik menanggapinya? Secara umum publik lebih mempercayai WSJ. Negara-negara Barat, terutama AS mempunyai tradisi pers bebas. Peran media justru sebagai alat kontrol pemerintah.
Sebaliknya Cina negara diktator komunis. Tidak ada media yang bebas. Semua dikontrol pemerintah. Peran media menjadi pembenar (justifikasi) terhadap semua hal yang dilakukan oleh pemerintah. Menjadi corong dan alat propaganda pemerintah. Jadi tidak layak dipercaya.
Sejarah panjang WSJ sebagai media yang kredibel semakin meyakinkan publik. Info yang disampaikan oleh WSJ lebih dipercaya ketimbang yang berasal dari pemerintah China.
Gegara pemberitaan WSJ ini semua operasi public relation dan pembentukan opini yang susah payah dilakukan pemerintah Cina berantakan. Perlu kerja keras dan waktu yang cukup lama untuk memperbaikinya.
Di Indonesia masyarakat madani ramai-ramai menyerukan dukungan terhadap Uighur. Suaranya justru jauh lebih kencang dibanding sebelumnya.
Gugatan atas penindasan muslim Uighur oleh pemerintah China justru lebih meluas. Masyarakat jadi lebih ngeh, setelah media memberitakannya secara luas.
PP Muhammadiyah justru bersuara lebih kencang dan sangat kritis terhadap isu Uighur. Muhammadiyah tampaknya ingin menunjukkan kepada publik bahwa undangan dari pemerintah Cina, tidak mengubah sikap kritis mereka. Sementara NU mencoba tetap proporsional dengan melihat masalah tersebut sebagai persoalan domestik Cina, namun tidak menutup mata adanya persoalan pada kebebasan muslim Uighur dalam menjalankan ibadah.
Sikap ini sangat berbeda dengan pernyataan Ketum PBNU Said Agil Siradj yang selama ini terkesan sangat membela pemerintah China. Dalam sebuah kesempatan dia pernah menyatakan Islam berkembang sangat baik di China.
"Pemerintah di sana bahkan memberi perhatian kepada umat Muslim di sana dengan memperbaiki masjid-masjid bahkan lahir ratusan restoran halal," kata Kiai Said usai menghadiri diskusi bedah buku berjudul "Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok" pada 17 Juli 2019.
Hanya di Level Elit
Pemberitaan WSJ juga menunjukkan bahwa pengaruh China di Indonesia saat ini hanya kuat di level elit. Hanya di pemerintahan dan elit politik yang punya kepentingan atas China. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan kepentingan pemerintah terhadap investasi China.
Dalam isu Uighur pemerintah tampak sangat berhati-hati. Tidak ada satu komentar pun yang muncul dari otoritas resmi, baik Kemenlu, apalagi Presiden Jokowi.
Sebaliknya di kalangan akar rumput sentimen terhadap China sangat tinggi. Besarnya aliran utang modal dari China dibarengi dengan kekhawatiran dan kewaspadaan masuknya jutaan pekerja China ke Indonesia.
Pengalaman sejumlah negara di Afrika (Nigeria, Angola, Zimbabwe) dan Asia (Pakistan,Srilanka, Laos, Kamboja) bahkan termasuk Eropa Timur (Montenegro) dan Amerika Latin (Venezuela) yang jatuh ke tangan China akibat terjerat utang, menjadikan masyarakat madani di Indonesia sangat prihatin dan khawatir.
Isu Uighur menjadi momentum membangkitkan kembali kesadaran publik betapa berbahayanya bila China sampai menguasai Indonesia. Bukan hanya masalah kebebasan beragama, namun juga masalah hak asasi manusia.
Di media sosial seruan untuk menyelamatkan muslim Uighur bergema. Tagar #China_is_terrorist menjadi trending topic. Tembus di atas 1 juta twit.
Isu Cina Domestik
Sentimen negatif terhadap pemerintah China, sangat erat kaitannya dengan dominasi ekonomi minoritas etnis China di Indonesia.
Keterikatan mereka terhadap budaya negeri leluhur sangat kuat. Sementara pemerintah Cina tampaknya juga melihat mereka sebagai potensi yang harus dirangkul.
Pada awal Januari 2018 pemerintah China menerbitkan visa khusus bagi keturunan China di seluruh dunia. Mereka bisa mendapat visa khusus tinggal di China selama 5 tahun, atau memasuki wilayah China beberapa kali selama masa tersebut.
Etnis China saat ini menguasai perekonomian Indonesia. Mereka menguasai lebih dari 80 persen perekonomian nasional. Setelah sekian lama menjauhkan diri, dalam satu dasa warsa terakhir mereka menunjukkan intensi yang cukup serius untuk masuk ke dunia politik.
Dalam era rezim pemilu yang sangat liberal, kekuatan modal sangat menentukan parpol maupun tokoh/penguasa yang akan terpilih. Semakin besar kepemilikan modal, semakin besar pula peluangnya untuk terpilih.
Pada awalnya mereka hanya menempatkan tokoh-tokoh sebagai proxy di kursi kekuasaan. Namun dalam dua pemilu terakhir mereka langsung terlibat dalam kontestasi melalui pendirian parpol, maupun keterlibatan dalam tim sukses di pilpres dan masuk kabinet.
Tidak perlu kaget bila dominasi ekonomi tersebut akan dengan sangat mudah mereka konversi menjadi dominasi dalam kekuasaan. Jadilah mereka berkuasa secara ekonomi dan politik. Pribumi menjadi terpinggirkan.
Isu-isu semacam itulah yang mendasari mengapa masalah muslim Uighur menjadi bola panas yang membesar. Ada bara yang sudah lama mengendap di bawah sekam. Isu bersatunya China daratan dan China lokal bisa menjadi monster yang menakutkan.
Pemerintah harus benar-benar bijak dan memahami anatomi sosial politik masyarakat. Perlu langkah-langkah konkrit untuk mengatasi kesenjangan sosial dalam masyarakat yang terbelah sangat dalam seperti Indonesia saat ini.
Jangan sampai menjadi ledakan sosial yang tak terkendali. Kita semua yang rugi.
*Penulis adalah pemerhati ruang publik.