RIDHMEDIA - Kementerian Keuangan mencatat Perum Bulog memiliki kinerja keuangan yang buruk. Indeks Altman Z-Score yang dihitung oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) mencatat nilai Bulog hanya 0,93 di bawah batas aman 1,3 sehingga diberi lampu merah sebagai indikasi mudah terguncang dan bisa berujung pada kebangkrutan.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh tidak menampik temuan Kemenkeu. Ia mengatakan saat ini keuangan Bulog sangat bergantung pada penggantian biaya oleh pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP).
Masalahnya, seringkali penggantian itu tidak tepat waktu bahkan Bulog terpaksa menanggung bunga utang dari pinjaman pengadaan yang tidak kalah besarnya.
"Bangkrut bisa iya bisa enggak. Tergantung kewajiban pemerintah kita laksanakan. Tinggal penggantian aja," ucap Tri kepada wartawan saat ditemui di Kantor Bulog, Selasa (3/12/2019).
Tri mengatakan Bulog saat ini memiliki peran penugasan atau public service obligation (PSO). Ketika mendapat penugasan, Bulog melakukan pengadaan dengan meminjam uang yang dibanderol dengan bunga komersil.
Hal ini yang, menurutnya, memengaruhi kinerja Bulog. Sebab perusahaan plat merah itu harus bisa bertahan saat menunggu penggantian dari pemerintah yang perlu proses panjang.
Salah satu contoh kasus, kata Tri, pengadaan beras Bulog bisa memakan biaya Rp11 triliun tetapi pemerintah hanya bisa menyediakan Rp3 triliun sebagai modal awal. Sisanya, harus dipenuhi dengan pinjaman. Saat ini utang Bulog, kata dia, berada di posisi Rp28 triliun.
Menurut catatan DJKN, rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) Bulog juga cukup buruk yaitu di angka 3,19 sedikit lebih tinggi dari batas aman yaitu 3.
Namun, di samping penggantian itu, ia bilang ada masalah dalam penyaluran beras Bulog. Saat ini sekitar 80 persen beras Bulog berasal dari CBP dan 20 persen komersil. Untuk menggelontorkan CBP perlu rapat koordinasi terbatas untuk menghasilkan penugasan kepada Bulog. Alhasil ada beragam hambatan.
"Posisi utang Rp28 triliun di periode ini tapi kalau 2 juta ton CBP bisa dijual semua beres itu [utangnya]," ucap Tri.
Ketika ditanya bilamana Penyertaan Modal Negara (PMN) Bulog pernah dipakai untuk menutupi utang itu. Tri membantahnya. Ia mengatakan selama ini PMN selalu digunakan untuk pembiayaan infrastruktur dan pengembangan usaha Bulog seperti gudang maupun fasilitas penyimpanan.
"PMN enggak boleh dipakai untuk utang. Tidak digunakan untuk memperkuat posisi kinerja keuangan," ucap Tri.
Diberitakan sebelumnya, dua puluh ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog terpaksa dimusnahkan karena mengalami penurunan mutu atau disposal stock.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, nilai beras disposal itu mencapai Rp160 miliar dengan asumsi harga rata-rata pembelian di tingkat petani sebesar Rp8.000 per kilogram.
Perum Bulog bahkan harus utang untuk pengadaan CBP dengan total sekitar Rp28 triliun per November 2019 dengan bunga mencapai Rp10 miliar per hari. [tirt]
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh tidak menampik temuan Kemenkeu. Ia mengatakan saat ini keuangan Bulog sangat bergantung pada penggantian biaya oleh pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP).
Masalahnya, seringkali penggantian itu tidak tepat waktu bahkan Bulog terpaksa menanggung bunga utang dari pinjaman pengadaan yang tidak kalah besarnya.
"Bangkrut bisa iya bisa enggak. Tergantung kewajiban pemerintah kita laksanakan. Tinggal penggantian aja," ucap Tri kepada wartawan saat ditemui di Kantor Bulog, Selasa (3/12/2019).
Tri mengatakan Bulog saat ini memiliki peran penugasan atau public service obligation (PSO). Ketika mendapat penugasan, Bulog melakukan pengadaan dengan meminjam uang yang dibanderol dengan bunga komersil.
Hal ini yang, menurutnya, memengaruhi kinerja Bulog. Sebab perusahaan plat merah itu harus bisa bertahan saat menunggu penggantian dari pemerintah yang perlu proses panjang.
Salah satu contoh kasus, kata Tri, pengadaan beras Bulog bisa memakan biaya Rp11 triliun tetapi pemerintah hanya bisa menyediakan Rp3 triliun sebagai modal awal. Sisanya, harus dipenuhi dengan pinjaman. Saat ini utang Bulog, kata dia, berada di posisi Rp28 triliun.
Menurut catatan DJKN, rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) Bulog juga cukup buruk yaitu di angka 3,19 sedikit lebih tinggi dari batas aman yaitu 3.
Namun, di samping penggantian itu, ia bilang ada masalah dalam penyaluran beras Bulog. Saat ini sekitar 80 persen beras Bulog berasal dari CBP dan 20 persen komersil. Untuk menggelontorkan CBP perlu rapat koordinasi terbatas untuk menghasilkan penugasan kepada Bulog. Alhasil ada beragam hambatan.
"Posisi utang Rp28 triliun di periode ini tapi kalau 2 juta ton CBP bisa dijual semua beres itu [utangnya]," ucap Tri.
Ketika ditanya bilamana Penyertaan Modal Negara (PMN) Bulog pernah dipakai untuk menutupi utang itu. Tri membantahnya. Ia mengatakan selama ini PMN selalu digunakan untuk pembiayaan infrastruktur dan pengembangan usaha Bulog seperti gudang maupun fasilitas penyimpanan.
"PMN enggak boleh dipakai untuk utang. Tidak digunakan untuk memperkuat posisi kinerja keuangan," ucap Tri.
Diberitakan sebelumnya, dua puluh ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog terpaksa dimusnahkan karena mengalami penurunan mutu atau disposal stock.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, nilai beras disposal itu mencapai Rp160 miliar dengan asumsi harga rata-rata pembelian di tingkat petani sebesar Rp8.000 per kilogram.
Perum Bulog bahkan harus utang untuk pengadaan CBP dengan total sekitar Rp28 triliun per November 2019 dengan bunga mencapai Rp10 miliar per hari. [tirt]