RIDHMEDIA - Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi mengungkapkan bahwa dalam kunjungan Muhammadiyah, NU dan MUI ke Xinjiang pada Februari 2019 lalu menemukan sejumlah kejanggalan soal kondisi Muslim Uighur di Xinjiang.
Ia mengatakan delegasi ormas Islam meminta otoritas China untuk mengantar mereka ke masjid untuk Shalat Subuh, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi dengan alasan tempat ibadah yang jauh dan cuaca dingin.
"Tapi apapun permintaan dari tamu harusnya diberi oleh 'shohibul bait' atau tuan rumah," kata Muhyiddin di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Kemudian, kata dia, ada kejanggalan logo kiblat di tempat penginapan delegasi ormas yang nampak baru dipasang. Sejumlah informasi itu menjadi penanda awal bahwa China memang tidak mengakomodasi praktik agama secara terbuka.
"Saat di hotel. Arah kiblat yang baru dan lama bisa dibedakan. Kami mulai curiga," ujarnya.
"(Kemudian) Wartawan ingin beli rokok, ternyata di depan dihadang. Tidak diberi izin keluar tapi disediakan. Rokok dan pembakar (korek api) dikasih," sambungnya.
Setelah itu, kata dia, usai solat subuh delegasi ormas Islam Indonesia itu dibawa ke museum tindakan kekerasan etnis Uighur. Yang ditunjukkan adalah tindakan kekerasan etnis Uighur yang sudah menyetakan diri bargabung dengan ISIS.
"Kunjungan ke masjid meyakini kami memang tidak ada kebebasan beragama. Susah kita buktikan," ujarnya.
"Kami juga tidak melihat perempuan di Xinjiang mengenakan hijab meski di sana Islam adalah mayoritas. Mengenakan hijab di ruang terbuka dianggap radikal. Perempuan boleh mengenakan hijab di ruang tertutup," ujarnya.[]